Dalam sistim politik Indonesia, Partai politik adalah alat demokrasi yang legal dan konstitusional untuk meraih kekuasaan. Inti dasar dari demokrasi yang kita anut adalah “banyak-banyakan suara”. Karena banyak-banyakan suara, maka mekanisme seleksi dan rekruitmen kader partai politik menjadi lemah dan tidak bisa selektif serta obyektif.
Syarat para calon penguasa untuk bergabung dalam partai politik seperti tidak tercela, bersih, sehat jiwanya, menjadi tidak penting. Paling penting adalah calon kader tersebut punya potensi basis masa dan uang yang cukup.
Karena mekanisme seleksi yang lemah dan mudah tersebut, maka Partai politik menjadi seperti magnet. Menarik bagi siapa saja mulai dari pengangguran, mantan narapidana, mantan pejabat hingga pengusaha kakap dan orang baik-baik dengan berbagai macam motivasinya. Konsekuensinya, didalam setiap parpol pasti selalu ada kader-kader yang imut, lucu dan menggemaskan.
Peran kader imut, lucu dan menggemaskan dalam konflik Golkar
Berbagai artikel tentang konflik Golkar telah banyak ditulis dengan ulasan-ulasan yang menarik. Selain ARB dan AL sebagai aktor utama rebutan kekuasaan, ada pemeran pembantu yang sangat mewarnai konflik hingga penyelesainnya yaitu Nurdin Khalid dan Yorris Raweyai.
Kilas balik, sumber konflik. Didalam tubuh partai Golkar ada dua kelompok besar yaitu Kubu Pragmatis, oportunis dan kubu idealis, ideologis. Siapa yang berkonflik? Apakah kedua kelompok tersebut? Jawabnya TIDAK. Yang berkonflik adalah faksi-faksi dalam kelompok pragmatis oportunis. Pengurus hasil Munas Bali vs kader Golkar tidak diakomodir dalam kepengurusan DPP.
Walaupun ada kekecewaan terhadap kegagalan kepemimpinan ARB, cara-cara yang tidak fair pada kompetisi Caketum di Munas Bali serta pemecatan terhadap Nusron Wahid, Poempida H, Agus Gumiwang yang mbalelo mendukung Jokowi-JK. Akan tetapi hal itu bukan pemicu utama konflik. Untuk pemecatan, mereka lebih memilih penyelesaian melalui jalur pengadilan dan mahkamah partai.
Melihat konflik yang melanda partai Golkar, kelompok idealis ideologis hanya prihatin dan menyayangkan mengapa harus terjadi. Dan menginginkan konflik segera selesai dengan cara apapun. Terserah mau melalui Munasus, Munaslub, Munas Rekonsiliasi atau cukup hompipah saja. Seperti Nusron Wahid yang permintaannya sederhana. Jika dilaksanakan munaslub kembalikan statusnya sebagai kader Golkar.
Trois Mousquetaires, Yorrys Raweyai, Priyo Budi Santoso dan Agung Laksono
Yorrys Raweyai, Priyo Budi Santoso dan Agung Laksono. Merasa senasib tidak terpilih menjadi anggota DPR, merasa senasib tidak masuk dalam kepengurusan versi Munas Bali. Bagaimanapun sebelumnya mereka merasa adalah orang-orang penting yang lalu lalang di layar kaca televisi tiba-tiba menjadi bukan siapa-siapa. Meminjam istilah Asaaro Lahagu sepertinya mereka histeris, harga diri mereka tercabik-cabik, tersayat-sayat oleh samurai ARB… ^_^. Dan lahirlah Munas Ancol.
ARB sadar, ksatria Yorrys adalah yang paling merepotkan. Kekuatan utama untuk menunjukkan eksistensi kubu AL adalah Yorrys Raweyai sebagai pendobrak dengan caranya yang represif. Yorrys yang sebelumnya selalu tampil garang beradu argumentasi dengan Nurdin Khalid. Gagah berani di garda terdepan bak panglima perang menduduki kantor DPP Partai Golkar, tiba-tiba berubah haluan menjadi bocah brewok yang imut, sangat jinak dan lemah lembut. Kata Yorris sih visinya gak sepaham lagi dengan AL. ^_^