Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pasang CCTV di Jembatan Penyeberangan Orang, Cukupkah? (Bagian-1)

2 Desember 2015   00:50 Diperbarui: 2 Desember 2015   01:25 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[Om-G, Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi Terapan, K3, 1 Desember 2015].

Pasang CCTV di Jembatan Penyeberangan Orang, Cukupkah?      [Judul asli: 7E-1M Cara Tuntas untuk Meningkatkan Keamanan di JPO]. (Bagian-1).

[Om-G, Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi Terapan, K3, 1 Desember 2015].

Peristiwa kriminal di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) terjadi lagi di Jakarta. Beberapa orang teman, kebanyakan yang wanita, menyatakan kepada Om-G, bahwa mereka merasa (makin) takut untuk memakai JPO, terutama pada malam hari. Menanggapi kejadian ini, Om Ahok, Gubernur DKI, menyatakan akan segera memasang CCTV di tempat-tempat yang rawan.

Pertanyaannya, cukupkah itu? Yakinkah Om dan Tante bahwa pemasangan CCTV akan seca­ra efektif menanggulangi masalahan kerawanan di JPO?

Barangkali masih ingat tentang peristiwa kaburnya beberapa narapidana di sebuah instansi, padahal sebetulnya proses kaburnya para napi itu terpantau oleh CCTV yang terpasang di situ? Pada saat besoknya diketahui ada yang kabur, rekaman CCTV nya diperiksa.  Merasa ada yang aneh dengan kabar tersebut? Ya aneh lah: ada CCTV yang terpasang dan berfungsi dengan baik, dan mestinya ada para petugas jaga yang bertugas pada malam itu. Lha kok para petugas jaga tidak memantau CCTV dan lalu menggagalkan peristiwa kabur tersebut?   

Om-G tidak mengikuti kabar itu, tetapi bisa timbul beberapa dugaan kenapa para petugas jaga tidak memantau CCTV dan lalu menggagalkan peristiwa kabur tersebut, yaitu misalnya:

  • Para penjaganya memang tidak sedang berjaga dan mengawasi keadaan via CCTV. [Kalau ini yang terjadi, kok asyik ya, orang yang ditugasi (dan digaji) untuk melakukan tugas tertentu, lalu “dengan seenaknya” melalaikan tugas tersebut. Ya iyalah, tidak boleh ada alasan bahwa dia/mereka sedang tertidur pada saat peristiwa itu terjadi, sehingga sedang tidak memantau CCTV... Lha tugasnya memang itu, ‘kan?].
  • Tidak adanya pengawasan terhadap para petugas jaga, sehingga walaupun ada yang melalaikan tugas (mungkin dilakukan secara “berjamaah”, karena tidak mungkin tugas jaga dilkukan hanya oleh satu orang...), hal ini menjadi tidak termonitor; sehingga pada saat terjadi “apa-apa” ya berjalan muluslah “apa-apa” nya tadi...
  • Dan lain-lain yang Om-G tidak berani sebutkan karena belum terbukti seperti itu... Jangan-jangan Om-G ntar dituduh mencemarkan nama baik... (tapi Om-G menduga bahwa sebetulnya alasan ke tiga ini juga sudah ada dalam benak Om dan Tante, hehehe...).

 

Kembali ke masalah CCTV untuk memantau JPO:

Ke dua: katakanlah misalnya dengan pemasangan CCTV itu kemudian JPO-JPO sudah menjadi aman, bagaimana meyakinkan masyarakat pengguna JPO bahwa di situ sudah aman dengan seaman-amannya sehingga masyarakat tidak perlu kuatir lagi?

 

Nah, Om-G mengusulkan “Sistem 7E-1M”[1] yang bersifat menyeluruh, multi faktor, meliputi bukan hanya aspek-aspek teknis tetapi juga aspek psiko­logis, ergonomis, ke-sistem-an, beban kerja, manajemen dan sebagainya; dan mencakup bukan hanya aspek operasional, melainkan juga aspek perencanaan, maintenance, dan penilaian kerja. Pada semua aspek itulah kajian dan penyelidikan mengenai penyebab peristiwa ini mestinya diarahkan, untuk kemudian dicari solusi yang sebaik-baiknya. Penting sekali untuk menjamin bahwa kajian-kajian untuk mencegah peristiwa ini bersifat menyelu­ruh/ho­lis­tik, karena diyakini bahwa bila ini ha­nya bersifat parsial, implementasi upaya perbaikan ini tidak dapat mencegah ter­ulangnya peristiwa kejahatan di PJO secara efektif.

Hal yang juga sangat penting adalah penerapan/implementasinya. Bagaimana implemen­tasi yang semestinya dilakukan oleh semua pemangku ke­pentingan untuk mencegah terulangnya peristiwa seperti ini. Apakah implementasi ini sesuai dengan rancangan yang telah dibuat, apakah ada mekanisme untuk mendeteksi adanya penyimpangan secara dini, apa yang (harus) dilakukan bila memang terjadi penyimpangan-penyimpangan, bagaimana menjaring ide-ide perbaikan (lanjutan)[2] dari para petugas pelaksana dan  masyarakat (yang mungkin pernah tinggal di sebuah negara atau kota yang memunyai “sistem” JPO yang baik sehingga peristiwa perkosaan dan kejahatan lain di JPO tidak pernah terjadi), peran dan kontribusi apa yang diharapkan dari pimpinan puncak, serta apa yang harus dilakukan oleh para mitra kerja.

Tulisan ini memaparkan suatu sistem pendekatan holistik multi faktor yang dikembangkan di tempat Om-G bekerja yaitu di Lab.RSKE (a.k.a. Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi) ITB, agar implementasi per­baik­an-perbaikan tadi dapat mencapai tujuannya secara efektif.

---o0o---

Memang ada berbagai faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya suatu tindakan kejahatan di JPO, misalnya faktor teknis, faktor personil, faktor ke-sistem-an dan faktor sosial. Di bawah ini dipaparkan penjelasan untuk masing-masing faktor tadi secara ringkas. Yuk kita simak...

 

FAKTOR TEKNIS pada JPO dan lingkungan di sekitarnya misalnya adalah:

  • Apakah keadaan di JPO dapat terlihat jelas dari bawah JPO? Sehingga orang lain/ masyarakat yang ada atau melintas di sekitar JPO dapat ikut melihat keadaan yang terjadi di atas (di JPO), selain bahwa si calon pelaku kejahatan juga akan tidak terlalu berani melakukan aksinya bila dia tahu bahwa orang-orang di bawah pun dapat melihat apa yang dia lakukan di atas.
  • Apakah tersedia CCTV (idealnya ada beberapa CCTV di masing-masing JPO) yang dapat memonitor semua sudut JPO dan sekitarnya, di mana CCTV ini terhubung ke posko petugas pemonitor (misalnya Polsek atau lainnya). Bagaimana keterhubungan antara CCTV dan posko pemonitor? [Ah pada jaman sekarang sih mudah sekali: hubungkan saja via internet, semacam pada CCTV yang memonitor keadaan lalu lintas itu lho...].
  • Apakah lampu penerangannya memadai
  • Apakah bila ada kecurigaan terhadap suatu kondisi keamanan, tersedia tombol alarm pada setiap jarak 1,5-2 meter agar mudah dijangkau oleh orang yang merasa keamanannya sedang terancam? Agar hemat, alarmnya sih boleh saja hanya satu (atau dua), lalu kabelnya diparalelkan saja ke tombol-tombol alarm tadi. Yang juga harus diingat adalah bahwa sistem perkabelan, alarm dan tombol alarm tadi harus diupayakan sedemikian rupa agar tidak mudah dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ke dua, tombol alarm nya harus eye catching dan berada pada ketinggian yang bahkan mudah dijangkau oleh anak-anak sekalipun!
  • Apakah tersedia CCTV yang memantau/mensupervisi keadaan yang terjadi di posko pemonitor? Apakah pemonitor menjalankan tugasnya, ataukah tidur, atau tidak berada di tempat? Seperti yang tadi, keterhubungannya dapat dilakukan via internet.
  • Apakah dilakukan pemeriksaan teratur (misalnya setiap hari) dan perawatan berkala yang menjamin bahwa CCTV di JPO (dan keterhubungannya dengan posko petugas pemonitor), CCTV di ruang supervisor (dan keterhubungannya dengan posko supervisor), lampu-lampu penerangan, dan sistem alarm semuanya berfungsi dengan baik ?
  • Dan lain-lain.

 

FAKTOR PER­SONIL misalnya adalah:

  • Apakah tersedia, dalam jumlah dan kompetensi yang memadai, petugas pemonitor CCTV? Mungkin pemonitoran ini cukup dilaksanakan pada malam hari. Posko pemonitor ini bisa saja ditugasi untuk memonitor lebih dari satu JPO. Pemonitoran ini pun dilakukan terhadap adanya potensi kejahatan,misalnya keberadaan orang yang patut diduga bahwa dia sedang mabuk...
  • Apakah tersedia, dalam jumlah dan kompetensi yang memadai, “petugas penindaklanjut bila terjadi sesuatu” (misalnya dalam hal alarm berbunyi atau terlihat adanya kondisi mencurigakan yang terpantau dari CCTV) untuk mendatangi JPO yang bersangkutan untuk mencegah terjadinya suatu tindak kejahatan di JPO. Sebetulnya barangkali bisa juga, terutama pada kondisi yang tidak “gawat”, petugas tidak sampai harus mendatangi TKP, tetapi cukup dengan berteriak via mic yang terhubung dengan speaker yang ada di JPO (misalnya dengan mengatakan “Hallo, kami dari Polsek ... (nama Polsek). Anda yang berada di Jembatan Penyeberangan Orang nomor 02 Cempaka Putih, keadaan Anda terpantau dari tempat kami, dan kami sedang menuju ke sana. Mohon Bapak yang berbaju hitam agak menjaga jarak dari Mbak yang berbaju hijau karena agaknya si Mbak nya merasa agak takut...”. Lha mudah-mudahan hal kecil dan sederhana ini bia mencegah terjadinya tindak kejahatan karena walaupun misalnya tadinya si Bapak berbaju hitam benar-benar mau bertindak jahat tetapi mengurungkan niatnya karena merasa keberadaannya dipantau petugas. Di sisi lain, mestinya si Mbak berbaju hijau tadi akan merasa (jauh) lebih tenang dan aman...
  • Apakah tersedia, dalam jumlah dan kompetensi yang memadai, petugas yang memeriksa kondisi peralatan-peralatan yang terpasang, dan melaporkannya bila ada kerusakan?
  • Apakah tersedia, dalam jumlah dan kompetensi yang memadai, petugas “maintenance” untuk segera memperbaiki peralatan-peralatan yang tidak berfungsi? Tentunya diharapkan bahwa di setiap wilayah pemantauan (misalnya dalam wilayah satu kelurahan), disediakan peralatan cadangan dalam jumlah yang memadai sehingga bila terjadi kerusakan bisa segera diganti, sementara alat yang rusak diupayakan untuk diperbaiki. Dan mestinya harus ada suatu mekanisme (dan berita acaranya) untuk permintaan dan penyerahan peralatan cadangan ini. Juga mekanisme untuk pelaporannya.
  • Apakah tersedia, dalam jumlah dan kompetensi yang memadai, personil yang ditugasi untuk memantau/mensupervisi para pemonitor CCTV agar yang terakhir ini bekerja dengan sebagaimana mestinya; tidak meninggalkan posko pemonitor CCTV, tidak tidur, dan tidak melalaikan tugasnya dengan melakukan hal lain (misalnya mabuk atau mengonsumsi narkoba...)? Para supervisor ini pun memantau apakah para “petugas penindaklanjut bila terjadi sesuatu” segera bergerak dan segera tiba di lokasi JPO yang patut diduga sedang terjadi suatu tindak kejahatan.
  • Apakah tersedia, dalam jumlah dan kompetensi yang memadai, para petugas “Sistem Sumbang Saran” yang menindaklanjuti usulan dan feedback dari masyarakat.
  • Catatan: para personil yang disebutkan di atas tidak selalu harus merupakan hasil perekrutan PNS, Polisi atau karyawan tetap di Pemprov DKI (atau salah satu Pemkot di wilayah DKI). Para petugas pemonitor dan supervisor misalnya, bisa saja dari karyawan PNS, Polisi atau karyawan tetap DKI; yang diberi tugas tambahan untuk memonitor keadaan di lokasi JPO atau mensupervIsi keadaan posko pemonitor CCTV. Untuk pemeliharaan CCTV, alarm dan keterhubungan internet mestinya bisa dilakukan dengan “kontrak pemeliharaan” dengan pemasok (yang dijadikan satu pada saat bidding/tender pengadaan barang) atau dengan pihak lain bila “kontrak pemeliharaan” dengan pemasok tadi sudah berakhir.

 

FAKTOR KE-SISTEM-AN misalnya adalah:

  • Apakah sudah ada prosedur operasional standar (a.k.a. S.O.P., Standard Operation Procedure) untuk petugas pemonitor CCTV, petugas yang mensupervisi posko pemonitor CCTV, petugas pemeriksa kondisi fungsional peralatan, dan petugas perawatan peralatan?
  • Apakah sudah dirancang form hasil pengamatan untuk kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh pemonitor CCTV, petugas yang mensupervisi posko pemonitor CCTV, petugas pemeriksa kondisi fungsional peralatan, petugas perawatan peralatan?
  • Apakah sudah dirancang mekanisme pelaporan bila semua berjalan baik dan bila terjadi “sesuatu”...?
  • Apakah sudah dirancang mekanisme evaluasi terhadap form hasil pengamatan yang disebutkan tadi? Seberapa sering harus dilakukan evaluasi terhadap keadaan “reguler”, kapan harus dilakukan evaluasi bila “terjadi sesuatu”, siapa saja yang dilibatkan dalam evaluasi, dan apa tindakan lanjutan setelah hasil evaluasi ada, dll ?
  • Apakah sudah dirancang sistem KPI (key performance indikator) untuk masing-masing jenis personil tadi?
  • Apakah sudah dirancang sistem perupahan untuk masing-masing jenis personil tadi, yang dikaitkan dengan prestasi masing-masing personil?
  • Bagaimana dan apa saja yang harus dilakukan agar implementasi dari program ini dapat berjalan dengan lancar dan secara efektif dapat mencapai tujuannya?
  • Dan lain sebagainya.

 

FAKTOR SOSIAL misalnya adalah:

  • Bagaimana membentuk suatu sistem sosial yang mendukung program ini.
  • Bagaimana cara melibatkan unsur-unsur masyarakat sekitar (RT, RW, Kelurahan...) untuk mendukung suksesnya program ini ? termasuk misalnya apakah akan melibatkan para hansip yang ada di RW atau perumahan di sekitar lokasi PJO, atau juga para security perusahaan-perusahaan yang berlokasi di sekitar lokasi PJO. Misalnya dengan menghalau orang-orang yang kelihatannya sedang mabok di sekitar PJO dan atau juga dengan membantu “berpatroli” di sekitar lokasi PJO.
  • Dan lain-lain. [Mohon maaf ya, Om-G sih sama sekali bukan pakar dalam masalah sosial begini mah... Silakan para pakar kajian sosial ikutan nimbrung di sini yuk... Turima kasi gozaimas. Merci beaucoup].

 Nah, kelihatannya sudah banyak hal yang ditulis oleh Om-G ya..? Sudah 5 halaman lho... Tapi apakah apa yang dipaparkan di atas sudah lengkap? Ternyata BELUM, Om dan Tante sekalian! Terutama untuk (lebih) menjamin efektivitas keberhasilan implementasinya.

 Lha, kumaha atuh?

Dalam lanjutan tulisan ini (ya terpaksa dibagi dua deh, takut kepanjangan... Habisnya yang di atas juga sudah 5 halaman...), yaitu di Bagian-2, Om-G menawarkan Sistem 7E-1M, yang merupakan cara holistik dan multi aspek untuk meminimasi terjadinya peristiwa kejahatan di PJO.

Sistem yang dikembangkan Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi ― Insitut Teknologi Bandung (disingkat: LRSKE―ITB) ini merupakan sebuah sistem holistik integratif yang mencakup berbagai hal yang diya­kini dapat lebih menjamin dan meningkatkan efektivitas keberhasilan implementasi suatu program, yang dalam konteks kali ini adalah program peningkatan keamanan di PJO.

Sistem ini mencakup langkah-langkah Engineering, Edu­cating the peo­ple, Enforcing the law, Empo­wer­ing the people, Enabling  the system, Engaging the Top Management to the system, Endorsing the partners, serta Maintaining the system and carrying out the continuous improvement. Melalui pene­rapan sistem ini, pengimplementasian hasil-hasil rekomendasi akan berjalan dengan baik, efektif, dan sesuai dengan hasil yang diharapkan.

 

Sekian dulu dari Om-G ya, sampai jumpa di Bagian 2...

 

Bien à vous tous...

Salam,

Om-G

[Kompasiana.com/Om-G].

 

[1] Di Kompasiana.com, Om-G pernah memposting dua artikel tentang Sistem 7E-1M ini. Silakan lihat di http://www.kompasiana.com/om-g/dilarang-buang-sampah-ke-sungai-hehe-siapa-yang-mau-nurut-judul-asli-7e-1m-cara-tuntas-agar-masyarakat-tidak-lagi-membuang-sampah-ke-sungai_56528288d392734a127b687d , dan http://www.kompasiana.com/om-g/7e-1m-cara-tuntas-agar-peristiwa-tabrakan-kereta-api-tidak-lagi-terjadi_56048611d17e61c708e0d5e2

[2]     Sebagai bagian dari continuous improvement.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun