Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beberapa "Cerita Aneh-aneh" pada Saat Berhaji

23 Agustus 2017   09:34 Diperbarui: 23 Agustus 2017   10:03 12894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Masjidil Haram yang pada musim haji selalu ramai, bahkan pada lewat tengah malam sekalipun.

Pada waktu sebelum berangkat haji, Om-G sudah sering  mendengar "dongeng" atau cerita yang "aneh-aneh" pada saat orang berhaji, yang Om-G sendiri tidak percaya kebenarannya. Ya kalau orang yang menceritakan itu adalah orang yang dihormati, Om-G tetap manggut-manggut sih... tapi tetap saja Om-G tidak percaya! Bagaimana tidak? Sepertinya cerita-cerita itu memang aneh-aneh, dan boleh dikata tidak masuk akal. Tetapi pada saat Om-G berhaji pada 2010 (halah ndak terasa ternyata sudah lama juga ya, 7 tahun...), 'terpaksa' deh jadi percaya karena memang mengalaminya sendiri!

Nah di sini Om-G mau sharing deh beberapa hal yang Om-G alami dan yang dialami oleh beberapa saudara/teman yang Om-G yakini bahwa dia tidak berbohong... Jadi insya Allah semua yang akan diceritakan di sini adalah peristiwa yang dialami sendiri oleh Om-G, atau yang Om-G ada di TKP situ, atau yang Om-G yakini benar-benar terjadi. Tapi ini mah sekedar sharing ya, bukan untuk acara debat-debatan... Jadi seandainya ada yang ndak percaya, ya monggo... ndak maksa kok, ok?

Orang bilang, kalau sedang berhaji (dan setelahnya juga tentu...), kita tidak boleh sombong. Nah ada tambahannya, konon kalau sedang berhaji, kepada (sebagian dari) kita akan langsung diperlihatkan bahwa kita adalah mahluk yang sangat kecil, yang tidak ada apa-apanya sama sekali di hadapan Allah SWT...

Ada beberapa cerita tentang ini, yuk kita simak...

Pada saat itu kloter kami termasuk "gelombang ke dua", dan mendaratnya, kalau tidak salah, di bandara King Abdul Aziz, Jedah, pagi-pagi sekitar pk.06 [Dan, believe it or not, di situ kami disambutoleh beberapa orang Indonesia (mungkin bekerja sebagai cleaning service?) di wilayah terminal kedatangan yang menawarkan kartu perdana ponsel dari provider lokal plus pulsanya. Sangat membantu...].

Setelah urusan imigrasi selesai, yang cukup lama karena para jemaah yang berdatangan 'bejibun'; sambil menunggu rekan-rekan se-KBIH yang masih mengantri untuk urusan imigrasi, kami berkeliarandi sekitar situ untuk melihat-lihat dan cari sarapan, walaupun di pesawat sudah diberi konsumsi yang sangat cukup (tapi 'kan kami tidak tahu jam berapa nanti akan bisa makan lagi...). Dan yups, ndak usah kuatir, di wilayah dekat-dekat terminal kedatangan situ  memang ada beberapa 'warung' yang menyediakan makanan dan minuman yang cukupan deh buat sarapan sih (semacam mini market deh...), bahkan juga ada yang menyediakan french fries dan kopi panas. Siip, urusan sarapan beres dah.

Setelah semuanya beres, kami satu KBIH naik beberapa bis yang cukup nyaman menuju kota Mekah (Maaf ya, Om-G lupa lagi berapa jam perjalanan antara Jedah-Mekah). Kira-kira di tengah perjalanan, ada pemeriksaan surat-surat (semacam pemeriksaan imigrasi lagi, ?); dan di situ kami mendapat 'nasi kotak' yang masih hangat untuk makan siang, disantap di bis, plus satu botol air mineral. [Barangkali yang menyediakan adalah KBIH. Atau jangan-jangan Pemerintah Arab Saudi? Wah ndak tahu deh...]. 

Lalu kami tiba di pemondokan sekitar pk.14 atau 15 gitu deh, dan Ketua KBIH menyarankan agar kami langsung beristirahat "untuk mengumpulkan tenaga"untuk melakukan Thawaf pertama yang akan dipandu oleh para petugas dari KBIH pada malam harinya sekitar pk.22. [Instruksi yang sangat berharga. Maklum deh, walaupun mempunyai semangat yang menggebu-gebu untuk melakukan ibadah dengan maksimal, sebagian yang cukup besar dari kami adalah orang-orang yang sampun sepuh a.k.a sudah tua. Ya harus sadar diri deh untuk cukup beristirahat...].

Oh ya tentang makan ternyata sama sekali ndak susah. [Pada saat itu kami yang berhaji dengan "ONH biasa" memang harus mencari makanan sendiri, tetapi uang 1500 real yang diberikan kepada kita pada saat masih di asrama haji sangat mencukupi kok untuk beli makanan mah...] Persis di depan pintu pemondokan sudah berjejer 10 atau 20 an orang Indonesia mukimin yang menjual aneka masakan Indonesia, plus nasi, dengan harga "serba 1 real". Seporsi nasi putih: 1 real, nasi uduk: 1 real, ayam goreng: 1 real, gulai ayam: 1 real, goreng ikan: 1 real, kerupuk: 1 real, bakwan: 1 real, dll. dsb. dst., pokoke semuanya at the same price: 1 real. Jadi untuk sekali makan, 3-5 real per orang cukuplah sudah. Kenyang dan enak.

Lha dari mana para penjual makanan itu tahu bahwa di situ adalah pemondokan bagi Jamaah Haji Indonesia? Ya mudah sekali atuh... 'Kan di pintunya juga ada tulisan yang cukup jelas memberikan keterangan tentang hal itu. Ini berfungsi pula sebagai tanda buat kami para "penghuni" bahwa rumah kami ya di situ itulah... [Hallo teman-teman dari KBIH Percikan Iman dan dan Pos Indonesia 2010, apa kabar? Masih ingat, 'kan, pada "Rumah 722" kita..?].

Beberapa hari kemudian, setelah kami kasak-kusuk melakukan pengenalan wilayah, ternyata di dekat situ juga ada warung soto dan sate Madura dengan makanan dan sayuran yang lebih beragam, dan ada warung ayam panggang Turki yang maknyus dengan tarif 15 real per satu ayam berukuran besar atau 8 real per setengah ayam. [Agaknya di Arab Saudi, paling tidak di tingkat eceran, satuan paling kecil ya 1 real itu; jadi ndak ada yang harganya 2,5 real misalnya...]. Singkat cerita, menurut Om-G mah kita tidak perlu berat-berat membawa makanan dari Indonesia, mie instan pun ndak perlu (lha mie instan  dengan merk seperti di Indonesia juga banyak dijual di warung-warung kok, walaupun dibuatnya sih di pabrik yang ada di wilayah situ, tetapi dengan rasa yang persis sama).

Kembali lagi ke cerita tentang pelaksanaan Thawaf yang pertama kali, yang dilakukan secara bareng-bareng se-KBIH tadi ya... Sekitar pk.22 kami sudah bersiap berjalan kaki sekitar 2,5 km menuju ke Masjidil Haram dengan didampingi beberapa petugas dari KBIH (baik yang dari Indonesia maupun yang mukimin). Acara diawali dengan ceramah dari Ketua KBIH tentang Ibadah Thawaf dan Sa'i serta penjelasan tentang rute jalan kaki dari pemondokan kami ke Masjidil Haram pulang pergi, yang ternyata "sederhana" dan mudah sekali, wong cuma lurus saja kok. [Catatan: pemondokan bagi Jamaah Haji Indonesia tersebar di banyak tempat, sehingga 'penjelasan tentang rute' ini hanya berlaku untuk pemondokan kami pada waktu itu saja ya... Tidak berlaku secara umum!].

"Bapak dan Ibu Jamaah sekalian, rute kita lurus saja kok. Bapak dan Ibu bisa lihat Zamzam Tower? Itu menara yang tinggi yang ada jam-nya. Nah ke situlah kita menuju karena Zamzam Tower berada di 'halaman' Masjidil Haram. Untuk pulang ke pemondokan, kalau bingung karena Masjidil Haram luas sekali dan berpintu banyak, Bapak dan Ibu tinggal mengambil patokan Zamzam Tower lagi, lalu ambil jalan lurus yang kira-kira segaris dengan garis antara Masjidil Haram dan Zamzam Tower, lurus saja terus, sampai deh ke rumah kita ini...".

Zamzam Tower, yang disebut juga "The Mecca Clock Tower", terlihat menjulang sehingga pada malam hari pun jelas terlihat [Sumber gambar: www.islamicfinder.info]
Zamzam Tower, yang disebut juga "The Mecca Clock Tower", terlihat menjulang sehingga pada malam hari pun jelas terlihat [Sumber gambar: www.islamicfinder.info]
Zamzam Tower di kompleks Abraj Al Bait tempat Mall Abraj dan hotel-hotel berbintang 5. Karena tinggi, bisa dijadikan 'patokan arah'. [Sumber gambar: alshaumroh.com]
Zamzam Tower di kompleks Abraj Al Bait tempat Mall Abraj dan hotel-hotel berbintang 5. Karena tinggi, bisa dijadikan 'patokan arah'. [Sumber gambar: alshaumroh.com]
Sederhana sekali, 'kan? Tapi ternyata yang sangat sederhana sekali itu pun, bila Tuhan menghendaki, bisa bikin kita nyasar, kalau di hati kita ada kesombongan. Wallahu alam.

Ceritanya begini, pada saat Thawaf dan kemudian Sa'i, kami memang dipandu penuh oleh para petugas dari KBIH Percikan Iman -- Bandung; tetapi setelah selesai, kami dipersilakan untuk "acara bebas".Untuk ini Om-G dan isteri serta beberapa teman bersepakat untuk melaksanakan i'tikaf di Masjidil Haram sampai selesai shalat Subuh.

Selesai shalat Subuh, kami berencana pulang ke pemondokan, setelah sebelumnya menikmati "teh susu" panas yang banyak dijual di toko-toko/warung di sekitar Masjidil Haram. [Mau sarapan berat sebelum pulang ke pemondokan? Mudah kok, di situ juga banyak yang jualan ayam panggang plus french fries atau nasi]. Nah di saat inilah "insiden" itu terjadi. Pada saat itu, isteri Om-G (dengan panggilan kesayangan 'Bunbun' yang berasal dari kata 'Bunda'), dengan pede nya bilang bahwa yang lain ikut dia saja, karena dia hafal jalan pulang ke pemondokan yang "Dari Zamzam Tower tinggal lurus saja kok, apa susahnya...".

Tapi apa yang kemudian terjadi? Kami nyasar, Saudara-saudara... "Lha kok ini jadi menghadap bukit batu ya? Padahal dekat pemondokan kita 'kan ndak ada?". Bingunglah kami. Tapi setelah berputar-putar sebentar, Om-G teringat sesuatu, lalu bisik-bisik ke telinga Bunbun bahwa mungkin dia dianggap "sompral" [sombong dalam ucapan (istilah dalam bahasa Sunda, Red.)] oleh Allah SWT, dan menganjurkan untuk ber-istigfar, yang langsung dia laksanakan. Setelah itu kami berjalan kaki lagi sesuai insting, dan apa yang terjadi? Voil, sampailah kami di pemondokan. Wallahu alam bissawab.

Ada pula cerita yang mirip, malahan yang ini lebih "seru" daripada yang tadi, yang dialami oleh seorang teman. Sang teman ini punya hobby jalan kaki dan dia sering muter-muter di sekeliling Mekah/Masjidil Haram sampai dia merasa "hafal". Pada suatu hari dia diajak pulang bersama-sama ke pemondokan oleh rekan-rekannya [Tempat pemondokannya lain dengan pemondokan yang Om-G huni]. 

Dia menjawab "Silakan duluan deh, saya sih sendiri juga berani, wong sudah hafal kok ...".Tapi apa yang terjadi? Dia merasa sudah mengambil jalan yang benar, tapi pemondokannya kok tidak kelihatan juga. Dia berputar-putar selama 2 jam, tetap belum ketemu. Akhirnya dia ber-istigfar, dan terlihatlah pintu pemondokannya, yang hanya berjarak sekitar 20 meteran dari tempat dia beristigfar tadi. Dan di situ terlihat pula beberapa teman sekloter yang sedang berbelanja makanan dan ngobrol-ngobrol di depan pintu pemondokan. Mereka bilang bahwa mereka pun melihat sang teman tadi hilir mudik selama dua jam di sekitar situ; hal yang sama sekali tidak kelihatan oleh sang teman. Wallahu alam bissawab.

Di Saudi, paling tidak saat itu, rupanya ada pameo bahwa yang tidak kena batuk mah cuma dua: Orang Arab dan onta. Bagaimana ndak? Lha 'kan bagaimanapun suasana gurunitu pasti ada: panas dan kadang-kadang ada angin yang membawa debu dan pasir. Ditambah lagi sebagian dari kami 'kan sampun sepuh, plus agak kurang tidur, karena semangat tinggi untuk beribadah sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya walaupun Ketua KBIH kami sering mengingatkan agar kami beristirahat cukup, banyak minum, banyak makan buah-buahan, dan selalu menjaga kesehatan. Akibatnya ya banyak di antara kami yang terserang batuk.

Om-G mah alhamdulillah ndak ikut-ikutan batuk. Kenapa? Nah ini ada ceritanya nih... Kebetulan ada teman sekamar di pemondokan yang Ustadz [Ustadz beneran. Beliau pada saat itu bertugas di Timika, Papua. Hallo Om Ustadz Karim, apa kabar? Semoga selalu sehat-sehat ya...]. Pada saat beliau melihat Om-G minum dengan cara yang sembarangan, beliau mengingatkan dengan cara yang sangat santun: "Om-G, sebagai ummat Islam, kalau kita minum sebaiknya selalu gunakan cara yang baik. Begini: Dengan posisi duduk, ucapkan Bismillah, ambil gelas dengan tangan kanan, minum tiga teguk, letakkan gelas, ucapkan Alhamdulillah. Masih haus? Ulangi yang tadi: Dengan posisi duduk, ucapkan Bismillah, ambil gelas dengan tangan kanan, minum tiga teguk, letakkan gelas, ucapkan Alhamdulillah. Demikian seterusnya...".

Diberi nasihat oleh Om Ustadz, dengan cara yang sangat santun pula, dan dalam semangat beribadah yang menggebu-gebu, ya nurutlah Om-G. Dan alhamdulillah, Om-G sama sekali tidak terserang batuk tuh... Lha, makanya pada saat ditanya oleh teman-teman tentang kenapa Om-G ndak kena batuk, dengan "gaya" Om-G menjelaskan tentang tata cara minum yang baik tadi.

Apa yang terjadi? Malamnya Om-G batuk berat sampai-sampai susah tidur dan mengganggu orang lain! Lha bagaimana ini, sudah "nyombong" kok malah kena batuk? Untungnya Om-G cepat sadar bahwa mungkin Om-G di-capsombong oleh Allah SWT, karena mungkin dalam hati yang terdalam terbersit bahwa Om-G menganggap diri sejajardengan Om Ustadz tadi, padahal mah boro-boro... Jauh tanah ke langit deh antara Om-G dan Om Ustadz mah. Setelah sadar diri, ya beristigfar deh... Lalu, tanpa disadari, Om-G langsung bisa tidur, dan paginya batuknya pun tidak muncul lagi. Alhamdulillah...

Yang jadi masalah, beberapa hari setelah itu, weleh-weleh, kok Bunbun ikut-ikutan kena batuk juga... Wah Om-G jadi bingung nih, dikasih tau jangan ya? Ah akhirnya, la haula wala quwwata illa billah deh, Om-G bilang ke Bunbun tentang yang tadi itu, setelah sebelumnya dalam hati membatin,mohon ampun kepada Allah SWT agar mudah-mudahan tidak terselip rasa sombong di hati Om-G dengan mengatakan 'resep' tadi, karena niat Om-G adalah ingin agar Bunbun tercinta sembuh dari batuknya. You know what? Ternyata malamnya Bunbun langsung sembuh dan Om-G pun tidak batuk-batuk lagi seperti sebelumnya... [Mohon ampun ya Allah, mudah-mudahan pada saat menceritakan ini pun Engkau hilangkan rasa sombong pada diri hamba... Aamiin.Lha Om-G mah rasanya masih sangat tidak pantas disejajarkan dengan Om Ustadz yang pasti jauh lebih banyak dan lebih mendalam pengetahuan agamanya... ].

Cerita berikutnya yang rada lucu diceritakan oleh kakak kandung Om-G dan beberapa teman yang berangkat haji pada tahun yang berbeda, tapi ceritanya mirip-mirip. Pada saat di Masjidil Haram, mereka merasa "Eh ini apa sih... Kok banyak [maaf, Red.] orang item ya..., yang 'gitu' lagi, jangan-jangan sudah beberapa hari ndak mandi nih...". Lha kok setelah punya pemikiran begitu dalam hati, eh ternyata mereka merasa bahwa ke mana pun mereka pergi, ke mana pun mereka bergerak, selalu deh diapit oleh "orang-orang item yang gitu". Lagi wudhu, sewaktu shalat, sewaktu jalan, sewaktu istirahat setelah lelah Thawaf, mereka merasa selalu diapit oleh "orang-orang item yang gitu".

Untungnya mereka segera sadar, dan beristigfar. "Astagfirullahal aziim. Ya Rabb, ampuni hamba. Tidak sepatutnya hamba merasa 'lebih' daripada mereka. Mungkin sekali mereka lebih mulia dalam pandanganMu karena mereka lebih beriman dan lebih bertaqwa daripada hamba...". Dan cling... hilanglah 'pemandangan' tadi... Kalaupun ada orang-orang yang dikaruniai kulit gelap di sekitar mereka ya wajar saja (tapi tidak terus-terusan seperti sebelumnya), lha memang pada saat musim haji (bahkan di luar musim haji, di mana orang-orang melaksanakan ibadah umroh), orang-orang dari segala suku bangsa dengan segala macam warna kulit berdatangan dari seluruh pelosok dunia...

Ini cerita yang lain lagi, yang didapat dari seorang rekan sepemondokan. Sebelum Subuh rupanya ada teman sepemondokan yang, mestinya sih dengan niat baik, mengajak teman-teman sekamarnya untuk shalat Subuh di Masjidil Haram. Tapi ternyata beberapa orang yang diajak itu lebih memilih shalat Subuh di mesjid yang berada di dekat pemondokan. Eh sang teman tadi konon 'ngomel'. "Mumpung sedang di Mekah, mbok yao kita memperbanyak shalat di Masjidil Haram. Kapan lagi...? Kalau di mesjid sebelah rumah sih di Bandung saja, tidak usah ke Mekah...". Sepulangnya dari Masjidil Haram, dia beristirahat. Tapi setelah selesai istirahat, dan ingin berkegiatan yang lain, ternyata dia tidak bisa berjalan kaki, bahkan untuk berdiri pun susah.

Teman yang bercerita tadi langsung 'teg' saja... "Jangan-jangan... Jangan-jangan...",lalu dia menyampaikan kecurigaan-nya itu kepada Bapak Ustadz Ali, Pimpinan KBIH Percikan pada saat itu [Om-G menerima kabar bahwa sekarang Bapak Ustadz Ali sudah almarhum. Semoga Allah SWT mengampuni segala kesalahannya, menerima iman Islamnya dan diberikan tempat terbaik di sisi Allah SWT. Aamiin]. Pak Ustadz langsung bertindak, beliau berbicara empat mata secara halus dengan si 'korban' tadi, yang langsung ber-istigfar. Hasilnya? Besoknya yang bersangkutan sembuh seperti sedia kala. Wallahu alam bissawab.

Ada cerita yang hampir sejenis... Setelah beberapa hari kami tahu bahwa ternyata ada angkot yang bisa membawa kita ke Masjidil Haram dengan membayar. Nah konon pada suatu hari ada teman yang kelupaan bayar. Eh kemudian dia, sama seperti di cerita yang tadi, tidak bisa berjalan kaki, bahkan untuk berdiri pun susah. Pak Ustadz Ali menyarankan agar dia beristigfar dan membayar ongkos angkot tadi. Lha bagaimana caranya? 'Kan angkotnya banyak dan tidak hafal yang mana? Pak Ustadz Ali menyarankan solusi yang ternyata cukup jitu. Kurang lebih begini kata beliau: "Tuhan Maha Tahu dan Maha Pengampun. Dalam keterbatasan ini kita niatkan saja bahwa kita berniat untk membayar ongkos angkot tadi, dilebihkan juga deh, hitung-hitung bersodaqoh...". Dan idem seperti cerita yang tadi, besoknya langsung sembuh...

Nah itu tadi beberapa cerita tentang pentingnya ber-istigfar. Di bawah ini Om-G akan bercerita tentang "keinginan" yang kontan dikabulkan. Insya Allah cerita-cerita ini pun benar adanya, karena dialami oleh Om-G sendiri, ataupun dialami dan diceritakan oleh orang-orang yang Om-G yakin bahwa mereka berkata benar. Kita mulai saja ya...

Ada dua orang teman yang bercerita secara terpisah (dan tahun berhaji nya pun berbeda), bahwa pada saat beliau-beliau berangkat haji, mendengar bahwa ada teman mereka yang berhaji juga pada tahun itu. Lha karena sudah lama indak basuo, mereka rindu ingin bertemu dengan sang teman tadi, kalau boleh saat di Mekah itu juga. Tapi bagaimana caranya? Ada jutaan orang di Mekah pada saat musim haji. Kalau tidak sepemondokan agaknya susah sekali deh. Walaupun bisa saja pada saat bersamaan mereka sedang sama-sama berada di Masjidil Haram misalnya, tetap saja susah untuk bertemu muka. Bayangkan ada dua jutaan orang di Masjidil Haram (bahkan katanya setelah renovasi Masjidil Haram selesai, masjid ini bisa menampung lebih dari empat juta orang...), yang bisa datang dan pergi dari segala arah mata angin, dari sekian puluh pintu. Sangat tidak mudah untuk 'menemukan'orang yang kita cari.

'Kan ada ponsel? Ya entah kalau sekarang, tapi pada belasan tahun yang lalu pada saat cerita ini terjadi (bahkan pada tujuh tahun yang lalu pada saat Om-G berhaji), kalau kita tetap memakai 'nomor Indonesia',tarif pulsa untuk menelepon maupun ditelepon masih terasa sangat mahal... Dan belum tentu pula kita punya nomor telepon keluarga sang teman untuk menanyakan 'nomor Arab' sang teman tadi.

Ceritanya pada suatu saat mereka kepikiran tentang temannya tadi. Kebetulan saat itu sudah masuk waktu shalat, dan dia lalu shalat. Pada saat salam, eh temannya yang dicari tadi ternyata persis berada di sebelah tempat dia shalat dan temannya itu tadinya sama sekali tidak memperhatikan bahwa di dekat situ ada dia. Wallahu alam bissawab.

Om-G sendiri pernah mengalami hal yang serupa. Pada saat sebelum berangkat, Om-G  mendengar kabar bahwa ada teman yang tetanggaan pada saat di Strasbourg sedang berhaji pada tahun 2010 pula [Hallo Mabak Dede dan Om Johny Wahyuadi, apa kabar? Semoga sehat selalu ya...]. Pada saat itu setelah membeli pulsa telepon, dan sedang menunduk karena melihat-lihat kartu pulsa untuk memeriksanya, lhadalah tiba-tiba Om-G teringat pada mereka. Dan cling... pada saat menegakkan kepala, eh mereka berdua ada di depan mata dan menyapa Om-G. Kebetulan? Ah rasanya terlalu naif untuk berpikiran seperti itu...

Ada lagi cerita yang lebih "serius"... Beberapa hari sebelum berangkat haji 'kan biasa kalau orang mengadakan syukuran, demikian pula kami. Entah karena tidak terbiasa duduk bersila terlalu lama, eh pinggang Om-G "kecetit",sakiiit banget! Cukup serius, sampai-sampai bahkan pada saat berangkat dan berhari-hari setelahnya terpaksa harus memakai "korset" (kecuali pada saat memakai pakaian ihram, tentunya...). [Untuk jalan sih normal-normal saja, ndak sakit, tapi untuk duduk bersila tidak bisa lama-lama, tidak bisa lebih dari lima menit]. 

Lha bagaimana ini, 'kan antar waktu shalat cukup lama? Ternyata mudah saja solusinya. Di sebuah toko dekat Masjidil Haram Om-G membeli kursi lipat berkaki tiga untuk diduduki, ringan dan mudah dibawa-bawa. Ndak mahal juga kok, hanya 125 real. Jadi setiap kali ke Masjidil Haram, Om-G membawa-bawa sang kursi lipat tadi untuk diduduki pada saat antar waktu shalat. Nah tapi agar tidak mengganggu orang lain, pada saat Thawaf mah ya diletakkan di tempat tertentu yang tidak mengganggu. Selesai Thawaf ya tinggal diambil lagi, beres...

Eh waktu mau naik bis untuk berangkat ke Arafah, ternyata sang kursi lipat tertinggal di pemondokan, padahal rumah sudah keburu dikunci oleh penjaganya dan dia sudah pergi. Lha bagaimana ini, 'kan pada saat wukuf di Arafah kita wirid berjam-jam antara Zuhur dan Magrib? Ya sudah, Om-G lapor saja kepada petugas dari KBIH. Ternyata mudah saja, pihak KBIH bisa meminjamkan kursi untuk dipakai pada saat wukuf di Arafah. Beres...

Setelah selesai melempar jumroh dan kembali ke pemondokan di Mekah, kami kembali ke acara sehari---hari. Pada saat Thawaf, seperti sebelum-sebelumnya, kursi lipat ditinggal di tempat biasa, yang tidak terlarang. Setelah Thawaf dan mau mengambil  kembali sang kursi, lha dicari-cari kok ndak ada, hilang... Waduh bagaimana ini? Ya sudah, Om-G berdoa saja. Kira-kira doanya seperti ini: "Ya Rab, saya ikhlas kursi yang saya perlukan ini hilang. Tetapi kalau boleh hamba memohon, hamba ingin sembuh, ya Allah...". Apa yang terjadi? Setelah itu, tanpa disadari, eh kok Om-G sanggup duduk bersila berjam-jam tanpa merasa sakit. Alhamdulillah, terima kasih banyak ya Allah...

Cerita terakhir, ini yang lebih "gawat". Kakak kandung Om-G bercerita bahwa pada saat berhaji ada seorang temannya sekloter yang mempunyai "kasus" yang sangat istimewa, yang membuat kakak Om-G sangat terkejut. Sang teman bercerita bahwa saat itu adalah yang kesembilan kalinya dia berhaji [Tidak seperti sekarang, pada waktu itu mah kita masih bisa berangkat haji pada setiap tahun berturut-turut..]. 

Kenapa sampai sembilan kali segala? Ternyata penyebabnya adalah karena dia penasaran. Waktu masuk ke Masjidil Haram dan lalu melakukan Thawaf, dia bilang dia tidak melihat Ka'bah! Astagfirullah... Jadi dia hanya ikut-ikutan saja ber-Thawaf, sambil bingung sendiri, kenapa dia tidak bisa melihat Ka'bah yang ukurannya sebesar itu! Mau bilang ke orang lain, dia malu... Untungnya, mungkin karena merasa 'dekat', dia curhat kepada kakak Om-G. Tentu saja kakak Om-G sangat terkejut. Lalu karena merasa bahwa hal ini merupakan hal yang sangat serius, dia melaporkepada Pak Ketua KBIH-nya. 

Pak Ketua KBIH langsung bertindak, beliau berbicara empat mata secara halus dengan si 'korban' tadi. Kakak Om-G tidak tahu apa yang mereka bicarakan, dan tidak tahu apa yang kemudian dilakukan oleh temannya tadi. Yang jelas, sang teman kemudian minta tolong kepada kakak Om-G untuk mengantarnya ke Masjidil Haram untuk melakukan Thawaf. Dan, pada saat itu untuk pertama kalinya dia berhasilmelihat Ka'bah! Subhanallah... Sang teman sampai menangis tersedu-sedu karena merasa sangat terharu bahwa pada akhirnya dia diperkenankan untuk dapat melihat Ka'bah dengan mata-kepalanya sendiri...

Demikian beberapa cerita "aneh-aneh" yang bisa Om-G ceritakan. Sekali lagi, insya Allah semua yang diceritakan tadi benar-benar terjadi. Paling tidak, yang Om-G yakini bahwa itu benar-benar terjadi...

Tapi menurut Om-G mah, seperti yang dikemukakan oleh Pak Utadz Ali, Ketua KBIH nya Om-G pada saat itu, Om dan Tante tidak usah takut untuk berhaji. Tidak usah takut dan tidak usah ragu-ragu.

Menyenangkan sekali kok. Dan ngangenin. Tenan! Tidak disibukkan oleh kesibukan rutin seperti pada saat kita sedang di Indonesia. Kita berkesempatan untuk shalat di Masjidil Haram yang sangat mulia. Masjid yang megah sekali, yang dihiasi ornamen-ornamen yang sangat indah dan halus. Dengan Ka'bah yang luar biasa berwibawa. Dengan air zamzam yang melimpah, yang bisa kita minum sepuas-puasnya.

Masjid Nabawi di Madinah juga idem. Indah sekali! Dengan ornamen-ornamen yang konon dari emas. Dengan Raudhah ("Taman Surga") yang bercirikan karpet hijau. Dengan air zamzam yang juga melimpah.

Dan ada lagi yang menurut Om-G luar biasa. Di sana pada saat musim haji banyak orang yang bersedekah dengan jumlah yang luar biasa banyak. Ada yang "hanya" berupa air mineral, ada pula yang membagikan secara gratis roti "hi-class" (setara deh dengan roti-roti "hi-class" yang dijual di Indonesia; ada pula yang mensodaqohkan sajadah atau payung atau dua-duanya sekaligus. Bahkan konon ada yang setiap hari nya membagikan puluhan ribu nasi kotak secara gratis kepada orang-orang yang lewat...

Dan kadang-kadang tidak tanggung-tanggung! Mereka mendistribusikan sedekahnya bukan hanya memakai mobil SUV, tetapi ada juga yang memakai truk trailer! [Memang tidak semuanya sih, tapi ada...]. Subhanallah...

Sekian dulu cerita dari Om-G ya... Insya Allah pada suatu hari nanti Om-G akan bercerita pula tentang hal-hal yang "ngangenin" selama kita berhaji...

Salam, bien vous tous.

Om-G.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun