Assalamualaikum wr.wb
Selamat malam
Hari ini, 16 Februari 2017, saya kembali membuka akun Kompasiana yang telah lama terpendam, mungkin sudah menahun tak pernah ku buka kembali. Padahal saya terdaftar di akun ini sejak 2010, wah sudah cukup lama ternyata bergabung bersama Kompasiana. Kompasiana, tempat dimana semua orang bisa mencurahkan isi hatinya melalui tulisan elektronik, tentang apapun itu, tentang semua hal yang ada di dunia ini, yang basi maupun yang hangat.
Hari ini, bukan tanpa sengaja saya kembali membuka akun Kompasiana.com, lagi. Bahkan, ketika pertama kembali log-in ke akun ini, saya sempat lupa memasukkan pasword yang saya miliki, hingga harus sampai 3 kali mencoba memasukan pasword-pasword yang saya ingat, dan yang terahir akun ini mende-teksi secara benar pasword yang saya masukan. Dalam hati saya bergungam "ternyata, saya masih ingat dengan akun ini, dan akun ini masih menerima saya untuk kembali bergabung". Maaf terlalu panjang mukadimah yang saya berikan, langsung saja, begini ceritanya.
Hari ini saya mendapatkan pengalaman baru di kota baru yang saya tinggali sejak lebaran Idul Fitri yang lalu, ceritanya, saya hijrah dari kota kelahiran saya ke kota asal orang tua saya berada, dimana itu?, yang jelas di pulau Jawa. Cerita ini dimulai ketika saya pagi ini memenuhi panggilan kerja untuk interview di sebuah Lembaga Pengelolaan Wakaf, Zakat, Infak dan Sedekah, Sinergi Foundation. Singkat cerita, sesi interview bersama bagian HRD Sinergi Foundation di mulai dengan pembacaan ayat suci Al-Quran yang saya bacakan, itu salah satu syarat utama apabila kita ingin bergabung di Sinergi Fondation, wajib bisa membaca Al-Quran! (ini yang menjadi pembeda dan istimewa dibandingkan dengan perusahan lain) . Sesi selanjutnya di lanjutkan dengan perkenaln diri saya, selayaknya seorang pencari kerja yang memperkenalkan diri kepada bagian perusahaan, dimulai dari identitas diri, hingga pengalam kerja yang pernah saya lakukan sebelum saya akhirnya memutuskan kembali untuk menjadi seorang pencari kerja.
Suasana hangat dan keleluargaan tercipta pada sesi interview, dimana pada mulanya saya sedikit gugup, hingga akhirnya saya merasa santai dan tenang untuk melawai masa interview ini . Salah satu topik hangat yang menjadi pembicaraan pada sesi interview adalah mengenai pengalam kerja yang pernah saya lakukan sebelumnya. Hal ini sangatlah wajar, karena memang pada dasarnya, pada setiap sesi interview pihak perusahaan ingin mengetahui pengalaman kerja seperti apa yang telah kita lakukan sebelumnnya, sehingga perusahaan memiliki referensi untuk menerima atau menolak lamaran pencari kerja.
Karena latar belakang pendidikan saya dari bidang Jurnalistik, dan secara kebetulan pengalama kerja kurang lebih dua tahun yang saya jalani juga di dunia Jurnalistik,tepatnya sebagai seorang Reporter, otomatis saya menceritakan pada sesi interview apa yang saya alami, yang saya temui, saya lakukan ketika menjadi seorang Reporter.Â
Banyak cerita yang keluar dalam obrolan tersebut, mulai dari waktu bekerja, target pekerjaan, kendala dalam bekerja, gaji selama bekerja, hingga uang "amplop" yang kerap kali diterima  seorang wartawan ketika mencari sebuah berita di lapangan. Sebenarnya, bukan ini yang menjadi inti dari cerita tulisan ini, tapi lebih kepada sesi interview ketika pihak HRD Sinergi Foundation menanyakan contoh karya tulis atau artikel yang pernah saya buat ketika malang melintang menjadi seorang reporter.Â
Secara jujur saya tidak dapat menunjukan artikel yang pernah saya buat, walau saya mengatakan "dahulu" saya kerap menulis sebuah artikel ataupun cerita yang saya unggah ke Kompasina.com, sehingga pihak HRD meminta saya menyerahkan artikel tulisan saya melalui email. Artikel yang dianggap yang terbaik menurut saya, ujarnya. Oke saya siap, jawab saya.
sepulang interview, saya mulai memikirkan artikel apa yang akan yang kirimkan nanti ke email Sinergi Fondation, karena jujur, saya merasa tidak memiliki sebuah artikel yang baik yang saya simpan. Sesampainnya di rumah, saya memikirkan akan menyeleksi seluruh tulisan yang pernah saya buat di Kompasina.com untuk salah satunya saya kirimkan, sebagai referensi contoh tulisan  saya. Namun, setelah masuk ke akun dan melihat, membaca  tulisan beberapa tahun silam, saya berfikir tidak ada yang layak untuk dikirimkan, karena tulisan acak-acakan dan tidak jelas, maklum saya hanya seorang penulis amatir yang memiliki mut menulis tidak jelas, kadang selera menulis, kadang lebih sering tidak selera menulis sesuatu dalam kalimat yang panjang.
Pada bagian akhir keputusan, saya akhirnya memutuskan menuliskan kalimat-kalimat ini yang akan saya kirimkan sebagai referensi pengalam kerja saya untuk saya dapat bergabung dan berjodoh di lembaga amil zakat Sinergi Foundation. Saya sadar ini bukan sebuah artikel, ini hanya sebuah cerita yang saya tumpahkan dalam bentuk tulisan, sebari saya melatih kemauan saya untuk kembali menulis, menulis, menulis dan terus menulis. Hasil akhir hanya Allah yang mempunyai kuasa apa yang terbaik buat saya.Â
***
Pada intinya, kemauan untuk membiasakan menulis memang ada pada diri kita sendiri, kita yang dapat mengatur diri kita, apakah kita akan membiasakan menulis dan terus menulis , ataukah kita hanya akan menulis pada saat-saat "dibutuhkan" seperti yang saya alami saat ini. Sebenarnya untuk menulis tidak lah rumit, kita hanya perlu meluangkan waktu sejenak merangkai kata demi kata untuk menjadi sebuah kalimat yang indah untuk dibaca.Â
Pepatah bilang, kalau hobi membaca seharusnya juga hobi menulis, atau kalau hobi menulis seharusnya hobi membaca. Entah kalimat mana yang lebih dulu di utamakan,tetapi yang jelas, kita harus berimbang dalam segala sesutu, jadi, kalau kita hobi membaca juga harus hobi menulis. Mebaca apapun itu, menulis apapaun itu. Pasti ada manfaatnya.  Tidak di pungkiri lemahnya atau bahkan hilangnnya minat untuk membaca dan menulis dikarenakan faktor kemajuan tekhnologi semakin hari semakin menjadi, khususnya Gedget. Kita banyak terlalu di "perbudak" oleh gedget kita, setiap saat, setiap waktu kita tidak ingin berjauh-jauhan dengan  dengan gedget, gedget mengendalikan kita, seharusnya kita yang mengendalikan gedget!.Â
Namun dibalik itu semua sebenarnya hanya sebuah teori, semua tegantung kita bagaimana kita mengendalikan diri kita, apakah kita akan terbuai oleh kemajuan tekhnologi, atau kita akan selektif memilih tekhnologi, sama halnya dengan meulis, apakah kita akan mengasah kemampuan menulis dan membaca kita dengan terus menulis dan membaca, atau kita hanya sebatas menulis dan membaca ketika "butuh" saja. Semua ada di tangan anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H