Mohon tunggu...
OlIvio NIM 55522120021
OlIvio NIM 55522120021 Mohon Tunggu... Konsultan - OlIvioTritusia Asmoro - Mahasiswi S2 Mercubuana

Kampus UMB Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak Jurusan Magister Akuntansi Mata Kuliah Perpajakan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

CPMK 1_Diskursus Tentang Perpajakan Internasional dan Yuridiksi Pemajakan_Kuiz TM 1_Prof Apollo

14 September 2024   10:21 Diperbarui: 14 September 2024   10:25 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pajak menurut definisinya merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sedangkan menurut definisinya fikih muamalah adalah hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam hal keduniaan. Fikih muamalah bertujuan untuk: Menjaga hak-hak manusia, Mewujudkan keadilan dan persamaan di masyarakat, Menjauhkan kemudaratan.

Fikih muamalah mencakup berbagai masalah, seperti: Transaksi perdagangan, Penentuan kejahatan dan sanksi, Pengaturan perang dan perjanjian, Perusahaan.

Prinsip-prinsip yang melandasi fiqih muamalah, antara lain:

  • Prinsip mubah
  • Prinsip suka sama suka
  • Prinsip keadilan
  • Prinsip saling menguntungkan
  • Prinsip tolong menolong
  • Prinsip tertulis

Lantas apakah ada keterkaitannya antara pemungutan pajak ini dengan prinsip fikih muamalah? Tentu saja ada. Apabila dilihat dari definisinya pajak merupakah kewajiban warga negara untuk menyetorkan sebagian dari kekayaannya yang diperolehnya secara legal kepada negara. Semakin banyak kekayaaan yang warga negara miliki, maka akan semakin besar pula kewajibanya tersebut kepada negara. Namun jika dilihat dari sudut pandang sebagai wajib pajak yang harus merelakan kekayaaannya tersebut dirasa tidak adil karena wajib pajak tersebut memperoleh kekayaannya dengan cara yang legal dan tidak melanggar undang undang. 

Meskipun hasil dari pemungutan pajak tersebut digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yang tentunya dapat dinikmati oleh semua kalangan. Hal tersebut akan memicu adanya ketidakadilan dan tidak sesuai dengan prinsip fiqih muamalah yaitu prinsip keadilan dan prinsip suka sama suka. 

Namun jika dilihat secara fungsi dan kebijakannya pajak tersebut sebenarnnya sesuai konsepnya dengan yang tertuang pada prinsip tolong menolong dan saling menguntungkan. Dimana menurut pemerintah dari sisi fiskus pemungutan pajak yang besar terhadap wajib pajak yang memilik kekayaan berlebih dapat digunakan untuk pembangunan negara yang nantinya dapat digunakan untuk semua kalangan masyarakat baik kalangan yang tidak mampu sampai dengan yang berlebih kekayaaannya.

Dalam tasawuf, maqom tajrid dan maqom asbab adalah dua posisi yang berbeda, yaitu maqom tajrid untuk ibadah dan maqom asbab untuk bekerja.

Berikut penjelasannya:

  • Maqom tajrid: Maqom tajrid berarti posisi untuk ibadah seperti manusia langit. Kata tajrid berasal dari bahasa Arab yang berarti penanggalan, pelepasan, atau pemurnian. Secara maknawi, tajrid berarti penanggalan aspek-aspek dunia dari jiwa (nafs).
  • Maqom asbab: Maqom asbab berarti posisi untuk bekerja seperti manusia bumi.

Maqom dalam tasawuf juga dapat diartikan sebagai tingkatan seorang hamba di hadapan Allah. Maqom ini bisa diraih melalui usaha atau latihan, seperti riyadhah, ibadah, dan mujahadah.

Keterkaitannya dengan pemungutan pajak ini apabila dilihat dari sudut pandang pemerintah sebagai pihak pemungut maka dapat digambarkan seperti maqom tajrid dan wajib pajak sebagai maqom asbab. Mengapa demikian? Hal tersebut dapat dilihat sebagaimana pemerintah menggunakan konsep tolong menolong antar wajib pajak yang kekurangan terhadap wajib pajak yang memiliki kekayaan yang berlebih agar dapat menikmati fasilitas public secara bersamaan. Yang mana fasilitas tersebut dapat dibangun dengan hasil pungutan pajak.

Perbedaan Model Fiksal/ Ekonomi SBS (Sains Barat Sekuler) dengan Model Fiksal/Ekonomi Syariah terletak pada tujuan dan Anggaran Pendapatan Belanjan Negara dalam perolehannya. Manajemen kebijakan fiskalnya dalam Islam negara berhak menarik pajak dan disalurkan kembali berupa fasilitas dari pajak secara berlebihan dan hanya dalam rangka tugas pemerintahan. Demikian pula negara dapat mengelola dan menyalurkan  zakat, sehingga dengan demikian negara dapat berperan sebagai agen yang efektif yang mampu menerapkan aturan-aturan dalam Al-Quran dan Al-Hadis serta pendapat ulama yang berhubungan dengan prisnsip-prinsip distribusi pendapatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun