Saat malam tiba, aku terlelap tidur di kamar ku sampai aku mendengar suara senapan, seorang pekerja ayahku berlari masuk ke dalam kamar tidurku, ia segera menarik aku sambil berbisik bahwa Belanda telah memasuki Istana, ia berkata bahwa aku harus segera pergi ke tempat persembunyian keluarga ku. Saat aku sedang berlari aku melihat mayat -- mayat di lorong, aku segera berlari, saat sampai di tempat tersebut aku melihar ibuku dan ayahku yang duduk bersebelahan dengan muka khawatir saling menatap satu sama lain.Â
Pintu masuk ke dalam ruangan tersebut telah dikunci dari dalam dan kami hanya bisa menunggu. Suara teriakan dalam bahasa Belanda yang memberi perintah terdengar di luar pintu tersebut terdengar dengan jelas, dan terus bertambah jelas, seperti suara tersebut datang mendekati kami, akhirnya kami mendengar suara tersebut tepat di luar pintu, para tentara Belanda mencoba menendang pintu, sampai akhirnya mereka berhasil. Aku dan keluarga ku saling memandang satu sama lain dengan wajah takut.Â
Para tentara Belanda menembakan senjata mereka aku melihat peluru masuk ke dalam tubuh ayah dan ibuku. Aku merasakan sakit di bagian dadaku, saat aku melihat darah meresap ke bajuku aku tau bahwa aku telah tertembak. Aku terjatuh ke lantai, aku tersenyum karena aku telah membangkitkan semangat perlawanan di daerahku, walaupun itu hanya sedikit harapan, hal tersebut dapat membuat perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H