Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Panas di Tempat Kerja? Gak Masalah, Karyawan Saya “Orang Lokal” kok...

28 Mei 2015   01:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:31 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Om-G: Seri Ergonomi Terapan, K3, Produktivitas, 28 Mei 2015, 10)

Pernah ngalamin AC mati padahal jendela gak bisa dibuka? Om-G mah pernah, waktu itu ceritanya se­­dang naik bis AC. Heu... kebayang ‘kan? Gak tahan banget deh! Setelah menahan diri beberapa lama, akhirnya para penumpang bis beramai-ramai turun sambil ngedumel...

Bagaimana kalau kita adalah karyawan pabrik, dan bekerja di pabrik beratap seng? Beberapa tahun yang lalu Om-G pernah iseng mengukur temperatur di ruang kerja pabrik di beberapa perusahaan di Jabodetabekdung (“Dung” nya apaan, Om-G? Halah, masa gitu aja nggak ketebak, Om-G ‘kan orang Bandung, “dung” nya pasti dari kata “Bandung” lah...). Ternyata, temperatur di ruang kerja pabrik di bawah atap seng itu, waktu itu, berkisar antara 38-40 derajat Celcius.

Panas nggak? Ya panas lah... Bagaimana buat para karyawan di situ? Apalagi buat mereka!!! Om-G ‘kan “panas-panasan” nya sejam pun kurang (karena cepet-cepet ngacir ke kantornya Pak Dirut, ngadem deh di situ...). Lha mereka mah delapan jam sehari ”dipanasin” kayak gitu!

Ah, karyawan kami mah “orang lokal” kok, Om-G. Buat mereka mah panas segitu gak ngaruh!

Eh siapa bilang? Sudah pernah diteliti belum, bahwa buat mereka nggak berpengaruh?

Bagaimana caranya? Kasitau dong, Om-G...

Baik... baik... Karena di menit ini Om-G kebetulan sedang baik hati (dan tidak sombong, hehehe, kayak di lagu apa tuh? Lupa lagi euy...), Om-G kasitau deh...

Eh tapi mau pake cara yang mana? Cara yang ribet, pake alat canggih (dan mahal) dan hasilnya lebih akurat, atau pake cara yang gampang saja dan nggak usah pake alat macem-macem? Asumsinya pake cara yang ke dua saja ya? Biar Om dan Tante bisa mencobanya sendiri di pabrik masing-masing. Gpp tidak terlalu akurat juga, ‘kan ini mah bukan buat disertasi, hehehe...

Begini caranya:

·“Ambil” beberapa orang karyawan yang “biasa-biasa saja” dari suatu bagian yang sama (yang biasa mengerjakan pekerjaan yang sama), misalnya 2, 3, 4, 5 orang atau lebih.

·Para responden diminta bekerja di ruang kerja yang biasa (misalnya di ruang yang temperaturnya 40 derajat Celcius tadi).

·Hitung jumlah output yang memenuhi spec dan jumlah produk yang mengandung “product defect” (gampangannya: hitung jumlah produk bagus dan produk jelek) per jam yang dihasilkan oleh masing-masing orang, selama jam kerjanya. Jadi kalau mereka bekerja 7 jam sehari (8 jam dikurangi waktu makan siang 1 jam), kita akan punya 7 data per orang per hari.

·Rata-ratakan “prestasi” semua anggota kelompok sehingga kita hanya punya 7 angka per hari. Ukur selama beberapa hari. Rata-ratakan hasil output perjamnya, dan bikin grafiknya.

·Lakukan hal yang sama seperti tadi tetapi dengan temperatur ruang kerja yang berbeda, di ruang ber-AC, misalnya pada 24oC, 28oC, 32oC, dan 36oC, tetapi boleh juga pada temperatur-temperatur yang lain...).

Bagaimana, sudah? Lihat grafiknya, kurang lebih seperti ini, ‘kan?

Dari grafik-grafik tersebut ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan:

·Prosentase product defect (atau jumlah kesalahan), yang merepresentasikan kualitas kerja, makin besar dengan makin tingginya temperatur ruang kerja. [Patut diingat, seperti yang pernah Om-G tulis pada artikel yang lalu, kondisi lingkungan fisik berupa paparan panas ini bisa membuat kita cepat lelah, dan keadaan seperti ini membuat kita cenderung atau lebih mudah melakukan kesalahan yang “menghasilkan” kecelakaan. (Silakan lihat di http://edukasi.kompasiana.com/2015/05/04/human-error-selalu-kesalahan-operator-enak-aja--715891.html )].

·Bahkan pada temperatur panas yang sama, prosentase product defect makin lama makin naik sejalandengan lamanya si operator terpapar panas.

·Produktivitas tenaga kerja (jumlah output bagus yang dihasilkan per jam) makin menurun dengan makin tingginya temperatur ruang kerja.

Nah, bagaimana? Masih keukeuh berpendapat bahwa panas di tempat kerja mah gak masalah, karena karyawan kita “orang lokal” ?

Iya deh... Iya deh... Kita "nyerah" deh, Om-G...

Eh tapi Om-G, itu ‘kan untuk operator pabrik. Bagaimana untuk para karyawan di bagian office? Bagaimana cara mengukurnya? Misalnya untuk para karyawan di bagian accounting, masa diukur dari jumlah lembar yang dihasilkan, sih? ‘Kan yang lebih penting mah kualitas kerja mereka, jangan sampai salah-salah gitu lho... ‘kan “bahaya”? Nah yang ini mah mah cara ngukurnya lain atuh, Om dan Tante...

Bagaimana kalau kita ukur “tingkat konsentrasi” para karyawan di bagian office tadi, ‘kan ini berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan kualitas kerja?

Wah boleh nih, menarik juga... Tapi bagaimana caranya, Om-G? Terangin dong, pliss...

Ceritain jangan ya..? Boljug deh, sama teman ini... Tapi ceritanya panjang lho... Nanti Om-G tulis di artikel berikutnya saja ya, ‘kan artikel ini juga sudah cukup panjang...

Terus, bagaimana menanggulangi paparan panas ini dong, Om-G? Kita ‘kan ingin produktivitas yang tinggi? Kalau bisa caranya jangan cuma tentang pake AC ya, ‘kan mahal banget kalau buat pabrik, jangan-jangan malah menurunkan produktivitas...

Nah yang ini ceritanya malah lebih panjang, dan jangan kuatir: ada banyak banget cara untuk ini, bukan cuma pakai AC [yang memang bisa jadi, kalau tidak “hati-hati”, memang bisa saja menurunkan produktivitas. Ingat bahwa Produktivitas = Output / Input, sehingga kalau penambahan input lebih besar dari penambahan output, maka besaran Produktivitas akan mengecil...]. Nanti Om-G tulis di artikel berikutnya juga deh, ok?

Berikutnya, yang diceritain Om-G tadi ‘kan tentang temperatur ruang kerja yang panas; bagaimana kalau temperaturnya malah dingin, seperti di Freeport sana? Atau juga untuk yang bekerja di cold storage, di mana mereka pada hari yang sama bekerja di tempat dingin―panas-dingin-panas-dingin-panas dst. Ceritain juga ya, Om-G...

Heu... udah dibilangin bahwa Om-G udah kepanjangan nulisnya. Tapi tenang, di lab nya Om-G, kami punya kok “ruang iklim” (climatic chamber) yang bisa disetel temperaturnya, dari minus 38oC sampai plus 50oC, jadi bisa dipakai untuk menyimulasikan perbedaan temperatur-temperatur ekstrim tersebut.

Sekian dulu dari Om-G ya... Bonne nuit.

(Kompasiana.com/Om-G).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun