IJON menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pembelian padi dan sebagainya sebelum masak dan diambil oleh pembeli sesudah masak. Dalam dunia anggaran baik APBD Kabupaten/Kota, Provinsi bahkan APBN praktek ijon adalah memberikan imbalan kepada penentu anggaran melalui oknum birokrat, oknum anggota DPR atau calo anggaran dengan tujuan anggaran pengadaan barang/jasa yang diminati ditetapkan di APBD/APBN. Praktik Ijon anggaran sudah menjadi kebiasaan bahkan menjadi budaya dan masih berlangsung hingga saat ini.
ORDE BARU ERA UPETI
Pada jaman orde baru tidak dikenal istilah ijon dan hampir tidak ada praktek Ijon yang ada adalah Upeti. Pada masa itu instrumen perencanaan pembangunan masih berjalan. Dimulai dari Musrenbangdes, Musrenbangcam, Murenbangkab dan seterusnya. Dan anggaran masih terpusat belum ada DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus).
Institusi pemerintah yang paling powerfull masa itu adalah Bappeda Kabupaten/Kota, Bappeda Provinsi dan Bappenas. Hegemoni birokrasi masa orde baru sangat kuat, lembaga DPR hanyalah sekedar tukang stempel. Sehingga tidak ada upeti yang diberikan kepada anggota DPR. Yang paling menentukan seseorang mendapatkan proyek bukan semata-mata imbalan uang akan tetapi kedekatan personal/ kemampuan lobbying  pengusaha terhadap pejabat di berbagai tingkatan terutama instansi Dinas PU, Bappeda/Bappenas dan Bupati/Walikota/Gubernur.
Tidak semua pengusaha bisa melakukan pendekatan kepada penguasa. Salah satu upaya pengusaha agar bisa dekat dengan penguasa/pejabat adalah aktif di Golkar atau di organisasi sayapnya. Pada saat itu pengurus golkar di berbagai tingkatan adalah pejabat pemerintah.
Pada masa orde baru Bupati/Walikota/Gubernur berasal dari birokrat aktif atau TNI/Polri Aktif. Setelah habis masa jabatan sebagai kepala daerah masih memungkinkan meneruskan karir di tingkatan berikutnya. Kepala daerah bersama DPRD hanya mengelola PAD (Pendapatan Asli Daerah). Disamping kondisi anggaran terpusat, hanya mengelola PAD dan kepala daerah masih berharap jenjang karir berikutnya, maka sangat minim sekali terjadi korupsi anggaran.
Masa orde baru, setoran/ UPETI diberikan pengusaha/kontraktor atau penyedia barang setelah menyelesaikan pekerjaannya. Di tahun 90-an upeti sebesar 7% langsung disetor sebagai sumbangan pengembangan industri pesawat terbang nasional (Nurtanio). Upeti sebagai ucapan terima kasih kepada pimpro, pejabat dan kepala daerah fleksibel tidak ditentukan besaran prosentasenya.
Penyalahgunaan wewenang paling menyolok pada masa orde baru adalah Insider Trading yaitu pejabat pemerintah yang juga memiliki perusahaan kontraktor. Istilah sekarang dikenal dengan nama PENG-PENG bukan Pengusaha yang menjadi Penguasa akan tetapi Penguasa yang nyambi Pengusaha. Yang otomatis selalu selangkah didepan dibanding pengusaha murni, karena pejabat tersebut mengetahui terlebih dulu mana-mana proyek yang menjadi skala prioritas mendapatkan alokasi anggaran.
ORDE TRANSISI 1998-2001
Tumbangnya orde baru menjadikan dunia perproyekan/ pengadaan barang jasa mengalami masa transisi. PENG-PENG Penguasa yang nyambi Pengusaha tidak berani melakukan aktifitas usaha. Pejabat Pemerintah juga tidak berani mengarahkan proyek kepada kontraktor A atau B. Sehingga munculah OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) Forum Komunikasi antar kontraktor semacam kartel. Dari paket-paket proyek semua instansi/SKPD dibagi kepada pengusaha-pengusaha/kontraktor-kontraktor yang ada. Menjaga agar tidak terjadi interaksi langsung antara kontraktor dengan pejabat, setoran/Upeti dikoordinir oleh Kartel Forum Komunikasi kontraktor.
ORDE REFORMASI ERA IJON DAN UPETI 2001 s/d SEKARANG
Diberlakukannya otonomi daerah dan kepala daerah berasal dari Partai Politik, adalah dimulainya ZAMAN KEEMASAN DEMOKRASI & KEBEBASAN. Akan tetapi di dunia perproyekan dan anggaran justru sebaliknya, lahirnya ZAMAN KEGELAPAN. Perubahan dari satu the ruling party hanya Golkar, pasca reformasi menjadi multi partai. Penguasa di daerah belum tentu sama dengan di pusat. Hal ini berimbas juga pada politik anggaran khususnya dunia perproyekan. Kekuasaan terbagi bukan hanya kepala daerah sebagai penentu akan tetapi juga DPRD yang mempunyai hak budgeting. Maka, kalau di zaman orde baru hanya bisa melalui satu pintu, di era reformasi justru pintu menjadi semakin banyak itupun masih ditambah jendela-jendela yang selalu terbuka. Pintu itu bisa melalui birokrat atau anggota DPR, jendela itu melalui calo-calo anggaran.
Diera orde baru, jumlah kontraktor maupun perusahaan yang bergerak di bidang pengadaan barang pemerintah di suatu kabupaten/kota rata-rata 50-100 buah perusahaan. Pasca reformasi satu kabupaten/kota meningkat rata-rata menjadi 500-1000 buah perusahaan. Peningkatan perusahaan itu bukan semata-mata karena meningkatnya anggaran proyek dengan masuknya komponen DAU & DAK di APBD, akan tetapi perusahaan-perusahaan baru didirikan oleh tim sukses dan para anggota dewan. Sebagai balas budi dan sarana balik modal.
Dalam situasi persaingan semakin ketat karena bertambahnya perusahaan baru. Pola pendekatan/ lobbying pengusaha mengalami perubahan. Jika Orde baru lebih karena kedekatan & kemampuan lobbying, Orde reformasi lahirlah PRAKTEK IJON anggaran. Â Â Â Â
Zaman Kegelapan itu menjadi lebih gelap lagi yaitu setelah tahun 2009 Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pemilihan anggota legislatif berdasarkan nomer urut menjadi suara terbanyak. Hal ini berakibat pada membengkaknya biaya kampanye masing-masing caleg otomatis berimbas terhadap pengembalian modal pencalegan.
Pasca reformasi, kebijakan perencanaan pembangunan melalui musrenbang diberbagai tingkatan menjadi tidak berlaku. Musrenbang tetap dilaksanakan akan tetapi sebatas formalitas. Adanya praktek Ijon anggaran diarahkan tergantung si pembeli ijon. Untuk proyek infrastruktur dipilih lokasi-lokasi yang tidak menyulitkan saat pengerjaan. Untuk pengadaan barang seperti Alat kesehatan, UPS, Pupuk Pertanian, dll dalam dokumen lelang diarahkan pada spesifikasi tertentu. Â Dampak buruk IJON selain terjadinya tindak pidana korupsi adalah TIDAK TERCAPAINYA PEMERATAAN PEMBANGUNAN.
Praktek Ijon anggaran APBN untuk konstruksi & pengadaan barang berkisar antara 3 s/d 5%, di APBD Provinsi 7% s/d 10% di APBD Kabupaten/Kota 10%-12.5% belum termasuk upeti yang berkisar antara 5%-10%. Untuk jasa konsultasi (konsultan), Ijon plus upeti berkisar 30%-40%.
Walapun sejak diberlakukannya e-procurement sudah berkurang akan tetapi praktek Ijon dan Upeti masih berlangsung hingga saat ini.
Praktek Ijon yang nyata terjadi adalah kasus pengadaan UPS di Pemprov DKI. Dan yang terkini adalah tertangkapnya DWP karena OTT KPK.
Zaman Kegelapan Harus Berakhir
Penyebab lahirnya Zaman Kegelapan dimana REJEKI itu tidak mengenal HALAL & HARAM, bukan orde baru lebih baik atau sistim politiknya (demokrasi) yang keliru akan tetapi rekruitmen para calon anggota DPR dan calon kepala daerah yang keliru. Adanya persaingan tidak sehat dalam pemilihan melahirkan budaya instan saat penggalangan suara menggunakan money politics.
Agar zaman kegelapan tidak terus-terusan berlangsung tidak ada jalan lain, selain penindakan (OTT) yang lebih penting adalah belajarlah dari negara-negara minim korupsi yaitu membangun sistim PENCEGAHAN yang baik. Â
Â
sumber gambar : micecartoon.co.id
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI