Bila misalnya terjadi kenaikan produktivitas sebesar 25%[1] , maka:
- Jumlah karyawan tetap 250 orang dengan volume produksi 12.500 pcs/hari
- Dengan 1 bulan = 22 hari kerja, maka volume produksi/bulan = 12.500 pcs x 22 hari/bulan = 275,000 pcs/bulan
- Total upah per bulan (sekarang dengan produksi 12.500 pcs, tetap dengan 250 karyawan, dan misal tanpa kenaikan upah) adalah tetap = Rp.575 juta/bulan.
- Padahal “seharusnya” (dengan unit cost yang lama, sebelum peningkatan produktivitas), untuk produksi 275.000 pcs/bulan, maka total upah per bulan adalah = 275.000 pcs/bulan x Rp2,613.64/pcs = Rp.718,750,000/bulan.
Jadi kalau produktivitas karyawan naik 25%, maka upah karyawan juga harus naik 25%, dong?
Lho lho lho... sabar napa?
Kita harus adil toh?
Premièrement, menurut Om G sih, kalau ada kenaikan produktivitas sebesar 25%, maka yang berhak untuk menikmati manfaatnya adalah para karyawan dan juga perusahaan. Iya nggak? Ya iya dong, karena pasti kenaikan produktivitas itu antara lain terjadi atas upaya perusahaan juga (misalnya dengan menambah atau mengganti peralatan dengan peralatan canggih yang berkapasitas lebih tinggi dengan kecepatan yang lebih besar, dan dengan perawatan yang lebih baik sehingga jarang macet, dsb.). Trus, tadi yang 250 orang itu ‘kan jumlah karyawan langsung (= operator)... Nah kalau kenaikan yang 25% dinikmati semuanya oleh para operator (langsung), bagaimana dong nasib para karyawan tidak langsung? (misalnya para staf administrasi, para helper, security, sopir, dll...).
Nah pemikiran kita sudah berkembang nih... Jadi silakan saja dirembukkan, bila ada kenaikan produktivitas 25% seperti contoh di atas, berapa “hak” yang menjadi bagian dari para karyawan langsung, para karyawan tidak langsung, dan perusahaan.[2] Jadi bila ada kenaikan produktivitas sebesar 25%, maka range kenaikan upah buruh (langsung) adalah antara 0-25%[3]. Bisa diterima, ‘kan?
Secondly, lagi-lagi menurut OM-G, juga akan menjadi tidak adil bila antara operator yang “berprestasi” dan yang “memblé” disamakan upahnya dan juga disamakan kenaikan upahnya. Setuju, ‘kan? (Hayo, yang nggak setuju pasti sampeyan yang termasuk golongan memblé... Ngaku deh..!).
Trus, bagaimana tahunya bahwa si A adalah karyawan berprestasi dan si B adalah karyawan memblé?
Ya gampang saja kalau mau dibikin gampang mah...