Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Money

Menghindarkan Diri dari Investasi Bodong Sebetulnya Gampang, Kok

7 April 2017   15:12 Diperbarui: 7 April 2017   23:00 2947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Otoritas Jasa Keuangan ̶ Mengatur, Mengawasi, Melindungi. [Sumber: https://www.slideshare.net/nhazareth/otorisasi-jasa-keuangan]

Kalau kita ambil contoh yang tadi, 10% per bulan, maka kalau kita “menginvestasikan”1000 rupiah, maka setelah satu bulan bunga nya adalah = 10% x Rp 1.000 = Rp 100, sehingga uang pokok + bunga = Rp 1.000 + Rp 100 = Rp 1.100. Bila kita tidak mengambil bunganya tadi, maka setelah dua bulan maka besarnya bunga adalah = 10% x Rp 1.100 = Rp 110, sehingga bunga kumulatif = Rp 100 + Rp 110 = Rp 210 dan uang pokok + bunga = Rp 1.000 + Rp 100 + Rp 110 = Rp 1.210, demikian seterusnya. Di sini bila bunga nya tidak kita ambil, besarnya bunga pada setiap bulan akan selalu bertambah sehingga bila diteruskan, maka akan kita dapatkan angka-angka seperti pada tabel berikut ini:

Ilustrasi Perhitungan Bila Besar Uang Yang Dipinjamkan Sebesar Rp 1.000 Dengan Bunga 10%/Bulan (*)

Dokpri.
Dokpri.
Nah, terlihat jelas, ‘kan? Bila uang yang kita tanamkan adalah sebesar Rp 1.000, maka bila bunga bulanan tidak kita ambil maka jumlah bunga yang terakumulasi selama 1 tahun adalah sebesar Rp 2.138, yang artinya adalah bahwa bunga 10% per bulan ekuivalen dengan bunga 213,8% per tahun. Uedan ndak tuh? Ruar biasa banget ‘kan, dibandingkan dengan bunga pinjaman dari perbankan? Dan ini, Om dan Tante, jelas amat sangat tidak wajar!

Siapa coba yang mau pinjam uang dengan bunga 200% lebih per tahun, kecuali upaya tipu-tipu alias investasi bodong yang memang tidak berniat sama sekali untuk mengembalikan uang kita! [Kalau itu “investasi baik-baik”, yang bukan investasi bodong, mendingan dia pinjam dari bank dengan tingkat bunga yang jauh lebih rendah, ‘kan?].

Memang sebuah investasi “betulan” bisa saja menghasilkan pengembalian yang sangat besar, tertama mungkin perusahaan start-up yang kebetulan maju dengan sangat pesat. Atau usaha kecil dengan modal kecil. Misalnya tukang gado-gado dengan modal Rp 1-2 juta, mungkin saja menghasilkan keuntungan sebesar Rp 100.000 per hari.

Mungkin dalam hal ini diperlukan pula pemahaman tentang perbedaan antara “investor” dan “pihak yang memberikan pinjaman”.

Pada dasarnya, dana yang dapat dipakai perusahaan untuk usahanya berasal dari dua macam: Pertama adalah “milik pemilik” (equity) yang berupa kepemilikan saham perusahaan, dan kedua adalah utang (liabilities).

Bila kita berkedudukan sebagai investor (dengan perkataan lain, sebagai pemegang saham perusahaan), maka mestinya kita memegang saham perusahaan dan berhak ikut dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) dan karenanya bisa menentukan arah berjalannya perusahaan (termasuk akhirnya, hidup-mati nya perusahaan). Di sini, pada dasarnya memang tidak diperlukan adanya jaminan/agunan. Sebagai pemegang saham, kita bisa saja mendapatkan keuntungan yang berlipat dari meningkatnya nilai saham yang kita miliki selain dari dividend; tetapi bisa pula kita rugi dengan serugi-ruginya, bahkan sampai menjadi nol rupiah bila perusahaannya “hancur”...

Di lain pihak, bila kita berkedudukan sebagai pemberi pinjaman, kita berhak (dan dalam kasus tipu-tipu seperti pada kasus investasi bodong ini, kita bahkan harus) meminta dan menahan/memegang agunan dari perusahaan (misalnya surat tanah, BPKB, atau surat-surat/barang berharga lainnya), sehingga kalau “terjadi apa-apa”, kita bisa menjual agunan tadi dan menerima uang kita kembali.

Yang biasanya terjadi pada kasus investasi bodong, ‘kan sebenarnya kita meminjamkan uang kita kepada perusahaan tetapi kita tidak memegang agunan apapun! Nah ketika terjadi apa-apa, biasanya pada saat perusahaan collapskarena tidak lagi sanggup membayar “bunga pinjaman” karena perekrutan anggota baru tidak selancar sebelumnya, maka habislah kita! Mau digimana-gimana juga uang perusahaan pasti tidak akan cukup untuk membayar/mengembalikan uang pinjaman dari kita dan kawan kawan. Boro-boro uang pokok pinjaman plus bunganya, uang pokoknya pun pasti pihak perusahaan tidak akan sanggup mengembalikannya...


Kedua, kita harus melihat badan hukum perusahan tersebut, dan siapa yang memberikan izin perusahaan itu apakah dari Bank Indonesia atau dari instansi pemerintah lainnya. Nah ini agaknya susah dilakukan oleh kita yang awam, selain bahwa para “marketer” pasti akan berbelit-belit menjawab pertanyaan kita (boro-boro memperlihatkan dokumen resmi perusahaan...), dan kalau pun dokumen itu diperlihatkan kepada kita, ngerti gitu, kitanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun