Diawal pemerintahan Jokowi lumayan terganggu justru oleh intrik oknum PDIP sebagai partai pendukungnya. Yang seharusnya mereka tanpa reserve mendukung sepenuhnya cita-cita dan mimpi mulia Jokowi.
Reshufle Jilid 1 sebagai langkah akomodatif untuk meredam ulah oknum PDIP. Jokowi memasukkan Rizal Ramli yang dikenal sangat dekat dengan Megawati ternyata justru menjadi blunder. Jokowi malahan tidak saja diserang KMP, manuver serta ulah oknum elit PDIP yang tidak berubah dan bahkan berulangkali dipermalukan RR yang nota bene adalah pembantunya.
Beruntung Jokowi dapat segera keluar dari ujian pertama. Dan kemudian bertindak responsif dengan membangun komunikasi dan kekuatan politik bersama Partai Golkar dan partai lain.
Selain PR masalah birokrasi yang belum terpecahkan dan menghambat gerak cepat terealisasinya mimpi infrastruktur Jokowi, serangan politik masih saja berlangsung dan tidak ada henti-hentinya hingga saat ini. Serangan politik berasal dari kalangan gagal move on serta tokoh-tokoh uzur dan gaek. Bukan melakukan kritik politik yang membangun tapi “nyinyir” politik tanpa solusi dan destruktif.
Mimpi Politik dan Realita Infrastruktur
Politik adalah persepsi. Jokowi yang dikenal “koppig” ingin segera memperlihatkan hasil kerja kabinetnya dan menunjukkan kepada publik bahwa pemerintahan Jokowi-JK telah bekerja dengan sangat cepat. Hal ini dilakukan dalam upaya membangun kepercayaan publik dan image politik yang baik.
Namun antara mimpi politik dan realita infrastruktur tidak bisa selalu seperti yang diharapkan. Infrastruktur adalah “sains” sesuatu yang tingkat kepastiannya terukur dan dapat diukur. Berapa biaya serta waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya.
Peristiwa Tol brexit dan Terminal 3 Bandara Soetta yang menjungkalkan Menteri Jonan adalah sebuah realita infrastruktur. Mimpi politik yang muaranya adalah persepsi publik dapat menjadi blunder dan malah berakhir sebaliknya. Dalam kondisi tertentu mimpi politik tidak bisa dipaksakan sinkron dengan realita infrastruktur.
Sinkronisasi mimpi infrastruktur dan realita politik serta mimpi politik dan realita infrastruktur tidak dapat meninggalkan peran birokrasi. Problem birokrasi yang terlalu birokratis, feodal, tidak inovatif, tanpa terobosan, korup dan lamban harus segera dapat dipecahkan. Walaupun Presiden memiliki dukungan politik dan dana yang cukup, mimpi infrastruktur tidak dapat berjalan tanpa birokrasi sebagai eksekutor lapangan.
Maka dari itu, percepatan infrastruktur harus bebarengan dengan Revolusi Mental. Dalam jangka pendek, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) harus "NGAHOK", yaitu melakukan inovasi, terobosan dan tegas untuk mempersiapkan aparatur birokrasi yang handal dan ideal.
Belajar dari pengalaman, Jokowi sepertinya kini lebih rasional dan realistis. Percepatan infrastruktur dalam rangka membangun “badan” Indonesia membutuhkan stabilitas politik, biaya yang sangat besar dan peran berbagai pihak. Rekonsiliasi nasional di berbagai bidang menjadi sangat penting dan tidak bisa dihindari.