Masih ingat "gadget" yang bernama "pager" ? Pada masanya, mungkin sampai akhir tahun 1999-an, pagersempat berjaya. Orang-orang yang memakai pun merasa sudah sangat "gaya" bila memakai gadget tersebut. Pada saat di mana telepon hanya berupa "fixed phone" (telepon yang memakai kabel, di Indonesia provider nya ya hanya PT Telkom), pemakai pager bisa dihubungi "di mana saja", sehingga bisa sangat bermanfaat baginya.Â
Caranya memang masih agak kurang  praktis: Orang yang ingin menghubungi si pemakai pagertadi harus menelepon provider pager, "membacakan" pesannya dan meminta operator untuk meneruskan pesan tadi ke pemakai pager yang dituju. Operator mengirim pesan tersebut kepada nomor pager yang dituju. Pesawat pager yang bersangkutan akan berbunyi "beep", si pengguna pager membaca pesan, lalu dia mungkin pergi ke telepon umum (yang pada saat itu ada di mana-mana), dan menelepon si pemberi pesan.
Nggak praktis banget ya? Memang nggak, tapi ya begitulah pada masa itu. Si pengguna harus membeli alat pager nya dan membayar biaya berlangganan yang lumayan per bulannya kepada provider (kalau tidak salah sebesar sekitar 200 ribu rupiah per bulan). Tapi begitulah, pada saat itu alat pager dianggap sangat bermanfaat, dan dengan harga alat dan biaya operasional yang lumayan terjangkau...
Pada saat itu ponsel harganya masih sangat fantastis, konon katanya pada pertengahan tahun 1980-an ponsel jaman itu (yang berukuran besar, bahkan masih memakai baterai sebesar accu motor, dan sama sekali belum memakai fitur-fitur seperti pada ponsel jaman sekarang), harganya setara dengan harga mobil baru kelas menengah, ratusan juta rupiah... Mahal sekali ya..?.
Tapi apa yang terjadi ketika "muncul" hp dengan harga yang lebih sangat terjangkau? (walaupun kartu perdana nya masih harus indentselama tiga bulan, dan dengan harga yang fantastis: pada tahun 1999 pada saat Om-G memiliki ponsel yang pertama, harga kartu perdana ponsel adalah satu juta rupiah sebuah). Walaupun fitur yang dimiliki hp masih sangat sederhana (hanya bisa dipakai untuk menelepon dan mengirim/menerima sms), ternyata ini sangat menghantam bisnis provider pager. Dan walaupun tarif pulsa telepon masih sangat mahal (kalau tidak salah sekitar 9 ribu rupiah per menit untuk menelepon, dan juga masih dikenai tarif "roaming" bila kita menerima telepon...), tetapi tarif sms sudah dianggap terjangkau.Â
Akibatnya, bisnis pager langsung "nyungsep" dan tidak dapat ditolong lagi...
Bagaimana tidak, dengan tarif sms yang terjangkau, tanpa biaya abonemen (biaya berlangganan), dan yang lebih penting: jauh lebih praktis: Pesan langsung masuk ke ponsel yang dituju, tanpa harus melalui campur tangan operator manusia. Dan bisa langsung dibalas, tanpa harus mencari-cari telepon umum dulu...
Nah agaknya ini terjadi lagi sekarang. Perbincangan mengenai "friksi" antara ojek dan taksi konvensional versus ojek dan taksi online ternyata masih berlangsung... Ada sebagian masyarakat yang lebih menyukai (dan "membela") ojek dan taksi online, tetapi ada pula yang lebih memihak ojek (dan terutama taksi) konvensional.
Menurut Om-G mah perbedaaan pendapat itu sah-sah saja... Tetapi agaknya kita harus lebih mengedepankan kepentingan masyarakat yang lebih banyak daripada kepentingan segelintir orang, 'kan?
Agaknya tidak dapat disangkal bahwa ojek dan taksi online muncul dengan beberapa keunggulan dibandingkan dengan ojek dan taksi konvensional: tarif yang lebih murah, "daya jangkau" yang lebih fleksibel (pengguna ojek didatangi di tempat), tanpa tarif minimum seperti kalau kita memesan taksi konvensional melalui telepon, lebih bersifat "traceable"(sehingga bila barang kita tertinggal di taksi bisa kita "lacak"...), kendaraannya lebih "muda", dan sebagainya. Walaupun sebenarnya, dengan syarat-syarat tertentu, mungkin bisa saja para pengemudi ojek konvensional tadi menyaingi ojek online [Silakan baca tulisan Om-G yang terdahulu di: Para Pengemudi Ojek Pangkalan, Anda Bisa Menyaingi Ojek On-Line Kok, Begini Caranya...].Â
Dalam perkembangannya, ojek dan taksi online, yang disambut "dengan gegap gempita" oleh masyarakat pengguna, ternyata mendapat perlawanan dari para pengemudi ojek dan taksi konvensional (atau perusahaannya? Wah ndak tahu deh...). Di beberapa kota, dulu, ada demo penolakan, kadang-kadang disertai dengan tindakan main hakim sendiri: pemukulan pengemudi ojek dan taksi online serta perusakan taksi dan ojek online oleh para pengemudi taksi dan ojek konvensional. Yang menurut Om-G mah ini sudah merupakan "kezaliman", baik terhadap pengemudi ojek dan taksi online, maupun terhadap masyarakat pengguna... [Silakan baca tulisan Om-G yang terdahulu di: Disadari Atau Tidak, Ojek Pangkalan Telah Menzalimi Masyarakat Pengguna].
Di Bandung, setahu Om-G, tindakan demikian sudah tidak terjadi lagi. Tetapi dari "laporan" anak Om-G yang kadang memakai ojek dan taksi online, para pengemudi konvensional itu masih suka "mengusir" pengemudi taksi dan ojek online dan bilang bahwa "ini adalah wilayah kami, sampeyan ndak boleh ngambil penumpang di sini...". Lho, di pangkalan ojeknya barangkali mereka masih bisa bilang bahwa "ini adalah wilayah kami", tapi satu milimeter di luar pangkalan mah ya ndak boleh dong... semua berhak memakai jalan; memangnya mereka yang bikin jalan..? Ah ini mirip dengan tindakan para sopir ojek konvensional yang melarang angkot "masuk" ke jalan tertentu setelah lewat magrib....
Trus, kenapa ya taksi online bisa memasang tarif yang lebih rendah? Ya jelas atuh. Pada taksi online, perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya investasi untuk pembelian mobil seperti pada perusahaan taksi konvensional. Dan ini jelas merupakan perbedaan yang cukup signifikan kepada "production cost" atawa harga pokok produksi (depresiasi ini "masuk" via mekanisme "biaya" depresiasi).Â
Apa lagi bila perusahaan membeli secara kredit, di mana dia harus menanggung pula bunga kreditnya]. Demikian pula bersangkutan dengan biaya-biaya operasional tertentu, misalnya pajak kendaraan bermotor dan biaya perawatan kendaraan, yang pada perusahaan taksi konvensional ditanggung oleh pihak perusahaan, dan tidak demikian halnya pada perusahaan taksi online.Â
Untuk "perhitungan "biaya-biaya ini, mudah-mudahan suatu hari akan Om-G tulis ya; paling tidak, ini untuk menjelaskan bahwa tarif atas dan bawah pada taksi online mestinya tidak disamakan dengan tarif atas dan bawah untuk taksi konvensional. Intinya adalah bahwa perusahaan taksi online memanfaatkan "iddle capacity"yang ada pada mobil-mobil yang dimiliki perorangan (yang mungkin hanya dipergunakan 1-2 jam per hari, sehingga dengan bergabung dengan perusahaan taksi online  maka "utility" nya akan menjadi lebih besar, tanpa menambah besaran "fixed cost" tadi....
So, dalam "peperangan" ini posisi masyarakat banyak agaknya jelas: mereka "pro" terhadap ojek dan taksi online; karena masyrakat pengguna ini tentunya akan lebih memilih transportasi yang lebih murah, aman, traceable dan flexible ini.
Siapa yang tidak setuju terhadap moda transportasi online? Untuk Om-G mah terus terang agak kurang jelas.Â
Organda? Sebagai pengayom perusahaan (dan pengemudi) moda angkutan darat (kecuali kereta api), rasanya akan lebih bijak kalau Organda pun merangkul moda transportasi online ini, agar ke depannya bisa memberikan pembinaan dan pengayoman, termasuk kepada yang disebut terakhir ini.
Bagaimana dengan perusahaan taksi konvensional? Agaknya untuk perusahaan taksi konvensional sih maka taksi online jelas "membahayakan" bisnis mereka, tapi tidak selalu berarti bahwa mereka benar-benar menentang cara online ini. Buktinya? Lha 'kan sekarang taksi tertentu juga membuat aplikasi sendiri untuk taksinya. Malah di Bandung (plus di kota-kota lain mungkin), yang Om-G tahu, sudah ada perusahaan taksi konvensional yang bekerjasama dengan perusahaan penyedia layanan online untuk taksi mereka (yang adalah perusahaan taksi online juga...). Jadi mereka ini mah semacam "benci tapi rindu" gitu... Bilang kontra terhadap yang online tapi toh meniru dan memanfaatkan cara online juga...
Bagaimana dengan para pengemudi taksi konvensional? Mereka juga bisa saja kok, bergabung dengan perusahaan taksi online. Malah mungkin menjadi lebih enak, karena waktu mereka jadi lebih flexible...
Jadi agaknya jelas ya, bahwa untuk para pengemudi sih, cara online ini tidak "membunuh" mereka, melainkan akan lebih menguntungkan. Bagaimana dengan penghasilan mereka, 'kan tarif transportasi onlinelebih murah? Ya nggak lah, penghasilan 'kan sama dengan volume dikalikan dengan tarif satuan. Kalaupun tarif satuan menjadi lebih kecil, dengan volume yang lebih besar maka penghasilan total para pengemudi ini bisa lebih besar daripada sebelumnya. Nggak percaya? Tanya saja deh para pengemudi ojek online...
Untuk pengemudi taksi juga, selain volume yang lebih besar, juga menjadi lebih efisien, karena dengan menunggu panggilan secara online, maka mereka tidak perlu lagi muter-muter mencari penumpang dengan banyak menghabiskan bensin, yang artinya untuk Pemerintah pun mestinya ini lebih menguntungkan karena subsidi bbm premium sedikit banyak akan menurun karena konsumsinya yang menurun. Juga sedikit banyak akan mengurangi taksi (baca: kendaraan) yang hilir mudik memenuhi jalan hanya karena untuk mencari penumpang...
Bagaimana dengan para pengemudi ojek pangkalan? Selama ini (sebagian) dari mereka memang masih kontra terhadap ojek online; tapi apa susahnya sih kalau mereka bergabung saja dengan perusahaan ojek online; malah ini bisa terjadi tanpa biaya "uang pangkal". Paling tidak, menurut yang Om-G dengar, kalau orang mau menjadi anggota di sebuah pangkalan ojek, maka dia harus membayar sejumlah uang yang cukup besar, sampai sekitar 12,5 juta rupiah; hal yang tidak ada kalau dia bergabung dengan perusahaan ojek online.Â
Ada juga sih biayanya, yaitu harus membeli ponsel android, tapi konon katanya, ponsel ini pun bisa diperoleh secara kredit dari perusahaan ojek online-nya.... Jadi mestinya mereka tidak usah protes-protes, bergabung saja dengan ojek online. Beres... (kecuali kalau dia tidak punya SIM, atau motornya sampun sepuh sekali [lebih dari sepuluh tahun), atau tidak layak jalan....
Bagaimana dengan "Juragan"pangkalan ojek? Yang ini mah pasti deh kontra terhadap ojek online, wong dia jadi kehilangan pendapatan dong... Tapi jangan tanya siapa mereka ini ya? Om-G mah nggak tahu, atau pura-pura nggak tahu, hehehe...
Trus, bagaimana baiknya atuh? Ah menurut Om-G mah sederhana saja. Bagaimana pun penggunaan cara online untuk taksi dan ojek tidak akan bisa dibendung. Suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, pasti taksi dan ojek onlineakan "menghapus" taksi dan ojek konvensional. Jadi kita ajak saja Pemerintah untuk menyiapkan aturan-aturan dan sebagainya, termasuk aturan mengenai tarif batas dan bawah tadi.
Lha Om-G, bagaimana kalau taksi konvensional sudah mati, jangan-jangan taksi online akan menentukan tarif dengan "seenak udelnya", sehingga konsumen akan harus menanggung ongkos yang lebih tinggi? Ya itulah sebabnya hal ini pun harus diatur. Selain itu, perusahaan transportasi online 'kan tidak hanya satu... dan antar mereka pun pasti saling bersaing, sehingga yang menerapkan tarif yang mahal mah akan ditinggalkan oleh konsumen (bahkan konsumen bisa tahu tarifnya sebelum "memanggil") seperti yang sudah pula terjadi sekarang ini... [di mana tarif sebuah transportasi online eh tiba-tiba naik, lebih mahal daripada perusahaan yang lain, tapi segera turun lagi karena mungkin para konsumen beralih...].
Sekian dulu dari Om-G ya... Ini mah hanya opini pribadi lho, jadi kalau ada yang punya pendapat lain ya monggo...
Salam hangat,
Om-G
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H