Mohon tunggu...
Olivia Armasi
Olivia Armasi Mohon Tunggu... Mengurus Rumah Tangga -

Peduli politik itu peduli terhadap sesama..... Nulis itu sulit, merangkai kata itu susah.... Mantan pelajar yang sedang belajar membaca, belajar komentar & belajar menulis..

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Birokrasi dan Regulasi Adalah Kendala Target Listrik 35.000 MW

10 Agustus 2016   09:41 Diperbarui: 11 Agustus 2016   18:01 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
indonesiabusiness.net

Presiden RI Joko Widodo menegaskan bahwa proyek 35.000 megawatt yang dikampanyekan selama ini bukan sebatas pada aspek keinginan memenuhi Nawacita, melainkan telah menjadi suatu kebutuhan di negeri ini. (sumber)

Komitmen presiden agar kedepan Indonesia mempunyai daya saing dengan tersedianya energi listrik terdapat beberapa kendala. Disamping kendala modal investasi, kendala terbesar adalah perizinan, komitmen birokrasi dan regulasi. Salah satunya dalam hal pengadaan tanah untuk pembangkit listrik.

Menurut UU no. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum pasal 10. Bahwa pembangunan pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik masuk kategori Kepentingan Umum sehingga pengadaan tanah untuk kegiatan tersebut wajib diselenggarakan oleh pemerintah.

Pemerintahan Jokowi sangat responsif menyikapi mangkraknya pembangunan infrastruktur khususnya pembangunan jalan tol dengan menerbitkan Perpres 30 tahun 2015 perubahan atas perpres 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Namun, terbitnya perpres 30 tahun 2015 tidak serta merta menjadi solusi khususnya bagi Pengadaan tanah untuk kegiatan pembangunan pembangkit listrik khususnya investasi swasta. Kegamangan terjadi di level bawah yaitu tidak semua pemerintah daerah mempunyai anggaran dan prioritas pengadaan tanah untuk pembangunan pembangkit listrik. Hal ini berakibat kegiatan pengadaan tanah dan proses perizinan tahap berikutnya terhenti. Swasta tidak berani membeli/mengadakan tanah, BPN tidak bisa memproses perubahan peruntukan. 

Anehnya kondisi ini tidak serta merta menjadikan kementrian dan lembaga terkait responsif terhadap kendala yang ada. BPN bersikukuh menggunakan perpres 30/2015 sebagai dasar proses pengadaan tanah. Sementara pemerintah daerah enggan menerbitkan surat kuasa pengadaan tanah kepada badan usaha swasta karena akan menjadi beban daerah dikemudian hari.

Realita dilapangan diluar kendala masalah pengadaan tanah, untuk proses perizinan pembangkit listrik oleh swasta yang dimulai dari izin prinsip hingga PPA (Power Purchase Agreement) dengan PLN membutuhkan waktu paling tidak 2 (dua) tahun.

Kesimpulan, walaupun listrik 35.000 MW merupakan kebutuhan seperti yang dicanangkan presiden, listrik 35.000 MW tidak akan pernah bisa terwujud bukan karena kendala modal atau teknologi tapi terkendala perizinan, birokrasi dan regulasi.

Bagaimana solusinya?

Mestinya kementrian dan lembaga terkait membentuk Task Force pembangunan listrik 35.000 MW. Dibawah koordinasi Menko Maritim beranggotakan kementrian ESDM, PU, BPN, PLN, Pemerintah daerah dan lembaga lain yang dianggap perlu, merumuskan regulasi agar kendala diluar modal dan teknologi khususnya perizinan dan pengadaan tanah menjadi sederhana, cepat, efektif dan efisien.

Khusus untuk pengadaan tanah bagi pembangkit listrik. Misal bisa dibuat aturan agar tidak melanggar UU No. 2 tahun 2012 dan Perpres 30 tahun 2015 yaitu Kewajiban pemerintah daerah mengganti pembelian tanah swasta, melalui mekanisme pembayaran bertahap yang bersumber dari kontribusi investor pembangkit listrik. Sehingga pemerintah daerah tidak perlu terbebani dan menganggarkan pembelian tanah melalui APBD.

Pembangunan 35.000 MW tidak akan tercapai tanpa peranserta swasta. Tapi swasta enggan berperan, tanpa ada kejelasan kepastian dan kemudahan berinvestasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun