Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Apakah Polisi Tidur Boleh Dibongkar?

30 Maret 2017   09:13 Diperbarui: 30 Maret 2017   18:00 6611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan lagi bikin polisi tidur itu ada aturannya, lho... nggak boleh sembarangan. Pasal 4 ayat 1 Keputusan Menteri Perhubungan No.3 Tahun 1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan menyebut bahwa polisi tidur hanya boleh dibuat di jalan pemukiman, jalan lokal kelas III c, dan di jalan yang sedang dilakukan pekerjaan konstruksi. Dalam pasal 3 ayat 3 dijelaskan bahwa penentuan lokasi dan jumlah polisi tidur harus disesuaikan dengan hasil manajemen dan rekayasa lalu lintas yang rekomendasinya dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan. Tuh ‘kan? Harus melalui ijin dari pihak berwenang!

Pasal 4 nya menyebutkan bahwa polisi tidur itu “... itu perlu didahului dengan rambu peringatan". Dan pada pasal 5: "Pembatas kecepatan kendaraan harus dibuat dengan ketinggian maksimal 12 cm, lebar minimal 15 cm, dan sisi miring dengan kelandaian maksimal 15%".

Rambu peringatan jalan tidak rata | wikibuku
Rambu peringatan jalan tidak rata | wikibuku
Jadi berdasarkan ketentuan yang berlaku, polisi tidur harus memenuhi hal-hal berikut ini:
  • Dibuat memanjang dan melintang seperti trapesium
  • Tinggi maksimum 12 cm
  • Bagian pinggir mempunyai kelandaian 15%
  • Dicat dengan warna hitam serong (30 cm) dan putih atau kuning (20 cm)
  • Meminta izin kepada Dinas Perhubungan.

Desain Standar Alat Pembatas Kecepatan (Polisi Tidur) Berdasarkan Kep.Men. Perhubungan RI No.3 /1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan | dokpri
Desain Standar Alat Pembatas Kecepatan (Polisi Tidur) Berdasarkan Kep.Men. Perhubungan RI No.3 /1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan | dokpri
Desain Standar Alat Pembatas Kecepatan (Polisi Tidur) Berdasarkan Kep.Men. Perhubungan RI No.3 /1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan | dokpri
Desain Standar Alat Pembatas Kecepatan (Polisi Tidur) Berdasarkan Kep.Men. Perhubungan RI No.3 /1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan | dokpri
Dan lagi, yang memasang polisi tidur sembarangan ini bisa dipidanakan lho. Pembuatan polisi tidur harus mendapat izin dari pihak yang berwenang sesuai dengan UU pasal 27 ayat (2) bahwa ketentuan mengenai pemasangan perlengkapan jalan pada jalan lingkungan tertentu diatur dalam peraturan daerah.

Misalnya untuk wilayah Jakarta, pembuat polisi tidur tanpa ijin bisa dilaporkan sebab ketentuannya diperkuat Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta 12/2003 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai, dan Danau Serta Penyebarangan Jalan. Dalam Perda tersebut polisi tidur tertulis tanggul pengaman jalan. Pada Pasal 53 (b) dijelaskan setiap orang tanpa izin dari Kepala Dinas Perhubungan dilarang membuat atau memasang tanggul pengaman jalan dan pita penggaduh (speed trap). Pelanggar akan dikenakan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda maksimal Rp 5 juta seperti tertulis pada Pasal 105 (1).
 Juga, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum pasal 274 menyebutkan bahwa "Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)".

Nah, ‘kan..? Apakah polisi tidur di tempat Om dan Tante sudah memenuhi syarat-syarat di atas?

Dan, kembali ke judul di atas: “Polisi tidur boleh dibongkar nggak ya?” Harus lapor dulukah? Kalau harus lapor, lapor ke mana/kepada siapa?

Mungkin dunia ini akan lebih indah kalau kita sama-sama saling menghormati. Daripada capé mengeluh mengenai kondisi jalan yang banyak polisi tidurnya, akan lebih baik bila para pengendara/pengguna jalan menyadari bahwa jalanan merupakan milik bersama. Artinya ketika melintas di jalan-jalan permukiman ya harus menjaga etika (dan mengurangi kecepatan...). Sementara itu masyarakat juga sebaiknya menyadari bahwa selain menyebabkan ketidaknyamanan bagi pengendara, polisi tidur yang lebay juga akan bisa berbahaya bagi para pengendara (terutama motor), membuat komponen kendaraan menjadi lebih cepat rusak dan membuat jalanan menjadi cepat rusak karena sering tergenang. Mungkin harus ada tindakan tegas dari Dinas Perhubungan terkait masalah ini demi keamanan dan kenyamanan bersama. Setuju?

Bon vacances...

Salam,

Om-G [Kompasiana.com/Om-G].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun