Mohon tunggu...
Olivia Armasi
Olivia Armasi Mohon Tunggu... Mengurus Rumah Tangga -

Peduli politik itu peduli terhadap sesama..... Nulis itu sulit, merangkai kata itu susah.... Mantan pelajar yang sedang belajar membaca, belajar komentar & belajar menulis..

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Deparpolisasi Sudah Ada Sejak 2009

12 Maret 2016   16:19 Diperbarui: 12 Maret 2016   17:08 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Prasetyo, Jokowi & Ahok (konfrontasi.com) "][/caption]Deparpolisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah mengurangi jumlah partai. Definisi menurut KBBI adalah seleksi alam pengurangan Partai politik melalui Pemilu karena parpol peserta pemilu tidak memenuhi parliamentary treshold (PT) yang ditentukan.

“Deparpolisasi” yang dipopulerkan Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah PDIP DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi mempunyai makna yaitu meniadakan peran partai politik. Yang disebabkan oleh fenomena menguatnya calon kepala daerah melalui independen sebagai jalur alternatif.

Secara substansi, peniadaan peran parpol dalam pemilu sebenarnya sudah ada sejak tahun 2009. Yaitu sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan Uji Materi UU No 10 Tahun 2008 tentang pemilu pasal 214 huruf a, b, c, d, e  yang diajukan oleh Sutjipto, Septi Notariana, dan Jose Dima Satria. MK mengabulkan penetapan caleg untuk pemilu 2009 ditentukan dengan sistem suara terbanyak.

Dengan dikabulkannya uji materi tersebut menyebabkan terjadinya perubahan yang sangat revolusioner pada Pemilu legislatif. Figur menjadi dominan dan sangat penting. Jauh lebih penting dibanding parpol pengusung itu sendiri. Pertimbangan sebagian besar pemilih adalah karena figur bukan parpol. Parpol tidak lebih sekedar tiket. Fenomena Jokowi, Roma Irama sebagai icon untuk mendulang suara parpol, langsung maupun tidak langsung parpol tidak jualan ideologi melainkan jualan figur.

Partai politik bukan lagi merupakan kumpulan warga yang mempunyai ideologi yang sama. Pemilu legislatif bukan lagi pertarungan antar partai politik karena perbedaan ideologi. Pertarungan dan persaingan yang sangat keras antar caleg-caleg justru terjadi diinternal masing-masing parpol.

Praktek sosialisasi dan penggalangan suara Pileg di lapangan. Yang terjadi justru kerjasama diantara parpol yang berbeda. Misal, satu tim sukses menangani pileg dengan paket Caleg DPRRI No. urut 1 Partai A, Caleg DPRD Provinsi No. urut 1 Partai B dan Caleg DPRD Kabupaten/kota No. urut 1 partai C. Praktis dalam pelaksanaan sosialisasi tidak mungkin menonjolkan parpol melainkan nama caleg dan no. urut saja.    

Seandainya partai politik mau mengakui secara jujur selain yang terjadi pada Pemilu legislatif. Dalam Pemilukada, pertimbangan utama mengusung calon kepala daerah karena figur tersebut mempunyai popularitas dan elektabilitas tinggi, bukan pertimbangan karena kesamaan ideologi, sebenarnya parpol sedang men-deparpolisasi dirinya sendiri.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun