Mohon tunggu...
Haryo Aji Nugroho
Haryo Aji Nugroho Mohon Tunggu... Guru - Dunia berubah oleh pikiran tak biasa

Laki2

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Balada Tanaman Buah & Kemiskinan

18 November 2014   17:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:31 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi-pagi jelang tempelkan jari ke penala finger print. Seorang rekan bertanya, "Pak Aji bagaimana tanaman Talok seperti ini dari perspektif Antropologis? Tuh buah hasil banyak ampe jatuh-jatuh begitu." Lalu aku bilang tanaman buah penting buat kecukupan nutrisi vitamin masyarakat. Bila perlu semua pohon berbuah massal (buah tradisional, murah, lebat, bisa langsung petik-konsumsi tanpa kupas) apapun penting ditanam di sekolah maupun kampus. Pohon ditanam di sekolah-kampus seperti ini pun penting buat kecukupan nutrisi pelajar-mahasiswa; terlebih buat sekolah-kampus yang diserbu golongan menengah ke bawah. (Wah nanya dijelasin tapi sambil jalan disambil aktifitas lain sendiri; seperti narasumber tak ada di sana. Rupanya penanya cuma bertanya sekedar buat "say hallo", jadi apes dech. Bukan pertanyaan untuk dijawab rupanya. Tapi okelah melanjutkan berpikir sendiri dan pergi).

Jadi aspek kulturalnya adalah tanaman buah bisa dikaitkan dengan kemiskinan struktural yang berujung terciptanya moralitas kemiskinan atau mental miskin atau lebih parah budaya miskin. Kebudayaan di belakang kepala memang mendasari bagaimana perilaku dan pikiran pelakunya. Kemiskinan yang akut dan menjelma menjadi "budaya miskin" mampu memformat perilaku dan pemikiran sebuah komunitas untuk "selalu mendefinisikan diri miskin". Penyelesaian pun tak bisa seketika (diberi materi) karena budaya miskin tak seketika lenyap sekalipun kekayaan sudah meningkat (berapa kali lipat pun).

Budaya kemiskinan dapat dicontohkan seperti dalam keluarga-keluarga yang tak ingin sisihkan anggaran untuk wisata melainkan menjejal seumur hidup untuk bekerja sambil menggerutu. Mereka yang sadar melihat wisata sebagai upaya mewakafkan waktu dan anggaran sesuai kemampuan untuk merehat waktu kerja dan tidur. Wisata keluarga bisa berfungsi merefresh tenaga dan semangat untuk kembali serius bekerja, tapi bibir pengidap budaya miskin akan bilang, "Kami kan bukan keluarga kaya, dari mana uangnya. Kalaupun ada kan mending buat makan." Padahal tujuan wisata bisa disesuaikan waktu dan anggaran. Wisata bukan harus bermalam seminggu di Bali atau Singapura. Jalan-jalan santai di pinggir selokan pun jadi. Budaya kemiskinan juga bisa terkait dalam pemenuhan kecukupan nutrisi vitamin buah. Pernah dengar ungkapan, "Boro-boro vitamin buat makan aja kurang!" Vitamin akhirnya kelewat ngga kebeli atau memang ngga kepikir buat dibeli. Padahal vitamin penting buat membantu penyerapan nutrisi makanan dan menghambat tumbuh sel-sel degeneratif semacam kangker.

Kebun buah di sekolah-kampus adalah harapan terakhir dalam suasana kultur demikian buat pamenuhan kecukupan nutrisi vitamin. Sekolah-kampus jadi tempat gelantungan siswa-mahasiswa? Ah itu soal lain lagi. Tampaknya jargon Prabowo dalam kampanye presiden bisa dipakai dalam hal ini. KALAU BUKAN SEKARANG KAPAN LAGI, KALAU BUKAN KITA SIAPA LAGI bisa diaplikasi dalam kampanye kecukupan vitamin masyarakat menjadi KALAU BUKAN SEKARANG KAPAN LAGI, KALAU BUKAN SEKOLAH-KAMPUS SIAPA LAGI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun