Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Dilarang Buang Sampah Ke Sungai? Hehe, Siapa Yang Mau Nurut? [Judul Asli: “7E-1M, Cara Tuntas Agar Masyarakat Tidak Lagi Membuang Sampah ke Sungai”]

23 November 2015   10:05 Diperbarui: 23 November 2015   14:16 6765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[Kompasiana.com/Om-G, 23 Nov.2015].

 

[Ctt.: Om-G mendapat meme ini dari internet, tapi lupa mencatat sumbernya, mohon maaf ya...]

Beberapa hari yang lalu di TV Om Ahok pernah mengemukakan bahwa barang siapa yang membuang sampah di sungai akan didenda sebesar 5 juta rupiah. Apakah orang jadi pada takut dan nurut gitu? Wah alhamdulillah banget kalau masyarakat pada nurut, trus sungai Ciliwung, Cisadane dan semua saluran air menjadi bersih dari sampah sehingga dapat menampung volume air yang lebih besar, lalu memperkecil kemungkinan meluapnya air  dari sungai dan saluran air... 

Ngemeng-ngemeng soal denda untuk pembuang sampah di sungai, sebetulnya Kota dan di Kabupaten Bandung lebih mengerikan lho... Di Bandung itu (Kota dan Kabupaten) kompakan ada Perda yang menyebutkan bahwa barang siapa yang membuang sampah di sungai akan dikenakan biaya paksa (a.k.a denda) sebesar 50 juta rupiah. Sukses gitu? Dalam arti sungai-sungai di Bandung bersih dari sampah karena nggak ada lagi yang buang sampah di sungai karena takut kena denda 50 juta? Wallahu alam...  Tapi naga-naganya sih nggak, wong sampah masih numpuk kok, di sungai sungai... Walaupun dendanya jauh lebih besar, agaknya masyarakat mah pada nggak peduli dan nggak takut pada ancaman seperti itu, apalagi rasanya belum pernah ada yang ditangkap dan didenda seperti yang diancamkan tadi.

Apa orang Indonesia segitu cueknya terhadap peraturan? Atau masyarakat sudah pada jadi orang kaya semua, sehingga denda segitu mah dianggap ringan-ringan saja bagi mereka? Trus kenapa atuh nggak diturut, ya?

Kalau menurut Om-G mah ini semua adalah masalah sistem. Sistem lah yang membuat sebuah aturan diturut atau tidak. Ada banyak kasus di mana masyarakat dengan tanpa merasa bersalah melakukan pelanggaran secara “berjamaah”, tetapi ada juga sistem (yang bagus) yang membuat (atau “memaksa”) masyarakat untuk mematuhi aturan yang ada.

Ingin contoh? Misalnya, siapa sih di antara Om dan Tante yang berani nyebrang jalan atau buang puntung rokok sembarangan di Orchard Road Singapura? Nggak ada yang berani, ’kan? Di Prancis pun, rasanya jarang sekali ada pengemudi yang secara terang-terangan berani menyerobot lampu merah, kecuali orang yang sedang mabok...

Kenapa bisa begitu ya?

Menurut Om-G mah sebuah aturan hanya akan bisa efektif ―artinya dipatuhi dan mencapai tujuan yang diinginkan sesuai aturan tersebut―, bila ada sistem lengkap yang mengaturnya. Kalau pun ada pelanggaran, maka hal itu akan segera diketahui karena di mana-mana ada petugas yang memonitor, lalu si “terdakwa” langsung “dieksekusi” (yaitu didenda tadi...). Besaran denda (di sono, di Singapura tadi...) bisa ditawar-tawar nggak? Rasanya sih nggak deh, karena si pelaksana pun pasti ada yang mengawasi juga... Bikin kapok nggak? Ya iya lah, karena dendanya cukup besar, significant, termasuk bila dibandingkan dengan penghasilan rata-rata masyarakat. Kalau perlu, untuk pelanggar yang kaya banget, mungkin harus disediakan hukuman dalam bentuk lain, misalnya disuruh push-up di tempat keramaian dan atau dia difoto lalu fotonya dipajang di tempat keramaian itu dan disebutkan sebagai pelanggar aturan... [Mungkin ini mah baru hayalan Om-G doang, tapi kalau bisa seperti itu, rasanya aturannya akan lebih berpotensi untuk dipatuhi , ‘kan?]

Balik lagi ke soal buang sampah tadi, bagaimana dong, supaya masyarakat nurut dan nggak lagi buang sampah ke sungai? Ya itu tadi, sistemnya dilengkapi, bukan hanya secara parsial, yaitu dengan adanya aturannya saja, tetapi sebuah sistem yang secara holistik dan integratif menjamin efektivitas implementasi suatu aturan.

Jadi bagaimana, sih?

Begini, first of all, ato kata Om François Hollande mah “premièrement”, aturannya sudah ada ‘kan? Good. Tapi mungkin perlu dikaji lagi apakah dendanya itu bakalan bisa bikin kapok semua orang, semua jenis orang: yang kaya maupun yang sama sekali nggak kaya. Untuk orang yang kaya, mungkin perlu “hukuman khusus” seperti disebut di atas tadi. Untuk kaum the have not, suudzon nya sih jangan-jangan mereka ada yang sengaja melanggar agar ditangkap lalu dipenjara. [Jangan-jangan, barangkali saja ada yang berpikiran: “Lumayan, seminggu makan gratis nih”. Absurd banget ya? Yé siapa tau ada orang yang berpikiran seperti itu, terutama kalau untuk makan sehari-hari saja susah, ya lumayan lah kalau ada yang ngasi makan... Lha kalau ini yang terjadi gawat nih, penjara bakal penuh dong oleh orang-orang yang niatnya cuma ingin dikasi makan...].

Pikirkan pula, penyediaan tempat-tempat sampah di lokasi-lokasi strategis, di mana banyak orang, sebelumnya, suka buang sampah di situ.

Di acara TV yang pernah Om G lihat baru-baru ini, ada ibu-ibu yang beralasan bahwa dia buang sampah ke sungai karena di sekitar situ tidak disediakan tempat sampah. Weleh-weleh, manja banget si ibuk ini, dan mengada-ada bingits geetoo... Di jalan jalan di Singapura tadi, kalau kita makan permen trus mau buang bungkusnya tapi nggak ada tempat sampah di dekat-dekat situ, apa kita akan nekat buang sampah di jalan dengan alasan gak ada tempat sampah? Sok aja kalau berani mah...[Paling-paling yang banyak dilakukan orang adalah menyimpan dulu bungkus permennya di kantong, dan baru dibuang kemudian, di tempat yang ada tempat sampahnya].

Kembali ke yang tadi, kalau pun akhirnya Pemerintah menyediakan tempat-tempat sampah di dekat sungai,  mestinya harus diperhitungkan bahwa tempat-tempat sampah itu mencukupi secara volume, dan penempatannya tidak terlalu berjauhan (yang bikin orang malas jadi lebih malas untuk menempuh jaraknya). Tapi agaknya juga harus dipikirkan bagaimana agar tempat sampahnya nggak dicolong orang... [Believe it or not, di sebuah tempat ibadah yang bagus di Bandung (yang juga mempunyai tempat resepsi pernikahan yang tergolong nomor wahid), dari hasil ngobrol-ngobrol diketahui bahwa di situ konon pernah disediakan puluhan tempat sampah, yang sebelum sebulan sebagian besarnya hilang... Hebat pisan orang Indonesia mah ya, fasilitas umum yang harganya tidak seberapa itu juga dicolong... Barangkali karena “sense of belonging” nya sangat tinggi ya..? Hehehe banget dah...].

Barangkali boleh juga dipikirkan tentang pemasangan CCTV di tempat-tempat tersebut yang terhubung ke Polsek terdekat, biar polisi bisa cepat datang untuk nangkep si pelaku, baik pelaku pembuang sampah maupun pelaku yang nyolong tempat sampah...

Juga, tempat-tempat sampah tadi harus dikosongkan secara reguler, minimal dua kali sehari agar tidak dijadikan alasan lagi oleh ibu ibu yang kayak tadi: Lha mau buang sampah di mana lagi, wong tempat sampahnya penuh? Ah aya aya wae si ibu mah...

Ke-dua, sosialisasikan hal tersebut seluas-luasnya kepada masyarakat, jangan hanya disimpan di dalam laci atau merasa sudah menyosialisikannya... di dalam rapat! (Heu...bagaimana masyarakt bisa tahu atuh..!). Moda sosialisasinya juga harus dibuat macam-macam, misalnya dengan baligho, via siaran radio, tv, via surat kabar, selebaran atau apapun... sehingga dibuat nggak mungkin aja kalau ada yang bilang bahwa dia tidak tahu...

Ke-tiga, lakukan monitoring/pengawasan dengan menempatkan petugas (misalnya Polisi, Hansip ataupun Satpol PP...) untuk mengawasi bila ada orang yang membuang sampah ke saluran air atau sungai; ditangkep deh, trus diproses... Hendaknya law enforcement ini dilaksanakan secara konsisten: yang bersalah ya harus dikenai sanksi. Nggak peduli dia adalah Pak Lurah, wartawan, anggota DPR yang terhormat, atau siapapun! Nggak peduli dia adalah teteh-teteh yang cantik bahenol dan kinyis-kinyis... Nggak peduli dia bilang bahwa dia nggak sengaja melakukannya... (halah, buang sampah di sungai kok nggak sengaja. Bohong banget!).

Ke-empat, diadakan sistem sumbang saran sebagai saluran untuk menampung feedback, usulan dan saran dari masyarakat (yang peduli!) agar aturan tentang larangan membuang sampah ini efektif dalam pelaksanaannya... Feedback, usulan dan saran ini kemudian diolah oleh Tim Petugas Tindak Lanjut” untuk mematangkan usulan tersebut (kiranya logis bila dikatakan bahwa “Tim Petugas Tindak Lanjut” ini harus diisi oleh para anggota yang well educated yang diharapkan akan lebih mampu menindaklanjuti usulan-usulan tersebut ―secara teknis dan sosial―, bukan orang-orang yang sudah bertahun-tahun ke sana kemari melamar pekerjaan tapi nggak diterima-terima...).

Ke-lima, pimpinan puncaknya (Om Ahok kalau di Jakarta, atau Om Emil kalau di kota Bandung, pokoké mah Boss tertinggi deh...) harus mengupayakan agar Program “Tidak Melempar Sampah Ke Sungai” ini selalu “ON”, tidak “anget-anget chicken’s shit” (halah, pasti ngerti artiné, ‘kan? Hehehe, bcanda doang ini mah, Om... Tante...), termasuk menjaganya dari pihak-pihak tertentu yang ingin bahwa program ini “OFF”... (siapa tahu ada... Contoh kecilnya:  di samping adanya Program Pemberantasan Korupsi, ada juga pihak-pihak yang ingin KPK dibubarkan, ’kan?).

Ke-enam, Om Boss tertinggi ini pun harus mau ikut terlibat pada rapat2 pokja terkait Program “Tidak Melempar Sampah Ke Sungai” ini; paling kurang dua kali (di awal dan di akhir) atau minimal banget satu kali (di awal untuk memberikan arahan karena Om Boss pasti punya “helicopter view” yang lebih luas, misalnya untuk bekerjasama dengan pihak-pihak yang berada “di bawah atau pun di luar garis komando”; juga agar tidak melenceng atau dibuat melenceng oleh oknum anak buah...).

