[Om-G, 27032017: Relakah Anda Membayar Puluhan Juta Rupiah Untuk Pendidikan Yang (Akhirnya) Tidak Dinikmati Sedetikpun Oleh Anak Anda?]
Mungkin Om dan Tante pernah mengalaminya. Om atau Tante mempunyai anak, dan ingin bahwa si anak masuk ke sekolah (SMA atau SMP) atau perguruan tinggi negeri favorit. Tapi di jaman ini siapa sih yang bisa menjamin bahwa anak kita bisa diterima di sekolah atau perguruan tinggi negeri favorit?
Sebagai cadangan, jadilah kita mendaftarkan pula anak kita di sekolah atau perguruan tinggi swasta yang menurut kita cukup baik (tetapi mungkin dengan biaya bulanan/semesteran dan lain-lain yang cukup mahal).
Apa yang terjadi? Alhamdulillah, melalui “seleksi administratif”, anak kita diterima di sekolah atau perguruan tinggi swasta tadi, bahkan bisa jadi enam bulan atau bahkan sepuluh bulan sebelum awal tahun sekolah/perkuliahan. Mungkin agar tidak dianggap melanggar aturan, penerimaan itu sering diikuti dengan kata-kata “bila yang bersangkutan telah lulus dari SMA (atau SMP atau SD) dan dapat menunjukkan tanda kelulusannya sebelum awal masa perkuliahan/sekolah”.
Terus? Ya karena anak kita sudah diterima, wajar dong kalau pihak sekolah swasta atau PTS meminta kita untuk segera melunasi biaya sekolah/kuliah. Misalnya untuk SMP/SMA kita diminta melunasi “uang pangkal”, “uang bangku”, “uang sumbangan pembangunan” atau apapun namanya. Untuk tingkat perguruan tinggi, biasanya diberi “judul” sebagai uang pangkal, uang kuliah tahun pertama, dan uang praktikum (plus uang asrama bila ada). [Dan nominalnya bisa mencapai puluhan juta rupiah! Ini di Bandung beberapa tahun yang lalu lho, entah berapa sekarang, dan entah apakah hal ini pun terjadi di kota-kota lainnya...].
Tentunya ada batas waktu pembayaran, ‘kan? Misalnya dua minggu sampai sebulan setelah anak kita dinyatakan diterima, kita harus melunasinya. Kalau tidak? Ya anak kita dinyatakan “gugur” dong... Nah karena itulah, untuk “pengamanan” pendidikan anak kita, jadilah kita membayar, dengan “aman-aman saja” atau dengan agak memaksakan diri menyediakan uang untuk pembayaran tersebut.
Lalu? Misalnya anak kita ternyata akhirnya diterima di sekolah atau perguruan tinggi negeri favorit. Bahagia dong kita? Ya iya lah, wong anak kita diterima, di sekolah negeri/PTN favorit lagi...
Trus? Ya gitu itu. Bahagia tapi sambil bingung... Lho, kenapa? Lha, masuk sekolah negeri atau PTN juga ‘kan harus bayar, padahal bagi sebagian orang yang pas-pasan, uangnya mungkin sudah habis dibayarkan terlebih dahulu untuk biaya sekolah/kuliah di sekolah swasta/PTS di mana anak kita sudah diterima tadi.
Lha ‘kan gampang, kita minta lagi saja uang yang sudah kita setorkan ke pihak sekolah/PTS tadi, habis cerita... Ya beres, kalau mereka bersedia mengembalikannya. Yang menjadi petanyaan, apakah ceritanya seindah itu? Rasanya dalam banyak kasus tidak seperti itu.
Di beberapa PTS memang ada kebijaksanaan bahwa kita bisa mengambil kembali sebagian dana yang sudah disetorkan, asal kita bisa menunjukkan bukti bahwa anak kita diterima di PTN-PTN tertentu (UGM, UI, ITB, ITS,...); tetapi dengan “potongan” yang cukup besar (bisa belasan juta rupiah atau bahkan lebih...). Ya lumayan deh...
Untuk level SMP/SMA agaknya bisa lebih “parah”... Pada beberapa kasus (mudah-mudahan tidak semua), kita bahkan tidak bisa meminta pengembalian itu. “Ya bukan salah kami dong kalau anak Panjenengan tidak jadi sekolah/kuliah di sini...”. Beres? Ya mau tidak mau, harus dianggap beres. Wong perjanjiannya juga begitu kok...
Persoalannya, etis nggak ya? Wong anak kita belum masuk ke situ kok, belum sekolah/kuliah di situ, belum “ngerepotin”... Rasanya kalau untuk “uang administrasi”, mungkin 2,5-5% bisa dianggap jumlah yang wajar deh; tapi tidak sampai belasan atau puluhan jeti... Iya nggak, Om/Tante..?
Alasannya mereka mungkin begini: “Lha anak Panjenengan itu mengacaukan perencanaan kami lho. Iya kalau[H1]cuma satu atau dua, lha kalau ada puluhan atau ratusan calon siswa atau mahasiswa yang mengundurkan diri, ‘kan kacau... Kapasitas berapa, yang jadi masuk berapa...”.
Oh begitu ya..? Lha ‘kan biasanya ada “gelombang dua” (atau “gelombang tiga”) untuk penerimaan siswa/mahasiswa baru? Dan biasanya gelombang yang terakhir diselenggarakan setelah pengumuman penerimaan siswa/mahasiswa baru di sekolah negeri/PTN. Iya nggak, Om/Tante..?
Rasanya kasusnya berbeda dengan kalau kita sudah memesan makanan di restoran, lalu karena suatu hal kita tidak jadi makan, ya mestinya kita tetap bayar dong... Tapi di restoran ‘kan tidak sampai belasan atau puluhan juta, dan kalau mau, kita tetap boleh membawa pulang makanan yang sudah kita pesan tadi, ‘kan? (Tentunya dibungkus dulu dong, masa dengan piring-piringnya, hehehe...).
Om-G tidak tahu, sejak kapan “praktek” ini berlangsung, jangan-jangan mungkin lama kelamaan makin dianggap “normal” ya?
Jadi bagaimana, atuh? Perlukah ada aturan dari Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk mengatur hal ‘sepele’ seperti ini? Ya monggo, silakan dipikirkan oleh yang pinter-pinter deh ya. Om-G mah hanya melempar bola saja kok, sama sekali tidak bermaksud untuk menimbulkan kekacauan...
Bonne journée à tous...
Salam,
Om-G.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H