Pada akhir 1970, Papah dipindahtugaskan ke kota Bogor, dan pindahlah kami sekeluarga ke kota hujan itu. Bagaimana dengan Mamah? Beliau ternyata “mengorbankan diri” dengan tetap tinggal di Karawang karena sebagai PNS daerah TK-II Karawang tidak mudah untuk begitu saja minta dipindahkan (mintanya sih mudah, tapi disetujuinya itu yang susah, hehehe...).
Ternyata setelah satu tahun, karena belum juga ada tanda-tanda dikabulkan, beliau mengundurkan diri dari PNS karena beliau berpandangan bahwa bila ada pilihan lain, tidaklah baik bila seorang ibu terlalu lama berada jauh dari anak-anaknya, sehingga tidak bisa mendampingi anak-anaknya. [Itu pun konon, karena beliau “ditipu” oleh staf bagian SDM yang mengatakan bahwa untuk bisa pindah ke Bogor, lebih baik ke luar dulu dari PNS, dan nanti di Bogor masuk lagi sebagai PNS, sesuatu yang ternyata tidak bisa dilakukan karena usia beliau sudah melebihi batas penerimaan PNS. Mungkin staf SDM itu bukan menipu sih, tapi karena ybs tidak tahu aturan persisnya, tetapi sotoy mengatakan demikian agar segera terlepas dari beban ditanya-tanya terus oleh Mamah tentang kemungkinan kepindahannya ke Bogor itu... Ya sudah, dimaafkan saja ya..?].
Setelah tinggal di Bogor, beliau bekerja sebagai bidan di Puskesmas (?, rasanya sekarang sudah menjadi Rumah Sakit) di Tajur, yang berlokasi antara kota Bogor dan Puncak.
Ada kenangan pada saat beliau bekerja di Tajur ini. Setiap kali bertugas, ‘kan beliau mendapat jatah makan. Istimewanya, beliau selama bertahun-tahun tidak pernah menyantap lauk yang terdapat pada jatah ransum yang diberikan, paling-paling hanya nasi dan sayurnya yang beliau makan. Lalu untuk apa lauknya itu? Seperti sudah bisa diduga, beliau memberikan lauk itu untuk anak-anaknya.
[Catatan: pada era tahun 70-an awal itu, memang banyak keluarga yang saking pas-pasannya, akan menganggap mewah kalau kita makan nasi hanya dengan setengah butir telur per orang! Bahkan nasi goreng untuk tujuh orang pun akan dianggap mewah gara-gara ke dalam nasi goreng yang seudug-udug itu dicemplungin satu butir telur yang diaduk ke dalamnya! Makanya pada jaman dulu, mie atau nasi goreng sudah dicap “spesial” kalau dia pake telor! (lha, sekarang mah sudah “default”nya begitu...). Berbeda sekali dengan keadaan sekarang, ‘kan? Pada jaman sekarang mah biasa sekali bila seorang anak makan dengan lauk daging + ayam atau ikan, ditambah telur dan sayur pada setiap kali makan. Sama juga, barangkali tidak terbayang oleh anak-anak sekarang bahwa satu butir apel dianggap makanan mewah yang pantas-pantas saja dibagi untuk sekeluarga, artinya masing-masing orang mendapat 1/7 atau 1/8 butir apel. Alhamdulillah sekarang keluarga kelas menengah sudah banyak...].
Pada saat itu, mungkin karena masih anak-anak, Om-G menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, yang wajar-wajar saja. Padahal karena sekarang mengenang itu, air mata suka meleleh karena Mamah selama bertahun [baca: BERTAHUN-TAHUN !], selalu berkorban demi anak-anaknya. Berkorban tidak mengonsumsi lauk jatah ransumnya, karena lebih mementingkan gizi bagi anak-anaknya. Subhanallah...
[Ada sesuatu yang mirip tapi tak sama dengan hal itu. Setiap kali istri Om-G mengandung, walaupun sedang menderita pusing atau apapun, dia sama sekali tidak mau mengonsumsi obat apapun, walaupun obatnya diresepkan oleh dokter ahli kebidanan sekalipun. “Ah biarlah Bunda sakit sedikit, yang penting anakku tidak mendapat efek samping apapun, yang bisa saja terjadi kalau mengonsumsi obat itu...”, katanya dengan tersenyum; padahal Om-G tahu bahwa dia memang benar-benar pusing atau pilek... Ya sudah, paling-paling OM-G hanya bisa mengurangi rasa sakitnya dengan memijitinya dan membalurnya dengan minyak kayu putih... Untuk Om-G hal “kecil” ini merupakan bukti bahwa dia adalah seorang ibu yang benar-benar mencintai anaknya, lebih dari apapun! Dan percaya atau tidak, antara lain hal inilah yang membuat Om-G tetap mencintai si Bunda, walaupun dia sudah tidak muda lagi, sudah tidak terlalu cantik lagi... Bahkan seandainya hidup Om-G dapat diputar ke jaman puluhan tahun yang lalu, insya Allah Om-G tetap akan memilih si Bunda sebagai istri. Setuju, ‘kan, Om dan Tante sekalian?].
Kembali ke cerita tentang Mamah. Ada lagi hal yang Om-G kenang pada saat beliau bekerja sebagai bidan di Puskesmas di Tajur-Bogor tadi.
Pada saat-saat tertentu, ‘kan, beliau kebagian shift malam (kalau tidak salah dari pk.10 malam sampai pk.06 pagi). Nah berangkatnya itu sekitar pk.21.15 an. Pada jaman itu, jam segitu sudah termasuk malam di kota Bogor. Nah, pada saat naik angkot menuju ke Puskesmas (sebagai wakil kepala kantor di sebuah instansi Pemerintah, Papah memang difasilitasi dengan sebuah mobil dinas, tetapi “khas orang jaman dulu”, beliau tidak mau menggunakan mobil dinas itu untuk urusan di luar kedinasan...), ternyata ada saja penumpang lain yang berpandangan negatif tentang si Mamah. “Hah, kerjanya malam sampai jam enam pagi? Hiiihhh...” kata orang itu. Komentar yang sangat “nyebelin” ! Ya lihat-lihat dulu dong! Mamah ‘kan tidak muda lagi (usianya pada saat itu sudah lebih dari 44 tahun) , lagi pula beliau ‘kan memakai pakaian putih-putih seragam Rumah Sakit! Masa disangka yang nggak-nggak? Kurang asem, ya?
Ada satu hal (lagi) yang Om-G ambil dari Mamah dan Papah. Beliau-beliau itu, walaupun tidak berlebih, selalu mengutamakan keperluan untuk pendidikan anak-anaknya. Biaya untuk buku atau kegiatan sekolah selalu diutamakan, walupun akibatnya alokasi biaya untuk keperluan yang lain-lain jadi harus mengalah. Pada saat itu di rumah kami, bertahun-tahun tidak ada tv warna, vcd player dsb, tapi untuk buku-buku dll walaupun lebih mahal, selalu diupayakan agar ada.
Mamah selalu menekankan satu hal kepada anak-anaknya: jangan lupa shalat! Dan itu selalu beliau tekankan, bahkan sampai pada hari-hari terakhir beliau pada saat dirawat di rumah sakit. Beliau wafat pada dua tahun yang lalu, dengan dihadiri oleh semua anak-anaknya, Papah, dan semua cucunya. Insya Allah beliau wafat dengan khusnul khatimah. Semoga Mamah diampuni segala kesalahannya, diterima segala amal baiknya, dan mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan YME. Aamiin.