[Kompasiana.com, 22 Desember 2015, 35]
Ibu...
Om-G memanggilnya “Mamah”, dan kemudian ketika beliau sudah mempunyai cucu, kami semua memanggilnya “Enin”, yang artinya “Nenek”.
Betapa banyak kenangan tentang beliau, yang sekarang hanya bisa dikenang, karena sejak dua tahun yang lalu beliau sudah menghadap ke haribaanNya...
Sekarang perkenankan Om-G untuk mengenang beliau, walaupun mungkin bagi orang lain tidak berarti, tapi sungguh, bagi Om-G, beliau adalah seorang sosok yang luar biasa.
Om-G lahir pada 1963 di Karawang, dari Mamah yang bekerja sebagai bidan di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang (waktu itu, entah apa nama RS itu sekarang) dan ayah (kami memanggilnya “Papah”) yang bekerja sebagai seorang Kepala Kantor di sebuah instansi Pemerintah di Karawang.
Walaupun pada saat itu Papah adalah seorang Kepala Kantor, tidak berarti bahwa kehidupan keluarga kami berlebih, bahkan mungkin hanya pantas disebut pas-pasan, yang hanya mampu makan di restoran sebulan sekali, pas gajian... Ya mungkin seperti kebanyakan keluarga-keluarga lain di Indonesia pada jaman tahun 60-an...
Untuk itulah Mamah bekerja sebagai bidan di RSUD, dan untuk menambah-nambah, juga membuka “praktek konsultasi kebidanan” (pada saat itu di Karawang dan mungkin di kota-kota lain pun sama, gynecolog masih sangat terbatas, sehingga kehadiran bidan memang masih sangat dibutuhkan), dan menerima orang yang melahirkan di rumah kami. Tetapi ada yang berbeda dengan Mamah: walaupun awalnya “pekerjaan tambahan” tadi dimaksudkan untuk menambah-nambah penghasilan untuk keperluan keluarga, ternyata banyak sekali pasien yang melahirkan dan diopname di rumah (dengan “full service”, termasuk mencucikan pakaiain dan makan, selain pelayanan medisnya) ternyata “hanya” membayar dengan ucapan terima kasih! (dan uniknya diterima begitu saja oleh Mamah...). Dan Mamah tetap rela berangkat di malam buta untuk menolong persalinan, walaupun tahu pasti bahwa orang itu tidak akan mampu membayar! Bahkan ada seorang ibu yang bercerita dengan bangga bahwa dia melahirkan lima kali di rumah kami, dan semuanya gratis... [Beberapa bulan setelah melahirkan, barangkali punya rejekinya memang baru pada saat itu, baru deh, ada yang mengirim singkong, pisang, dsb... yang tetap kami terima dengan rasa syukur...].
Rugi dong, sudah menolong orang melahirkan, dibayarnya hanya dengan singkong? Menurut pemahaman kami, seperti yang beliau selalu katakan dan tekankan kepada kami anak-anaknya, Tuhan itu tidak tidur kok... Suatu saat pada saat kami mengalami kesulitan, pasti ada saja pertolongan yang diberikan kepada kami. Sangat mungkin bantuan dan pertolongan itu diberikan oleh orang yang tidak mengenal kami dan kami pun tidak mengenalnya, tetapi kami yakin bahwa orang-orang itu tergerak untuk menolong kami karena hatinya digerakkan oleh Tuhan YME. Dan sedikit banyak, hal ini menjadi landasan kami dalam bertindak pada saat kami dewasa...
[Beberapa puluh tahun kemudian, ketika salah seorang kakak Om-G berdomisili di Karawang karena berdinas di Pemda Karawang, dia banyak “diaku” (dianggap sebagai teman atau keluarga} oleh orang-orang (dan keluarganya) yang dahulu konon katanya pernah ditolong oleh Mamah...].
Satu hal yang Om-G ingat sampai sekarang, dengan segala kesederhanaannya, Mamah selalu berusaha agar kami sekeluarga mendapat gizi yang cukup, walaupun dengan bahan-bahan yang murah meriah. Kami ingat pernah makan nasi bulgur pembagian dari Pemerintah (barangkali ada yang ingat dan mengalami hal sama tentang ini?), yang diolah sedemikian rupa agar menjadi lebih menarik bagi anak-anaknya (padahal hanya ditambahi gula merah, sih... tapi ditambahi dongeng agar anak-anak mau memakannya...).
Pada akhir 1970, Papah dipindahtugaskan ke kota Bogor, dan pindahlah kami sekeluarga ke kota hujan itu. Bagaimana dengan Mamah? Beliau ternyata “mengorbankan diri” dengan tetap tinggal di Karawang karena sebagai PNS daerah TK-II Karawang tidak mudah untuk begitu saja minta dipindahkan (mintanya sih mudah, tapi disetujuinya itu yang susah, hehehe...).
Ternyata setelah satu tahun, karena belum juga ada tanda-tanda dikabulkan, beliau mengundurkan diri dari PNS karena beliau berpandangan bahwa bila ada pilihan lain, tidaklah baik bila seorang ibu terlalu lama berada jauh dari anak-anaknya, sehingga tidak bisa mendampingi anak-anaknya. [Itu pun konon, karena beliau “ditipu” oleh staf bagian SDM yang mengatakan bahwa untuk bisa pindah ke Bogor, lebih baik ke luar dulu dari PNS, dan nanti di Bogor masuk lagi sebagai PNS, sesuatu yang ternyata tidak bisa dilakukan karena usia beliau sudah melebihi batas penerimaan PNS. Mungkin staf SDM itu bukan menipu sih, tapi karena ybs tidak tahu aturan persisnya, tetapi sotoy mengatakan demikian agar segera terlepas dari beban ditanya-tanya terus oleh Mamah tentang kemungkinan kepindahannya ke Bogor itu... Ya sudah, dimaafkan saja ya..?].
Setelah tinggal di Bogor, beliau bekerja sebagai bidan di Puskesmas (?, rasanya sekarang sudah menjadi Rumah Sakit) di Tajur, yang berlokasi antara kota Bogor dan Puncak.
Ada kenangan pada saat beliau bekerja di Tajur ini. Setiap kali bertugas, ‘kan beliau mendapat jatah makan. Istimewanya, beliau selama bertahun-tahun tidak pernah menyantap lauk yang terdapat pada jatah ransum yang diberikan, paling-paling hanya nasi dan sayurnya yang beliau makan. Lalu untuk apa lauknya itu? Seperti sudah bisa diduga, beliau memberikan lauk itu untuk anak-anaknya.
[Catatan: pada era tahun 70-an awal itu, memang banyak keluarga yang saking pas-pasannya, akan menganggap mewah kalau kita makan nasi hanya dengan setengah butir telur per orang! Bahkan nasi goreng untuk tujuh orang pun akan dianggap mewah gara-gara ke dalam nasi goreng yang seudug-udug itu dicemplungin satu butir telur yang diaduk ke dalamnya! Makanya pada jaman dulu, mie atau nasi goreng sudah dicap “spesial” kalau dia pake telor! (lha, sekarang mah sudah “default”nya begitu...). Berbeda sekali dengan keadaan sekarang, ‘kan? Pada jaman sekarang mah biasa sekali bila seorang anak makan dengan lauk daging + ayam atau ikan, ditambah telur dan sayur pada setiap kali makan. Sama juga, barangkali tidak terbayang oleh anak-anak sekarang bahwa satu butir apel dianggap makanan mewah yang pantas-pantas saja dibagi untuk sekeluarga, artinya masing-masing orang mendapat 1/7 atau 1/8 butir apel. Alhamdulillah sekarang keluarga kelas menengah sudah banyak...].
Pada saat itu, mungkin karena masih anak-anak, Om-G menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, yang wajar-wajar saja. Padahal karena sekarang mengenang itu, air mata suka meleleh karena Mamah selama bertahun [baca: BERTAHUN-TAHUN !], selalu berkorban demi anak-anaknya. Berkorban tidak mengonsumsi lauk jatah ransumnya, karena lebih mementingkan gizi bagi anak-anaknya. Subhanallah...
[Ada sesuatu yang mirip tapi tak sama dengan hal itu. Setiap kali istri Om-G mengandung, walaupun sedang menderita pusing atau apapun, dia sama sekali tidak mau mengonsumsi obat apapun, walaupun obatnya diresepkan oleh dokter ahli kebidanan sekalipun. “Ah biarlah Bunda sakit sedikit, yang penting anakku tidak mendapat efek samping apapun, yang bisa saja terjadi kalau mengonsumsi obat itu...”, katanya dengan tersenyum; padahal Om-G tahu bahwa dia memang benar-benar pusing atau pilek... Ya sudah, paling-paling OM-G hanya bisa mengurangi rasa sakitnya dengan memijitinya dan membalurnya dengan minyak kayu putih... Untuk Om-G hal “kecil” ini merupakan bukti bahwa dia adalah seorang ibu yang benar-benar mencintai anaknya, lebih dari apapun! Dan percaya atau tidak, antara lain hal inilah yang membuat Om-G tetap mencintai si Bunda, walaupun dia sudah tidak muda lagi, sudah tidak terlalu cantik lagi... Bahkan seandainya hidup Om-G dapat diputar ke jaman puluhan tahun yang lalu, insya Allah Om-G tetap akan memilih si Bunda sebagai istri. Setuju, ‘kan, Om dan Tante sekalian?].
Kembali ke cerita tentang Mamah. Ada lagi hal yang Om-G kenang pada saat beliau bekerja sebagai bidan di Puskesmas di Tajur-Bogor tadi.
Pada saat-saat tertentu, ‘kan, beliau kebagian shift malam (kalau tidak salah dari pk.10 malam sampai pk.06 pagi). Nah berangkatnya itu sekitar pk.21.15 an. Pada jaman itu, jam segitu sudah termasuk malam di kota Bogor. Nah, pada saat naik angkot menuju ke Puskesmas (sebagai wakil kepala kantor di sebuah instansi Pemerintah, Papah memang difasilitasi dengan sebuah mobil dinas, tetapi “khas orang jaman dulu”, beliau tidak mau menggunakan mobil dinas itu untuk urusan di luar kedinasan...), ternyata ada saja penumpang lain yang berpandangan negatif tentang si Mamah. “Hah, kerjanya malam sampai jam enam pagi? Hiiihhh...” kata orang itu. Komentar yang sangat “nyebelin” ! Ya lihat-lihat dulu dong! Mamah ‘kan tidak muda lagi (usianya pada saat itu sudah lebih dari 44 tahun) , lagi pula beliau ‘kan memakai pakaian putih-putih seragam Rumah Sakit! Masa disangka yang nggak-nggak? Kurang asem, ya?
Ada satu hal (lagi) yang Om-G ambil dari Mamah dan Papah. Beliau-beliau itu, walaupun tidak berlebih, selalu mengutamakan keperluan untuk pendidikan anak-anaknya. Biaya untuk buku atau kegiatan sekolah selalu diutamakan, walupun akibatnya alokasi biaya untuk keperluan yang lain-lain jadi harus mengalah. Pada saat itu di rumah kami, bertahun-tahun tidak ada tv warna, vcd player dsb, tapi untuk buku-buku dll walaupun lebih mahal, selalu diupayakan agar ada.
Mamah selalu menekankan satu hal kepada anak-anaknya: jangan lupa shalat! Dan itu selalu beliau tekankan, bahkan sampai pada hari-hari terakhir beliau pada saat dirawat di rumah sakit. Beliau wafat pada dua tahun yang lalu, dengan dihadiri oleh semua anak-anaknya, Papah, dan semua cucunya. Insya Allah beliau wafat dengan khusnul khatimah. Semoga Mamah diampuni segala kesalahannya, diterima segala amal baiknya, dan mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan YME. Aamiin.
Om-G hanya ingin berpesan kepada OM dan Tante yang masih mempunyai orang tua, khususnya ibu. Sayangilah beliau, cintailah beliau, perhatikanlah beliau; selagi masih sempat, selagi masih hidup! Sempatkan untuk berkunjung, sempatkan mengobrol dengan beliau. Rasanya mah percuma saja kalau dengan segala alasan, ya sibuk lah atau apalah, sampai Om dan Tante berani mengatakan tidak sempat. “Ah itu mah nanti-nanti sajalah..”. Siapa tahu yang “nanti-nanti sajalah” itu tidak pernah lagi Om dan Tante miliki. Jangan sampai Anda menyesal seumur hidup! SELAMAT HARI IBU.
Sekian dulu dari Om-G.
Salam K’ers,
Om-G.
[Kompasiana.com/Om-G].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H