Ke-tujuh, para mitra yang dilibatkan dalam program ini (misalnya pihak Kepolisian, Pol-PP, karyawan kecamatan, kelurahan, RW, RT...) agar memakai dan mengikuti standar yang sama... [Maaf tadi lupa, agar mereka bersemangat untuk menegakkan program ini, mungkin (para) penangkap para pelanggar ini perlu diberi insentif untuk setiap pelanggar yang tertangkap oleh dia/mereka, misalnya 5-10% dari dendanya. Silakan deh dikaji plus minusnya yaks...].

Dan last but not least, ke-8, Om Boss tertinggi harus berusaha agar program senantiasa berjalan, bahkan dengan perbaikan-perbaikan di sana-sini sesuai dengan prinsip continuous improvement...

Nah, terasa nggak bahwa ke delapan langkah seperti yang dipaparkan di atas (jauh) lebih menjamin efektivitas program-program yang dijalankan? Pasti Om dan Tante menjawab “YA”, ’kan? Iya ‘kan? Iya ‘kan? Dijamin iya deh... Wong sistem yang dipaparkan di atas itu bukan hanya hasil dari pemikiran semalam, tapi dipikirkan dan dikembangkan sejak belasan tahun yang lalu!

Dan, walaupun pada awal mulanya sistem tersebut dikembangkan untuk lebih menjamin efektivitas atau keberhasilan penerapan Program K3 (silakan baca misalnya tulisan Om-G di Kompasiana.com/Om-G yang berjudul “7E-1M, Cara Tuntas Agar Peristiwa Tabrakan Kereta Api Tidak Lagi Terjadi”)[1], tetapi setelah dikembangkan, ternyata sistem “7E-1M”[2] ini pun dapat diaplikasikan pada (hampir) semua persoalan, dengan manfaat untuk menjamin efektivitas implementasi program-program atau rencana, sehingga tingkat keberhasilannya dapat jauh lebih tinggi... Misalnya Om-G pernah “corat-coret” draft tulisan tentang “Sistem 7E-1M” untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, untuk menurunkan dwelling time di pelabuhan, untuk mengatasi para PKL di Monas secara tuntas, untuk mengatasi banjir kota, untuk mengurangi kemacetan dan masalah-masalah perlalulintasan, untuk meningkatkan efektivitas implementasi rencana pembangunan nasional dan daerah, untuk mencegah terulangnya bencana kabut asap di tahun-tahun yang akan datang, untuk meningkatkan safety pada lalu lintas darat-laut-udara dan angkutan penyeberangan, meningkatkan level K3 di perusahaan, meningkatkan produktivitas, dan lain-lain, dan sebagainya dan seterusnya...

Karena itu seandainya Pak Jokowi, Pak Luhut, Pak RR, Pak Ahok, Kang Emil, para Perencana Pembangunan Nasional/Daerah, para Menteri, Gubernur, Walikota, Bupati, para Pimpinan TNI dan Kepolisian, Direksi BUMN, BUMD, Swasta, dll dsb dst... atau para staffnya tertarik pada Sistem 7E-1M ini untuk meningkatkan keberhasilan implementasi program-program/perencanaan ini, rasanya Om-G mah pede dan sangat bersedia sekali untuk berkontribusi serta melakukan pendampingan untuk peng-attach-an Sistem 7E-1M ini pada program-program yang ada di tempat Bapak-Bapak/Ibu-Ibu... Mudah-mudahan hal ini akan membawa manfaat dan kemaslahatan bagi nusa bangsa dan negara kita, selain menjadi pahala bagi kita semua. Aamiin.

 

Sekian dulu dari Om-G.

Bien à vous tous.

 

Om-G

[Kompasiana.com/Om-G].

 

[1]     http://www.kompasiana.com/om-g/7e-1m-cara-tuntas-agar-peristiwa-tabrakan-kereta-api-tidak-lagi-terjadi_56048611d17e61c708e0d5e2

[2]     7E-1M: 1. Engineering, 2. Educating the people, 3. Enforcing the law, 4. Empowering the people, 5.Enabling the system, 6. Engaging the Top Leader to the system, 7. Endorcing the partners, and Maintaining the system and carrying out the continuous improvement

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun