Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tinjauan Cost dan Benefit Untuk Upaya Peningkatan K3

9 September 2015   13:47 Diperbarui: 9 September 2015   14:58 6757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara sederhana, “produktivitas” merupakan suatu ukuran “output” dibagi “input”. Upaya peningkatan produktivitas yang “paling ideal” ―hal yang tidak selalu dapat diperoleh― adalah apabila kita dapat menaikkan “output” sambil menurunkan “input”. Hal yang agaknya lebih rasional adalah meningkatkan produktivitas dengan menaikkan output dengan lebih besar dari kenaikan input, atau dengan menurunkan input lebih besar dari penurunan output. Dipandang dari sisi ini wajarlah apabila banyak perusahaan yang enggan untuk melakukan upaya-upaya peningkatan K3 bila dia memandang upaya itu hanya sebagai cost tanpa melihat penghematan-penghematan[3] yang dapat diperoleh (yang terjadi bila kondisi K3 kurang atau tidak baik], sehingga hanya akan menambah besaran input, yang “ujung-ujungnya” hanya akan menurunkan produktivitas.

Di satu sisi, cost yang ditimbulkan jelas adanya, tetapi di sisi lain, penghematan-penghematan yang dapat diperoleh perusahaan dengan menjalankan upaya-upaya K3 memang sering “tidak terlihat”, atau paling tidak, “sukar diukur dan dikuantifisir”.

Bahkan apabila kita memisahkan “keselamatan kerja” dan “kesehatan kerja” maka di sini pun terdapat ketidaksetaraan pandangan: Secara kasat mata, “kecelakaan kerja” (sebagai lawan dari “keselamatan kerja”) memang lebih terlihat, lebih terasa dan lebih “bersifat instan” dan karenanya banyak perusahaan yang memahami bahwa kecelakaan kerja merupakan suatu masalah. Di lain pihak, untuk “penyakit akibat kerja” (sebagai lawan dari “kesehatan kerja”), banyak sekali perusahaan yang tidak menyadari bahwa ini pun merupakan masalah yang harus ditanggulangi karena penyakit akibat kerja ini sering hanya baru terasakan setelah suatu kurun waktu yang cukup panjang (akibatnya bisa baru dirasakan setelah lebih dari dua puluh tahun...). Akibatnya adalah bahwa biaya-biaya yang diakibatkan oleh penyakit-penyakit akibat kerja ini pun sering luput dari perhatian, dan karenanya juga tidak diperhitungkan sebagai benefit (berupa penghematan-penghematan) bila keadaan ini diperbaiki melalui upaya-upaya peningkatan K3 di perusahaan.

Dengan memperhitungkan hal-hal di atas (yang secara de facto merupakan biaya bila kondisi K3 dibiarkan buruk atau tidak ditanggulangi, dan merupakan penghematan atau biaya yang dapat dihemat bila perusahaan berhasil menanggulangi masalah-masalah tersebut) secara lebih holistik, maka pembandingan antara cost dan benefit dari upaya-upaya peningkatan K3 akan menjadi lebih obyektif dan pada akhirnya akan “menyadarkan” perusahaan bahwa upaya-upaya peningkatan kondisi K3 merupakan hal yang menguntungkan bagi perusahaan selain bermanfaat bagi para karyawan.

BIAYA Yang Timbul Akibat Masalah K3

Para ahli sering menggambarkan ongkos-ongkos atau biaya-biaya akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja sebagai suatu gunung es: yang terlihat hanya sebagian kecil dari akibat yang sebenarnya.

Biaya yang terlihat langsung misalnya adalah biaya pengobatan (atau penguburan!), biaya perbaikan dari fasilitas yang rusak dan upah yang dibayarkan kepada pekerja selama dia (korban kecelakaan kerja) belum dapat bekerja kembali.

Di sisi lain, biaya-biaya yang lebih bersifat tidak langsung, dan karenanya sering “tersembunyi” sebenarnya dapat jauh lebih besar, misalnya:

  • waktu produksi yang hilang pada pekerja yang mengalami kecelakaan kerja maupun pada rekan-rekan kerjanya.
  • penurunan produktivitas atau efisiensi kerja selama pekerja belum benar-benar pulih dari suatu kecelakaan kerja (ataupun karena penyakit akibat kerja)
  • biaya akibat penurunan kualitas kerja atau peningkatan persentase produk cacat selama pekerja belum benar-benar pulih dari suatu kecelakaan kerja ataupun karena penyakit akibat kerja
  • waktu produksi yang hilang karena supervisi dan audit atau penelitian mengenai penyebab kecelakaan yang terjadi
  • kerugian ekonomi pada keluarga korban kecelakaan kerja
  • biaya-biaya untuk perekrutan tenaga kerja baru (yang bukan hanya biaya perekrutan as such, tetapi juga meliputi biaya-biaya yang berkaitan dengan­nya, misalnya biaya pelatihan, biaya bahan baku, persentase produk cacat yang tinggi selama masa pelatihan, dan lainnya)
  • kerugian karena pekerja yang belum benar-benar pulih dari suatu kecelakaan kerja ataupun karena penyakit akibat kerja harus mengalami “down grade” karena tidak dapat lagi bekerja pada pekerjaan yang sebelumnya dia lakukan
  • kerugian waktu selama mesin/peralatan tidak dapat dipergunakan
  • overhead cost ketika pekerjaan terganggu
  • peningkatan biaya premi asuransi untuk tenaga kerja
  • penurunan volume produksi
  • denda atas keterlambatan atau kegagalan untuk memenuhi pesanan
  • biaya perbaikan dan penanggulangan kebocoran cairan kimia, kebakaran, explossive dan sebagainya.
  • Dan lain-lain biaya yang timbul, antara lain misalnya akibat psikologis bagi korban kecelakaan kerja maupun bagi rekan-rekannya (yang antara lain akan dapat berpengaruh pada kecepatan kerja), serta terganggunya image/nama baik perusahaan.[4]

Tuh, ‘kan, ternyata banyak sekali manfaat program peningkatan K3 di perusahaan, yang berupa penghematan-penghematan berkat tidak jadi timbulnya biaya-biaya seperti yang dipaparkan di atas.

Nah Om-G yakin sekali, dengan seyakin-yakinnya, bahwa bila Om dan Tante sudah menghitung manfaat-manfaat ini dengan benar, maka ongkos-ongkos penerapan program peningkatan K3 akan menjadi terasa kecil dibandingkan dengan manfaatnnya.

Kalau masih penasaran, manfaat-manfaat program peningkatan K3 ini bisa dikuantifikasikan kok... Bagaimana caranya? Karena tulisan ini agaknya sudah cukup panjang, Om-G akan lanjutkan pada tulisan di Kompasiana.com/Om-G juga, yang berjudul “Pengkuantifikasian Manfaat Upaya Peningkatan Kondisi K3ya... Mudah-mudahan hari ini juga tulisannya selesai dan diupload.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun