Persoalannya, etis nggak ya? Wong anak kita belum masuk ke situ kok, belum sekolah/kuliah di situ, belum “ngerepotin”... Rasanya kalau untuk “uang administrasi”, mungkin 2,5-5% bisa dianggap jumlah yang wajar deh; tapi tidak sampai belasan atau puluhan jeti... Iya nggak, Om/Tante..?
Alasannya mereka mungkin begini: “Lha anak Panjenengan itu mengacaukan perencanaan kami lho. Iya kalau[H1]cuma satu atau dua, lha kalau ada puluhan atau ratusan calon siswa atau mahasiswa yang mengundurkan diri, ‘kan kacau... Kapasitas berapa, yang jadi masuk berapa...”.
Oh begitu ya..? Lha ‘kan biasanya ada “gelombang dua” (atau “gelombang tiga”) untuk penerimaan siswa/mahasiswa baru? Dan biasanya gelombang yang terakhir diselenggarakan setelah pengumuman penerimaan siswa/mahasiswa baru di sekolah negeri/PTN. Iya nggak, Om/Tante..?
Rasanya kasusnya berbeda dengan kalau kita sudah memesan makanan di restoran, lalu karena suatu hal kita tidak jadi makan, ya mestinya kita tetap bayar dong... Tapi di restoran ‘kan tidak sampai belasan atau puluhan juta, dan kalau mau, kita tetap boleh membawa pulang makanan yang sudah kita pesan tadi, ‘kan? (Tentunya dibungkus dulu dong, masa dengan piring-piringnya, hehehe...).
Om-G tidak tahu, sejak kapan “praktek” ini berlangsung, jangan-jangan mungkin lama kelamaan makin dianggap “normal” ya?
Jadi bagaimana, atuh? Perlukah ada aturan dari Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk mengatur hal ‘sepele’ seperti ini? Ya monggo, silakan dipikirkan oleh yang pinter-pinter deh ya. Om-G mah hanya melempar bola saja kok, sama sekali tidak bermaksud untuk menimbulkan kekacauan...
Bonne journée à tous...
Salam,
Om-G.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H