Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pernah Puas karena Menerima Layanan Prima?

27 Mei 2017   09:47 Diperbarui: 27 Mei 2017   22:46 1637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Aris/UCEO, [http://ciputrauceo.net/blog/2015/7/7/pengertian-layanan-prima].

Image: Aris/UCEO, [http://ciputrauceo.net/blog/2015/7/7/pengertian-layanan-prima].

Anda Pernah Merasa Puas Karena Layanan Yang Diberikan Baik Sekali? Yang Bikin Kita Jatuh Hati dan Selalu Ingin Kembali Ke Situ? Itulah Layanan Prima Atau Service Excellence

Bayangkan Anda masuk ke sebuah rumah makan, lalu anak Anda yang masih balita keukeuh ingin makan telur mata sapi, padahal di situ jelas-jelas adalah resto seafood yang hanya menyediakan masakan ikan, udang, cumi-cumi dan sejenisnya. Lalu karena telur mata sapi nya tidak ada, anak Anda ngambek dan tidak mau makan.

Kejadian seperti itu pernah Om-G alami di salah satu restoran di Pantai Jimbaran, Bali. Trus, apa yang kami lakukan? Ya terus Om-G tanyakan kepada pelayan di situ, apakah kami bisa pesan telur mata sapi. Jawabannya jelas: tidak bisa. Ya kami maklum atas jawaban itu. Tapi yang menjadi masalah adalah bahwa anak Om-G yang balita tadi terus ngotot ingin makan telur mata sapi, dan dia malah lebih memilih ndak makan kalau tidak ada telur mata sapi. Lha ‘kan kami jadi repot!

Ternyata apa yang terjadi? Si pelayan yang tadi bilang bahwa di resto itu tidak menyediakan telur mata sapi, lalu berkata bahwa dia akan mengusahakannya. Dan betul, lima menit kemudian dia datang lagi sambil membawa dua butir telur, dan bilang bahwa menu telur mata sapi akan siap beberapa menit lagi.

Waduh, bagaimana Om-G dan Tante-G tidak jatuh hatikepada resto itu, coba? Kami jelas merasa sangat terbantu! Semua anggota keluarga mendapat makanan yang diinginkannya, makan pun terasa sangat nikmat. Apalagi candle light dinner itu dilakukan di pantai (benar-benar di atas pasir pantai, dan kami semua melepas sepatu!), dengan diiringi musik dari  group pengamen yang berkualitas cukup baik. Dan you know what? Setelah itu setiap ada kesempatan ke Bali, kalau waktunya memungkinkan, kami sekeluarga selalu ingin kembali dan kembali makan malam di resto tersebut. Dan kami pun berkali-kali, dengan senang hati, menceritakan kepuasan kami tersebut kepada teman-teman dan handai taulan sekalian.

Itulah yang disebut dengan layanan prima atawa service excellence. Pakar marketing bilang bahwa “Seorang pelanggan yang puas akan menyebarkan kepuasannya kepada sepuluh orang lainnya (sehingga orang-orang tadi kemungkinan akan tertarik pula untuk mencobanya), tetapi sebaliknya, seorang pelanggan yang dikecewakan akan menyebarkan kekecewaannya itu kepada seribu orang lainnya (sehingga orang-orang itu mungkin akan menghindarinya, termasuk mereka mungkin akan ogah untuk mencobanya sekalipun)”.

Apa artinya? Ya jelas! Bila kita selalu menghadirkan layanan yang prima, terlebih yang beyond expectation, maka akan makin banyak pelanggan yang puas atas layanan kita dan menyebarkan kepuasannya kepada orang-orang lain, maka lambat laun jumlah pelanggan kita akan makin banyak, dan bisnis kita akan semakin maju.

Percaya? Bagus. Laksanakanlah!

Ndak percaya? Ya terserah, coba saja lakukan yang sebaliknya. Kemungkinan mah bisnis Anda akan (segera) bangkrut! Dan akhirnya, mau nggak mau, Anda akan percaya!

Layanan dan Layanan Prima

Layanan bisa diartikan sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain yang bersifat tak berwujud yang ditawarkan kepada konsumen atau pelanggan yang dilayani. Seperti kita ketahui, karakteristik layanan adalah:

- Sifatnya tidak bisa diraba, berlawanan sifatnya dengan produk barang jadi yang berwujud.

- Merupakan tindakan nyata.

- Kegiatan produksi dan konsumsi tidak dapat dipisahkan secara nyata.

‘Definisi’ Layanan Prima

Menurut “orang pinter”, layanan prima (service excellence) adalah layanan yang:

- Membuat pelanggan merasa penting

- Melayani dengan ramah, tepat, dan cepat

- Layanan optimal yang menghasilkan kualitas yang baik

- Layanan yang mengutamakan kepuasan pelanggan

- Menempatkan pelanggan sebagai mitra

Lebih jauh lagi, kalau kita merujuk pada pendapat Vincent Gespersz, professor di bidang industrial and system engineering, kualitas layanan memiliki dimensi-dimensi berikut ini:

- Kecepatan waktu layanan

- Ketepatan layanan

- Kesopanan dan keramahan

- Tanggung jawab dalam menangani keluhan pelanggan

- Jumlah petugas yang melayani dan fasilitas pendukung lainnya

- Kualitas layanan yang berkaitan dengan lokasi layanan, ketersediaan informasi, dan petunjuk atau panduan lainnya

- Kualitas layanan yang berhubungan dengan kenyamanan, fasilitas, dan teknologi, dan lain-lain

Singkat cerita, layanan prima adalah suatu layanan terbaik yang mengutamakan kepedulian terhadap pelanggan, yang meliputi paling tidak adanya tiga hal pokok, yakni: peduli pada pelanggan, melayani dengan tindakan terbaik, dan memuaskan pelanggan dengan berorientasi pada standar layanan tertentu (layanan terbaik yang dimungkinkan). Sederhananya, layanan prima atawa service excellence adalah layanan yang memenuhi standar kualitas yang sesuai dengan (atau lebih baik lagi:melebihi) harapan dan kepuasan pelanggan (a.k.a. yang “beyond expectation” tea, yang bisa bikin pelangan “kelepek-kelepek” ...). Di sini, keberhasilan program layanan prima tergantung pada penyelarasan kemampuan, sikap, penampilan, perhatian, tindakan, dan tanggungjawab dalam pelaksanaannya.

Karena Om-G mah bukan pakar, kita sudahi dulu saja dongeng ilmiahnya ya..., Om-G mah bisanya tentang hal-hal yang ringan dan gampang saja deh. Oleh karena itu sekarang Om-G akan bercerita mengenai beberapa hal yang pernah Om-G alami tentang kasus-kasus yang berkaitan dengan layanan prima ini, baik layanan yang bikin kita jatuh hati maupun layanan yang bikin kita sebel setengah mati...

Tapi agar ceritanya enak dan tidak menyinggung orang lain, “aturan main”nya kita buat seperti ini saja ya: untuk contoh kasus-kasus yang baik, Om-G rasa tidak apa-apa kalau nama-nama mereka disebutkan di sini (ya gak apa-apa turut “mengiklankan” mereka, anggap saja hitung-hitung berterima kasih atas layanan prima yang mereka pernah berikan); dan untuk contoh kasus-asus yang nyebelinlebih baik Om-G tidak usah sebutkan namanya ya, ntar jangan-jangan dituduh mencemarkan nama baik... Tapi Om-G menjamin bahwa kasus-kasus yang diceritakan di bawah ini betul-betul “true story”...

Di sini Om-G akan memulai dengan kasus-kasus yang nyebelin dulu ya, baru setelah itu kasus-kasus yang bisa bikin kita kelepek-kelepek... Ceritanya sih agar tulisan ini berakhir dengan happy ending gitu lho. Setuju, ‘kan..? Baik, mari kita simak...

Kasus pertama. Sekitar dua minggu yang lalu, Om-G kebetulan mengisi acara kuliah umum di sebuah kota di Jawa Timur. Untuk menuju Surabaya dan lalu kembali ke Bandung, siang itu Om-G ceritanya akan menggunakan mobil travel, dijemput langsung dari tempat acara. Karena tanya jawabnya cukup seru, Om-G mempersilakan acara tanya-jawabnya diteruskan sampai mobil travelnya menjemput. Pada saat mobilnya sampai, Om-G sudahi acara, dan sebetulnya ingin ke toilet dulu sebelum naik mobil. Ternyata di toiletnya harus ngantri, dan karena ndak enak kalau bikin penumpang lain jadi terpaksa menunggu, Om-G langsung naik mobil travel, dengan pemikiran bahwa ke toiletnya nanti saja sebentar lagi pada saat mobil mengisi bensin. Dan Om-G langsung bilang kepada mas sopir, minta tolong untuk berhenti sebentar di SPBU terdekat karena ingin ke toilet. Si mas sopir setuju, Om-G pun menjadi tenang.

