Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Peningkatan Produktivitas = PHK Karyawan?

15 Juni 2015   16:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:02 4984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi - PHK (Shutterstock)

Logikanya begini: Misalnya jumlah karyawan tadinya 250 orang dengan volume produksi 10 ribu pcs per hari atau 40 pcs/karyawan/hari. Bila misalnya produktivitas naik 25% (menjadi 50 pcs/karyawan/hari), maka untuk menghasilkan 10 ribu pcs per hari akan diperlukan hanya 200 orang pekerja saja. Jadi, bagaimana dengan kelebihan yang 50 orang, PHK? “Ya iya dong!” kata Pak Boss.

Eh, tepat tidak ya, tindakan itu? “Ya iya lah, kalau yang 50 orang tetap dipertahankan, percuma dong ada peningkatan produktivitas, justru penghematannya ya dari gaji 50 orang tadi itu,” Pak Boss keukeuh pada pendapatnya.

Yakin mau seperti itu, Pak Boss? Coba kita pikirkan lagi baik-baik:

  • Pertama: kalau ada PHK, berapa pesangon yang harus dikeluarkan?
  • Ke-dua: kalau sekarang ada kenaikan produktivitas kemudian diikuti oleh PHK, lalu kalau pada saat yang akan datang Pak Boss mengajak mereka untuk meningkatkan lagi produktivitas perusahaan, kira-kira akan diturut nggak ya?
  • Ke-tiga: akan ada berapa orang yang merasa dizalimi dan merasa sakit hati kepada perusahaan (dan kepada Pak Boss) gara-gara dia atau saudaranya atau teman akrabnya di-PHK?
  • [Ke-empat: Di antara sekian orang yang merasa dizalimi karena di-PHK, akan ada berapa orang yang mendoakan hal yang jelek-jelek tentang Pak Boss. (Ingat lho, kata Pak Ustadz ‘kan, doa orang yang dizalimi akan dikabulkan oleh Tuhan...)].
  • [Dll., dsb., dst.].

 

Menurut Om-G mah kita bisa memanfaatkan produktivitas tadi tanpa mem-PHK karyawan. Lalu what can we do, atau what should we do, atuh? Om-G yakin bahwa Pak Boss orangnya pintar dan banyak akal. Sok atuh dipikirkan lagi dengan baik dan saksama...

Coba kita berpikir secara optimistik. Pada contoh di atas, alih-alih kita mem-PHK karyawan untuk menghasilkan volume produksi 10 ribu pcs per hari, bagaimana kalau kita tetap mempertahankan 250 karyawan kita, dengan memproduksi 12.500 pcs per hari?

Lha bagaimana caranya?

Yé, yang Boss ‘kan situ? Pak Boss dong yang mikir... Tapi Om-G bantuin deh beberapa ide. Bagaimana kalau kita pikirkan kemungkinan untuk perluasan wilayah pemasaran (ke kota lain, ke negara lain...), dan kita jajagi kemungkinan unuk diversifikasi produk, misalnya...

Ada sebuah true story, tapi di sini disamarkan saja ya, termasuk jenis produk tidak usah disebut; juga volume produksi dan jumlah karyawan anggap saja sama dengan contoh di atas.

Di perusahaan itu, mereka memilih tidak mem-PHK karyawan, tetapi sejumlah 50 orang yang “berlebih” itu ditugasi untuk menjadi “petugas penjualan langsung” (tentu sebelumnya ada proses seleksi, pelatihan dan sebagainya), yaitu dengan menawarkan produk mereka ke warung-warung (yang selama ini belum tersentuh oleh petugas marketing) dan juga menawarkan langsung kepada masyarakat (a.k.a pedagang asongan, tapi mereka mah tetap digaji oleh perusahaan...).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun