Baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah peradaban umat manusia, sebuah ayat Alquran yang diucapkan seorang manusia menjadi bahan perbincangan yang mendunia dan menjadi polemik perdebatan seakan-akan tak akan ada ujungnya.
Jika diikuti perdebatan serta dampak negatif gonjang-ganjing kasus ayat Al Maidah 51 dan Ahok yang melebar kemana-mana, sangat menjemukan & melelahkan.
Miris, kita saksikan tingkah polah, akrobat, kedzoliman manusia-manusia berdarah dingin yang menari-nari diatas penderitaan orang lain. Dalam upaya memuaskan syahwat politiknya, dengan sadis memperalat manusia untuk menjatuhkan manusia yang lain. Tidak perlu kecerdasan setingkat Habibie untuk menyimpulkan bahwa semua itu murni politik.
Namun, jika kita menyadari bahwa perkara sekecil apapun tidak akan mungkin terjadi tanpa Kehendak dan Kuasa-Nya, sepertinya kita perlu berterima kasih kepada MUI & Buni Yani. Karena mereka kita belajar. Saya jadi teringat yang disampaikan dr. Zakir Naik bahwa “Qur’an is a book of Signs bukan book of Science”.
Al Quran berisi tentang ajaran, sejarah dan ilmu pengetahuan untuk seluruh umat manusia. Karena keterbatasan akal manusia, beberapa ayat ditafsirkan dan diterjemahkan berbeda. Bahkan seperti ayat-ayat tentang embriologi & terbentuknya alam semesta, secara ilmu pengetahuan penafsiran makna, maksud & kebenarannya baru diketahui setelah sekian ratus tahun kemudian. Itupun bukan ulama ahli tafsir yang menemukan kebenarannya.
Peristiwa Al Maidah 51 yang menimpa Ahok, jika kita melihatnya dari sudut pandang yang positif, maka betapa polemik tersebut memberikan manfaat yang tidak kecil bagi umat Islam dan bangsa Indonesia.
Dengan akal dan nalar yang sehat, kita dapat mengambil hikmah dan manfaat positif. Antara lain :
Pertama, Anies & Agus adalah calon-calon penegak konstitusi. Reaksi dan tanggapan mereka menyadarkan publik akan kualitas kenegarawanan, nasionalisme, patriotisme & leadership mereka. “Oh, cuma segitu”.
Bukannya sedih & sadar bahwa ada yang jauh lebih berharga sedang dipertaruhkan daripada sekedar jabatan gubernur. NKRI berdiri karena darah & nyawa para pahlawan tanpa melihat suku, ras & agama. Tidak ada minoritas tidak ada mayoritas. Mereka tulus ikhlas bahu-membahu menyabung nyawa demi kemerdekaan anak, cucu, cicitnya.
Jiwa nasionalisme & patriotisme kakeknya yang pahlawan, sama sekali tidak membekas pada diri Anies. Pendidikan bela negara yang dienyam Agus selama di pendidikan militerpun luntur hanya karena keinginan sekedar bisa duduk di kursi balaikota.
Dengan intelektualitas Anies & Agus, mereka sebenarnya sangat paham ada penumpang gelap yang sedang mengail diair keruh memanfaatkan situasi untuk mengeliminasi Ahok dengan cara tak beradab. Sayangnya, melihat sikap Anies & Agus, sepertinya mereka sangat menikmati irama sumbang dan tidak merasa risi. Mereka lebih takut konstituen daripada menegakkan konstitusi.
Walhasil, bisa kita bayangkan bagaimana kelak seandainya salah satu dari mereka menjabat. Jangankan menghadapi buasnya mafia, preman & oknum birokrat ibu kota, menyikapi FPI & demo bayaran saja mereka ikut arus tak berdaya.
Kedua, بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari). Adanya perbedaan terjemahan satu ayat menjadi sangat penting untuk disimpulkan mana yang benar agar tidak menyesatkan. Bisa jadi dua-duanya benar. Yang keliru adalah penggunaan ayat tersebut karena tidak sesuai ‘konteks’. Ayat-ayat yang berkaitan dengan sejarah perang semestinya tidak bisa diambil hanya satu ayat saja. Apalagi untuk tujuan politis yang dilandasi dengan kebencian.
Demi kepentingan sesaat, jika hanya satu-satu ayat yang dipakai maka beberapa ayat bisa membingungkan bahkan bisa dipahami bertentangan. Seperti contoh : QS. Al Maidah: 51 dengan QS. Al Baqarah: 62 dan QS. Al Maidah: 69. Jawaban ulama MUI pasti harus dilihat asbabun nuzulnya. "Lah tapi kenapa Al Maidah 51 tidak?"
Logika orang awam, ibarat “kultwit” harus dilihat ‘konteks’, tidak dapat diambil satu “twit” saja. ^_^
Ketiga, Umat muslim diseluruh Indonesia yang menyimak Pilkada DKI otomatis membaca Al Maidah 51. Bagi yang tulus membaca dan mencari tahu kebenaran ‘konteks’ mengapa ayat tersebut diturunkan, mereka mendapat ilmu dan pahala.
Tapi tidak bagi yang googling semata-mata mencari pembenaran “Wah, ayat ini pas untuk Ahok”. Golongan ini akan semakin tersesat dan berdosa karena mengeksploitasi ayat suci untuk tujuan yang tidak semestinya.
Keempat, Masyarakat yang tadinya abai dan mengira MUI lembaga negara, jadi paham apa itu MUI. “Oh, cuma LSM to”. Masyarakat jadi tahu ulama-ulama seperti apa yang mendominasi serta menguasainya. Kalau tugas pokoknya menyertifikasi halal, sangat tidak pas mestinya menjadi ranah lembaga pemerintah.
Kelima, Islam adalah agama yang logis. Menjadi aneh jika MUI sebagai representasi ulama yang harus ditaati, ternyata fatwanya membuat kita mengernyitkan dahi. “Masa gua yang bego sih?” Sudah saatnya MUI produk ORBA dievaluasi keberadaannya.
Keenam, Dari dampak & peristiwa yang di desain pasca fatwa MUI dan ILC TV One, merupakan warning bagi pemerintah. Adanya paham radikal & intoleran yang tak segan memperalat masyarakat. Mudahnya masyarakat dipengaruhi & dimobilisasi, artinya kurikulum pendidikan kebangsaan & pemahaman agama, ada yang kurang dan perlu dibenahi.
Kebodohan yang terus-menerus dieksploitasi akan menjadi bibit-bibit bahaya laten radikalisme dan keutuhan NKRI.
Ketujuh, Merujuk pada Ali Imron 187 & 199, kita jadi tahu jenis ulama ternyata ada dua yaitu ulama dunia dan ulama akhirat. “.. pantas saja ulama yang bersorban itu kok tidak memiliki aura keteduhan & menyejukkan seperti Rasulullah tapi malah lebih mirip Abu Jahal”. ^_^
Kedelapan, Seorang yang benar-benar ulama pasti mengetahui tentang prinsip-prinsip ajaran Islam.
“... Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (5: 8)
Sehingga seseorang yang benar-benar ulama, pasti rendah hati, bijaksana, adil, berpikiran terbuka, toleran, sabar, mengayomi, menyejukkan, mencerahkan, tidak merasa paling benar sendiri, menyerukan persatuan umat untuk tujuan kebaikan, menyerukan perilaku Islami dan lain-lainnya.
Adanya ketidak puasan publik atas fatwa MUI yang tidak adil, Tengku Zulkarnain & Ma’ruf Amin malah bereaksi tidak semestinya. Bahkan Tengku Zulkarnain lebih heboh lagi dengan twit-twit nya yang provokatif seperti ABG bermedsos. Maaf, menurut saya tidak pantas menyandang gelar KH didepan namanya.
Wahai yang mulia ULAMA, sebenarnya ada apa AMALU?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H