Tetapi apa yang terjadi? Ternyata Om-G terpaksa harus menunggu sekitar tiga setengah jam untuk bisa unloading di toilet sebuah SPBU (setelah relatif dekat ke bandara Juanda), setelah sebelumnya BERKALI-KALI melewati SPBU-SPBU lainnya yang kami lalui dengan alasan “Wah sudah kepalang kelewat, Pak... Nanti di SPBU berikutnya saja ya? Lalu terpaksalah Om-G menunggu dengan menahan-nahan pipis sambil ngedumel... Padahal rasanya apa salahnya sih Om sopir berhenti 2-3 menit di sebuah SPBU agar saya bisa ke toilet, walaupun dia belum perlu isi bensin? Kemungkinan besar sih penumpang lain juga akan maklum dan nggak ngedumel karena berhenti 2-3 menit itu...

Kira-kira bisa dimengerti, ’kan, kenapa Om-G tidak ingin lagi menggunakan mobil travel dari perusahaan tersebut di masa yang akan datang?

Kasus ke dua.Cerita ini terjadi sekitar dua puluh sembilan tahun yang lalu di sebuah kota di mana di situ ada banyak tempat yang menawarkan makan malam dengan lesehan. Tapi yang membuat Om-G sebal adalah  bahwa Om-G merasa mereka (para penjual di situ) bertindak diskriminatifyaitu dengan menerapkan harga yang mahalnya keterlaluan(lebih dari sepuluh kali lipat “harga normal”). Kata seorang teman yang mukimin di situ, konon katanya harga istimewa ini memang hanya diterapkan untuk “pendatang”.

Memang ada juga sih kesalahan Om-G, yaitu nggak nanya-nanya harga dulu sebelum pesan makanan. Tapi bukankah biasanya dalam keadaan normal mah “aman-aman” saja” ? Kalaupun perkiraan kita meleset, paling-paling melesetnya hanya 10-20%, bukan seribu persen lebih! Yang lebih dipermasahkan terutama bukan saja nominalnya yang selangit itu (walaupun iya juga sih...), tapi lebih pada perasaan “dirampok”gitu lho... [Mungkin sama saja dengan kalau kita naik taxi yang memakai “argo kuda”, walaupun kita sebetulnya mampu membayar tarif yang dua kali lipat dari tarif normal itu, tetap saja sebal, ‘kan?].

Oh ya ada satu hal lagi: Pada saat makan (jamannya sekitar 29 tahun yang lalu, nggak tahu kalau sekarang, karena rasanya Om-G tidak pernah lagi tergoda untuk nyamnyam di situ...), ternyata banyak sekali pengamen (ibaratnya mereka datang setiap 1-2 menit, pengamen yang berbeda-beda sih...) yang berada dekat sekali dengan tempat kita duduk, yang rupanya tidak akan beranjak pergi dari situ kalau kita belum memberi uang. Bayangkan betapa tidak nyamannya makan sambil “ditunggui”seperti itu, dan ibaratnya pada setiap suap harus merogoh kantong untuk mengambil uang kecil. Mudah-mudahan sekarang mah sudah tidak seperti itu lagi ya... Misalnya dengan mengkoordinir mereka lalu mereka bernyanyi di atas panggung kecil (yang disediakan setiap beberapa tempat lesehan), trus barulah setelah 2-3 lagu “menagih” kepada orang-orang yang sedang makan di sekitar situ. Rasanya ini jauh lebih baik, daripada hanya bernyanyi sepanjang 2-3 kalimat, lalu langsung menagih. Kalau main musik dan nyanyinya bagus mah insya Allah hasilnya akan lumayan banyak juga. Iya ndak, Om dan Tante ?

Kasus ke tiga.Suatu ketika Om-G sedang berada di sebuah kota di luar Jawa. Pada suatu waktu bebas, Om-G keluyuransendiri di kota. Pada saat perut terasa lapar, masuklah Om-G ke sebuah resto yang cukup besar dan bagus. Setelah makanan dan minuman terhidang, tiba-tiba mata Om-G menangkap pemandangan yang tidak biasa: pada gelas minuman yang Om-G pesan ada bekas lipstick. Astaga! Om-G segera memanggil waiter di situ sambil menunjuk ke gelas, sambil meminta dia untuk mengganti minuman itu (plus gelasnya tentu saja!). “Kenapa Pak? Bukannya Bapak tadi memesan jus jeruk? Ini betul jus jeruk ‘kan Pak”. Hadeuh... Si Om waiter rupanya belum juga ngeh...Om-G bilang bahwa Om-G ingin dia mengganti jus jeruk itu karena di gelasnya ada bekas lipstick. Tetapi apa yang terjadi? Dengan tenangnya beliau memutar gelas sambil berkata dengan manis “Ah cuma lipstick saja ‘kan? Mudah saja Pak, tinggal diputar saja gelasnya...”. Wah Om-G langsung ilfil deh! Tanpa ba-bi-bu langsung kabur ke kasir, bayar, ke luar dan bersumpah gak bakal pernah lagi datang ke situ. Amit-amit deh!

Kasus ke empat.Pada sebuah penerbangan dari Jakarta menuju sebuah kota di Eropa, Om-G berangkat dari bandara Soekarno-Hatta, lalu transit di Singapur. Setelah masuk pesawat kembali, kemudian ternyata ada seorang bule yang mengklaim bahwa Om-G menduduki kursi punya dia. Wah bagaimana urusannya nih, Om-G ‘kan sudah naik duluan dari Jakarta menuju Paris, mestinya duduk di seat yang sama ‘kan? Lha si Om bule mah baru naik dari Singapur... Walaupun Om-G bisa menunjukkan bahwa Om-G berhak duduk di situ (‘kan bisa dilihat di boarding pass...), si Om bule tetep keukeuh ingin duduk situ, ngomong dengan keras sambil nunjuk-nunjuk muka Om-G, [nah ini lagi nih, mau bikin gara-gara apa ngajak berantem nih bule?] sampai-sampai Tante pramugari datang ke situ untuk ‘melerai’ kami. Yang nyebelin adalah si Tante pramugari pun menyudutkan saya dan bilang bahwa Om-G yang salah. [Ye enak aja, memangnya siapa yang ngasi nomor seat pada saat check-in?Speechlessdah... ].

Sekarang kita cerita-cerita tentang kasus-kasus yang bagus ya, siapa tahu bisa menjadi contoh ato inspirasi bagi kita semua mengenai upaya untuk membuat pelanggan menjadi pelanggan yang setia dan menarik pelanggan baru karena cerita positif yang tersebar oleh para pelanggan yang puas. Boleh ‘kan, Om-G menyebut nama-namanya? Ini mah anggap saja sebagai iklan gratis sebagai penghargaan karena mereka memang (pernah, tapi mudah-mudahan selalu) memberikan layanan yang sangat baik yang langsung diberikan tanpa bertele-tele mikir ini-itu dulu, atau layanan yang bahkan diberikan tanpa kita minta terlebih dahulu. Kita mulai ya...

Kasus pertama. Dulu, rasanya sekitar 5-7 tahun yang lalu, Om-G pernah ada pelatihan yang diselenggarakan di Hotel Novotel Bandung (yang kalau tidak salah berlokasi di sekitar Jalan Cihampelas “bawah”). Pada pagi itu kebetulan hujan sedang mengguyur Bandung, sehingga sepatu Om-G menjadi lumayan kotor, yang terpaksa Om-G cuek-in... Ya bagaimana lagi, masa cari-cari tukang semir sepatu dulu? Mungkin pada saat itu ada staf hotel yang memperhatikan kotornya sepatu Om-G tersebut (plus orang-orang lainnya juga dong, memangnya yang kena hujan Cuma Om-G doang, hehehe...). You know what? Pada saat coffee break, dan kami ke luar ruangan untuk ngopi-ngopi, ternyata di luar, dekat ruang pelatihan, disediakan layanan semir sepatu. Wow! Surprising dan luar biasa sekali! Pada saat kita perlu, ada orang lain yang menyediakan apa yang kita butuhkan. Gratis lagi!

Kasus ke dua. Besok paginya, di hotel yang sama, rupanya ada salah seorang rekan (yang juga merupakan peserta pelaihan) yang berulang tahun pada hari itu. Secara spontan, kami menyanyikan lagu ulang tahun. Yang tidak disangka-sangka, pada saat coffee break, ada petugas hotel yang masuk ke dalam ruangan sambil membawa sebuah kue ulang tahun yang cukup besar, yang cukup untuk tigapuluhan orang. Ini juga diberikan secara gratis!

Wow... Wow... What a nice surprise!

Kasus ke tiga.Kejadiannya di hotel juga, yaitu di Hotel Ibis Malioboro, Yogyakarta. Sore itu setelah mandi sore, Om-G bersiap-siap untuk berangkat ke sebuah acara makan malam. Waktu bercermin, Om-G kaget karena bahwa jenggot Om-G rasanya nggak teratur banget deh, sudah beberapa hari ndak dicukur... [Kata orang Prancis mah, sejelek-jeleknya orang adalah kalau dia tidak cukur jenggot selama tiga hari, non rasée de trois jours...].

Trus Om-G telepon ke resepsionis dong, nanya apakah mereka punya cukuran jenggot. Karena dijawab bahwa mereka tidak punya, Om-G tanya, di mana Om-G bisa beli cukuran jenggot. Si resepsionis menjawab bahwa hotel tersebut berada dekat sekali, terhubung malah sehingga tidak perlu ke luar gedung dulu, dengan sebuah mall (lupa lagi namanya, mungkin Mall Malioboro...). Ya sudah, Om-G pergi ke mall itu dan mencari-cari cukuran jenggot. Tapi karena waktunya mepet, walaupun belum ketemu, Om-G memutuskan untuk segera kembali ke kamar, untuk langsung berangkat ke acara makan malam tadi.

Yang mengejutkan, sesampainya di kamar, ternyata di atas meja sudah tersedia cukuran jenggot, lengkap dengan shaving foam nya, disertai secarik kertas bertuliskan “Semoga bermanfaat...”.

Wow... Wow... Bagaimana Om-G ndak jatuh hati, coba?

Kasus ke empat.Tahu ‘kan, bahwa terkadang “key success factor”sebuah restoran adalah sambelnya. Dalam sebuah perjalanan dari Garut pulang ke Bandung, Om-G dan keluarga mampir makan siang di sebuah rumah makan kecil (kalau tidak salah, nama rumah makan itu adalah “Kenanga”, yang berlokasi di daerah antara Kadungora dan Nagreg, di sebelah kiri jalan...). Walaupun di situ ada bermacam-macam masakan, Om-G dan keluarga sepakat bahwa yang paling enak di situ adalah ayam goreng kampung dan sambelnya. Pada waktu mau pulang, kami memesan beberapa potong ayam goreng dan sambelnya. Kepada petugas di situ Om-G juga mengatakan bahwa kami suka sekali sambelnya. Surprisingly, dia ternyata memberi kami sambel yang banyak sambil tersenyum... (Tenang... tenang..., sambelnya ndak pedas kok, sehingga aman untuk perut, tapi enak tenan...). Wow... Wow...

Kasus ke lima.Mirip dengan kasus di atas, pada suatu sore sepulangnya dari kantor, dan bermacet-macet di jalan, Om-G kok merasa lapar. Ya sudah, setelah tengok kiri tengok kanan, Om-G parkir di dekat sebuah warung tenda yang menyediakan pecel lele, ayam bebek, dan kol goreng, yang berlokasi di seberang Lapangan Gasibu di dekat Kantor Pusat PT Telkom.  Ternyata lele dan ayam gorengnya enak. Tapi yang cocok sekali dengan selera Om-G adalah sambelnya, yang menurut Om-G mah uenak tenan gitu lho. Kemudian Om-G memesan beberapa potong lele goreng, ayam goreng dan kol goreng untuk dibawa pulang, sambil bilang bahwa sambelnya enak banget... Apa yang terjadi? Ternyata dia menambahkan sambel yang enak tadi banyak-banyak, 2-3 bungkus per potong ayam dan lele, walaupun biasanya hanya satu bungkus sambel per potong... Free of charge!

Wow... Wow... Herankah Om dan Tante, kalau kemudian Om-G suka mampir lagi ke warung tenda yang sama?

Penutup.

Kasus-kasus yang diceritakan di atas semuanya berdasarkan hal yang benar-benar Om-G alami, sehingga Om-G betul-betul merasakan kesalnya diberi layanan yang “menyebalkan”, yang bahkan tidak lupa walaupun kejadiannya sudah berlalu bertahun-tahun yang lalu (bahkan ada yang kejadiannya 29 tahun yang lalu!), dan sebaliknya merasakan senangnya dianggap sebagai pelanggan yang istimewa.

Tai menurut Om-G mah, rasanya mengubah “layanan yang menyebalkan” tadi menjadi sebuah “layanan prima” tidak terlalu sukar kok, dan tidak memerlukan “pengorbanan”(dan biaya) yang berlebihan. Yang penting adalah perhatian, dan mau menempatkan diri sebagai pelanggan (seolah-olah).

Lalu bagaimana dengan biayanya? Ya tidak berlebihan lah... apalagi kalau dibandingkan dengan dampak buruk dari “iklan negatif” yang disebarkan oleh para pelanggan yang kesal dan sebal tadi...

  • Pada kasus “mobil travel”,kalau Om drivernya lebih perhatian, dan menempatkan diri atau membayangkan diri sebagai orang yang sudah sepuh dan sukar menahan pipis, lha apa salahnya berhenti 2-3 menit di SPBU terdekat, tidak usah menunggu 3,5 jam dulu setelah berkali-kali SPBU nya terlewat. Berapa biayanya? Nol!
  • Pada kasus “lesehan”, dengan harga yang wajar (yang diterapkan untuk “penduduk asli”), penjual pasti sudah mendapatkan untung, ‘kan? Ya sudah, jangan serakah deh!
  • Pada kasus “gelas berlipstick”, lha apa susahnya si waiter diberdayakan pula sebagai petugas QC sehingga gelas yang belum bersih tadi tidak sampai lolos kepada pelanggan. Kalaupun sekali-sekali lolos juga, ya sudah, jangan nyolot... ganti saja jus dan gelasnya dengan yang baru dengan disertai permohonan maaf yang tulus. Untuk mengambil hati si pelanggan yang kesal, mungkin bagus juga kalau jus nya (atau keseluruhannya) digratiskan. Berapa ongkosnya? Pasti lebih sedikit daripada dampak negatif akibat iklan negatif dari pelanggan yang sebal.
  • Pada kasus perusahaan penerbangan, jangan pernah lagi membedakan pemberian layanan berdasarkan bule dan bukan bule deh! Amat sangat menyebalkan banget, tahu? Sebaliknya, kalaupun itu terjadi, tawarkan saja kepada kedua penumpang yang nomornya sama tadi seat di kelas yang lebih tinggi (apa sih istilahnya? Di-upgrade ya..?).

Berapa cost-nya? Halah... hampir nol deh. Paling-paling seharga selisih harga makanan yang diberikan selama penerbangan (karena perbedaan antara kelas ekonomi dan kelas bisnis atau kelas utama). [Catatan: Karena pada saat itu bukan peak season, sehingga seat di kelas bisnis / kelas utama ndak penuh, jadi meng-upgradedua penumpang tadi tidak berarti membatalkan pendapatan perusahaan untuk penjualan ticket di kelas bisnis utama, wong banyak seat yang kosong kok...].

Kalau ini dilaksanakan, ada kemungkinan bahwa “iklan negatif”yang mungkin akan disebarkan oleh penumpang yang dibuat ribet tadi, akan berubah menjadi “iklan positif” karena si penumpang puas terhadap penanganan masalah yang dilakukan oleh perusahaan penerbangan tadi. Jangan-jangan mereka mengharapkan agar suatu hari nanti terjadi lagi “nomor seat ganda” terhadap mereka, agar kembali di-upgrade kelas nya...

Sekarang bagaimana dengan biaya tambahan untuk contoh-contoh kasus yang bagus tadi? Tidak besar deh, wong cuma cukuran jenggot dan sambel doang kok... Paling-paling yang agak mahal adalah kue ulang tahun tadi yang mungkin berharga beberapa ratus ribu rupiah. Tapi apa artinya beberapa ratus ribu rupiah dibandingkan dengan tarif menginap tiga malam untuk 30 kamar?

Nah sekian dulu ya cerita Om-G tentang layanan prima. Setelah membaca ini, Om dan Tante akan memilih layanan yang bagaimana untuk bisnis Om dan Tante? Pasti layanan prima, ‘kan?

Selamat berpuasa bagi umat muslim.

Salam,

Om-G.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun