Perbincangan tentang Islam Nusantara atau Islam Indonesaia masih jadi topik hangat di negeri besar ini. Ada yang semangat, ada yang apatis, ada yang galau, pula ada yang menggugat gagasan Islam Indonesia atau sekedar alergi. Komunitas yang khawatirkan gagasan Islam Indonesia berangkat dari kecemburuan historis: Islam berasal dari Timur Tengah lalu mengapa harus Islam Indonesia, sempalan Islam apalagi itu? Seorang rekan sejawat bahkan pernah mengingatkan penulis (boleh juga dibilang layangkan protes keras) bahwa gagasan Islam Indonesia cuma layak sebatas perbincangan akademik bukan untuk dishare ke masyarakat. Gagasan Islam Indonesia dianggap masih asing, produk belum jelas, alih-alih dituduh dari pengaruh orientalisme Barat, dikacaukan nuansa sinkretik, dan distereotipekan lemah syariat. Perspektif cemburu demikian tentu terlalu jauh bahkan berlebihan dikembangkan.
Sejatinya Islam Indonesia bukan berasal wilayah entah berantah melainkan tentang orang Indonesia yang Islam. Sederhana pahami Islam Indonesia bisa dimulai dari bercermin saksikan bayangan pribadi di dalamnya. Adakah penampakan perawakan Timur Tengah dalam cermin? Postur bongsor, kulit putih, jenggot indah tebal yang lengket menutup sebagian kulit muka (orang Jawa bilang tidak nyrodok, njebrik, atau mrungkel), mata coklat, hidung tinggi dengan bengkok laksana paruh? Tak perlu galau bila bayangan demikian batal muncul di cermin karena kita orang Indonesia. Bila masih belum yakin coba lafazkan barang beberapa kata dalam bahasa Indonesia atau bahasa ibu keseharian; kita mampu karena memang kita orang Indonesia. Lalu di mana Islam Indonesia? Mereka tak berada jauh. Saat orang Indonesia yang mengintegrasikan ketakwaan dan keimanan pada Islam meluangkan bercermin seketika mereka temukan representasi Islam Indonesia: merekalah Islam Indonesia! Bukan Siria, bukan Iraq, bukan India, bukan Inggris, bukan pula yang lain-lain: karena kita adalah kita bukan mereka.
Saat sekolah menengah atas di sebuah yayasan Islam sedih tiap ikuti pelajaran Tarikh. Sejarah Islam diajarkan melulu sebatas dunia Timur Tengah (pun sarat tragedi konflik). Tentu wajar mengingat Islam memang lahir dan besar utama dari Timur Tengah. Namun sejarah tidak berhenti tercipta karena sejarah selalu muncul setelah manusia melewati “hari ini”. Sejarah bertambah bertumbuh bukan terbatas bingkai laksana sebuah pas foto yang berapa kalipun dilihat pose tak berubah bertambah luas. Islam bukan berkembang menghebat sebatas di Timur Tengah. Islam juga berkembang dari perjuangan muslim-muslim terdahulu merambah daratan mengarungi lautan hingga sampai di belahan dunia lain. Islam juga berjaya dari bibir dan tangan ulama-ulama lokal yang mendedikasikan diri dan jiwa mengajarkan Islam hingga pelosok negeri. Islam berkembang dari buah tutur bahasa lokal dengan oli pelumas jejaring budaya yang keseharian masyarakatnya. Dakwah akomodatif membuat Islam mengalir seperti air menempati wadah seperti apapun bentuknya menyemai kehidupan baru lebih baik didalamnya. Sayang sejarah demikian tak banyak mendapat panggung untuk diajarkan. Generasi Islam di Indonesia rentan terasing dari siapa pendahulunya, buta melihat siapa dirinya, hingga teramat curiga bahkan pada diri sendiri seolah orang asing, hingga mengumpat diri sendiri sebagai bukan Islam --alih-alih hingga memukuli saudara sendiri karena silau berlebih dengan keberislaman di Timur Tengah.
Persoalan krusial kedua adalah penulisan sejarah secara umum didominasi selera militeristik daripada moralitas keseharian. Sejarah perang tentu lebih memukau dan dianggap mujarab pertahankan gelora jihad. Namun di sisi lain pembelajaran historis yang melulu sekedar konflik fisik membawa dampak pada pemahaman parsial tentang sistem sosial seolah tiada dilakukan tertinggi suci kecuali perang. Seolah perang terjadi universalitas dalam dunia Islam di mana-mana dan setiap hari. Terlalu asyik mewartakan sejarah perang hingga melupakan suguhan sejarah normatif seperti jaringan bisnis Rasulullah, gaya hidup keseharian Baginda Rasul, pola, sahabat, keluarga, harmonitas gaya Madinah, pengembangan sosio-kultural kampung-kampung muslim, sejarah komunitas kumunitas-komunitas muslim di masa dalai yang lain, apalagi sejarah pengembangan keilmuan dan bidang sosial. Lebih parah lagi penajaman pembelajaran fenomena konflik buru-buru disimplifikasi tak ubahnya wayang-complex (layaknya dramaturgi wayang yang selalu berhadapan jelas tokoh baik dan buruk; bahkan dalam memaknai perang saudara-seiman sekalipun tanpa mengakomodir variabel perebutan panggung politis dan ekonomis lokal; lalu diimplementasi asal-asalan ke lokus yang sama sekali berbeda masa maupun kondisi.
Islam Indonesia bukanlah orang lain melainkan diri kita sendiri. Lalu ada apa dengan kita? Kita tinggal di atas tanah labil. Orang vulkanologi menyebutnya sebagai wilayah ring of fire karena jajaran gunung berapi yang dapur magmanya saling berkait satu sama lain. Ring of fire diaplikasi orang geologi menjelaskan di bawah tanah diinjak adalah pertemuan lempeng bumi Asia dan Australia. Tapi ilmuan sosial pun rasanya perlu sematkan ring of fire untuk Indonesia karena terlalu banyak populasi tinggal dengan aneka perbedaan latar belakang historis. Indonesia menjadi daerah demikian berbahaya bukan hanya dari letusan gunung berapi atau guncang gempa tektonik yang mengintip melainkan pula potensi ledakan emosional konflik masyarakat yang berbeda latar belakang dan kepentingan. Bila Nusantara (nama klasik Indonesia) dikhawatirkan Majapahit akan hancur terpecah tercerai-berai hingga perlu kesadaran bhineka tunggal ika maka Indonesia pun sama. Muslim Indonesia gagal berperan menjaga syukur dan amanah wilayah seluas 1.919.440 km² ini bila tak sanggup hidup berbeda dan mementingkan egosentrisme sesaat. Serumah saja bisa berbeda apalagi seluas Indonesia.
Islam Indonesia bukanlah gagasan entah berantah, sebatas topik akademik yang harus dicari-cari, diperbincangkan, dan diseminarkan. Islam Indonesia adalah Islam yang sadar bahwa perbedaan adalah sunatullah dan memandang ukhuwah pantas diperjuangkan. Jadi mengapa phobia sementara Islam Indonesia bukan siapa-siapa melainkan kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H