Sunda Kepala atau Jakarta memang dikenal sebagai daerah eksotis. Masa kerajaan-kerajaan Nusantara, Sunda Kelapa termasuk wilayah Pajajaran dan takluk atas Demak sehingga diberi nama Jayakarta yang berarti “kemenangan”. Tak sampai situ, Belanda menguasai Jawa dan pulau-pulau lain di Nusantara (wilayah kekuasaan Majapahit), Jayakarta diganti nama menjadi Batavia. Seiring berjalannya waktu manakala kemerdekaan Indonesia berhasil diproklamirkan Batavia akhirnya diberi nama Jakarta hingga sekarang.
Wilayah strategis sebagai jalur perdagangan membuat Sunda Kelapa terbiasa diperebutkan. Dalam novel “Arus Balik” gubahan Pramoedya Ananta Tour misalnya, digambarkan sungai Ciliwung termasuk salah satu komoditas tinggi bagi kerajaan-kerajaan yang hendak menambah pundi-pundi kekayaan. Melalui Ciliwung itulah efektifitas pengiriman barang dapat tersalurkan dengan cepat.
Berhubung zaman sudah mengalami pergeseran di mana kerajaan-kerajaan telah runtuh, hal itu tidak menyurutkan Jakarta sebagai primadona, akan tetapi Jakarta masih tetap menjadi komoditas yang layak digandrungi masyarakat pada umumnya.
Semakin bertambahnya penduduk Jakarta yang berasal dari daerah lain menjadi bukti harapan tinggi masyarakat. Tidak peduli kesadaran masyarakat datang ke Jakarta sekadar melanjutkan jenjang pendidikan ataupun guna mengadu nasib dalam takaran memperbaiki kehidupan. Pelbagai alasan itulah yang sekiranya mendasari masyarakat rela meninggalkan daerahnya untuk melanjutkan kehidupan di Jakarta.
Bejibunnya penduduk Jakarta ini dikemudian hari menjadi polemik tersendiri. Lapangan kerja yang tersedia tidak mampu mencukupi harapan. Hasilnya, ketimpangan sosial semakin melebar dan menjadi beban bagi pemerintah setempat. Belum lagi masalah kebersihan, banjir, transportasi hingga korupnya pejabat pemerintah seolah menambah beban terseok-seoknya Jakarta menuju kota modern.
Saya teringat bagaimana kondisi Jakarta dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta dalam proses melanjutkan jenjang pendidikan. Kondisinya tidak jauh lebih memprihatinkan ketimbang kota lain. Kopaja (angkutan umum) yang menghubungkan terminal satu dengan terminal lain Nampak using, tiap tikungan jalan raya soalah-olah menyemburkan asap hitam legam, tampilannya pun lebih buruk dibanding angkutan umum kota kecil di pojok Jawa Tengah.
Saat musim hujan lebat di jalan-jalan protokol Jakarta sering tergenang air, itu belum termasuk daratan rendah padat penduduk yang bisa tergenang banjir hingga berhari-hari. Belum lagi pejabat setempat yang acapkali korup dan mempersulit birokrasi semacam Surat Keterangan Domisili dan lain sebagainya.
Kebersihan tempat tinggal manakala sampah menjadikan aliran sungai kecil tersumbat dan tidak bisa mengalir dengan baik juga pemandangan yang kerap ditampilkan Jakarta. Terlebih daerah pantaran sungai Ciliwung yang sarat akan cerita kejayaan silam itu menjadi sarang tikus-tikus gemuk dan terkenal sebagai kawasan kumuh dalam rentan waktu yang cukup lama.
Sekarang, setelah kesuraman yang tidak diketahui kapan mulanya menimpa Jakarta, agaknya ada angin segar pemerintah yang terpilih serius membenahi tatanan Ibukota. Sudah jarang di televisi memberitakan banjir, pasukan orange yang setiap saat membersihkan gorong-gorong juga bertindak sigap menjadikan Jakarta bersih. Sungai ciliwung yang penuh sampah dan tidak terawat, sedikit demi sedikit terlihat indah dipandang mata.
Pelayanan pemerintah untuk kemaslahatan nampak memadai dengan dikeluarkannya Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar serta kemudahan-kemudahan birokrasi di instansi pemerintah. Transportasi umum yang mulai membaik juga bisa diukur dengan mudah sekarang ini. Keterbukaan informasi sesuatu yang mampu diakses dengan mudah sehingga pelanggaran sekecil apapun bisa dikritisi khalayak.
Semoga Jakarta mampu mengalami arus balik yang positif dalam membenahi kekurangan-kekurangannya. Setelah sekian lama preseden buruk melekat untuk Jakarta bagi masyarakat pada umumnya.