Perkasanya "Greenback" (Baca - Dollar US) terhadap Rupiah sampai saat ini, tidak terlepas dari fundament dalam negeri lewat kebijakan moneter dan ekonomi yang terlihat belum mumpuni untuk memperkuat nilai tukar Rupiah.
Hal ini pasti akan memicu ketar ketirnya perbankan nasional, disebabkan "Stress Test Anlisa Mengantisipasi Pelemahan Rupiah" yang dilakukan BI, OJK dan BEI beberapa waktu lalu, hanya mampu bertahan pada level Rp 16.000 per Dollar US.
Jika depresiasi Rupiah masih bertahan di angka Rp 14.000 per Dollar US, masih merupakan angka aman bagi perbankan nasional.
Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan hingga akhir Januari 2015 tercatat sebesar 21,01 persen, naik dibandingkan Desember 2014 yang mencapai 19,57 persen.
Peningkatan tersebut disebabkan oleh membesarnya jumlah laba yang ditahan oleh bank. Rasio tersebut juga dinilai masih jauh lebih tinggi dari batas normal yang sebesar 14 persen.
Yang ditakutkan saat terjadinya depresiasi Rupiah terhadap Dollar US menembus harga Rp 15.000 per Dollar US, dan dapat dipastikan permodalan 1 hingga 5 bank nasional kemungkinan bakalan terguncang.
Maka, kondisi tersebut akan mengganggu stabilitas makro ekonomi. Variabel pertumbuhan ekonomi dinilai akan mengalami penurunan, mengikuti pelemahan Rupiah.
Pelemahan Rupiah juga akan mendorong peningkatan rasio kredit bermasalah (NPL - Non Performing Loan) dan sebagian besar indikator ekonomi makro.
Sebagai rakyat kecil, yang hanya melihat dan mengamati, saya berharap semoga depresiasi Rupiah tidak berkepanjangan, namun semakin menguat.
Hal ini tentu harus ditunjang dengan kebijakan moneter yang dapat menaikan stabilitas ekonomi makro, sehingga dampaknya tidak akan dirasakan masyarakat luas.
Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus.