Mohon tunggu...
Oliva Luaq
Oliva Luaq Mohon Tunggu... Guru - Guru / SMA Negeri 1 Long Apari

Hoby saya adalah berpetualang menikmati alam dan bercengkerama dengan gemercik air meskipun saya tidak pandai berenang tapi air adalah tempat terindah bagi saya untuk berendam dan bermain. Saya adalah seoarang yang keras karena sulitnya hidup mengajarkan saya untuk berdiri di atas kaki sendiri dan terus berjuang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ruang Kelas atau Layar Laptop: Pertarungan yang Tak Terlihat

12 Oktober 2024   05:18 Diperbarui: 12 Oktober 2024   07:13 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap pagi, Ibu Ratna berdiri di depan ruang kelas dengan senyum hangat yang sudah lama ia latih di depan cermin. Suara murid-muridnya yang riuh adalah musik di telinganya. Menatap mata-mata penuh rasa ingin tahu membuatnya merasa hidup. Kelas adalah dunianya, ruang di mana ia bisa membagikan ilmu, membentuk karakter, dan menanam benih kehidupan. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang tak pernah dilihat oleh murid-muridnya yaitu pertarungan diam-diam yang menunggunya setiap hari, di sela-sela kesibukannya mengajar. Ketika bel sekolah berbunyi, tanda akhir pelajaran, murid-murid berhamburan keluar dengan canda tawa, meninggalkan meja mereka yang dipenuhi buku catatan. Namun, Ibu Ratna tahu, bagi dirinya bel itu bukan tanda kebebasan. Itu adalah sinyal bahwa pertempuran lain telah menunggu yaitu pertempuran dengan layar laptop dan tumpukan kertas administrasi yang tak ada habisnya.

Di ruang guru, ia duduk di depan laptop yang sudah seperti bayangan dirinya, selalu ada, selalu menanti. Di sebelahnya, tumpukan kertas dokumen dan laporan yang harus ia selesaikan terus bertambah tinggi. Setiap kali ia mengetikkan data ke dalam file yang membosankan, ia merasa seperti bagian dari dirinya terkikis perlahan. Tuntutan administrasi menghisap energinya lebih cepat daripada sekadar mengajar di kelas.

"Belum selesai, Bu Ratna?" tanya Pak Budi, sesama guru yang melintas di belakang mejanya. Ia tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kelelahan di matanya.

"Belum, Pak. Masih banyak data yang harus di-input hari ini," jawabnya.

Setelah Pak Budi pergi, Ratna menghela napas panjang. Ia merindukan momen ketika ia bisa fokus hanya pada murid-muridnya, bukan pada tabel laporan yang rumit, bukan pada kurikulum yang harus disesuaikan, atau formulir yang harus diisi ulang. Dulu, menjadi seorang guru terasa seperti panggilan suci. Namun kini, seolah-olah layar laptop telah menjadi benteng yang menghalanginya dari tugas utamanya yaitu mendidik.

Malam itu, di rumah, setelah menyelesaikan urusan domestik, Ibu Ratna kembali membuka laptopnya. Di dalam kamarnya yang sunyi, ia merasa sendirian. Anak-anaknya sudah tidur, suaminya sedang bekerja lembur. Ruang kelas yang penuh kehangatan dan gelak tawa murid-muridnya kini tergantikan oleh kursor yang berkedip-kedip di layar, menanti untuk diisi dengan angka dan kata-kata yang tak ada habisnya. Ia ingin menyerah. Sudah terlalu lama ia berjuang dengan administrasi yang menurutnya tidak lebih dari formalitas kaku. Ia rindu menghabiskan waktu lebih banyak bersama anak didiknya, bukan terjebak dalam perang tak berujung dengan data dan laporan.

Tetapi, sesuatu di dalam dirinya menolak untuk menyerah.

Ibu Ratna mengingat kembali pandangan mata salah satu muridnya, Rani, seorang anak yang pendiam namun penuh potensi. Beberapa bulan yang lalu, Rani hampir putus sekolah karena masalah keluarga, tetapi Ibu Ratna berhasil membantunya melalui masa-masa sulit itu. Senyum kecil Rani setiap kali berhasil menjawab pertanyaan di kelas adalah kemenangan kecil yang selalu membuat Ibu Ratna bertahan. Malam semakin larut, dan layar laptop terus menyala. Namun kali ini, Ibu Ratna melihatnya dengan perspektif berbeda. Ia menyadari, di balik semua kelelahan ini, di balik perang melawan tugas administrasi, ada sesuatu yang lebih besar yang sedang ia perjuangkan. Ia bukan sekadar memasukkan data atau menyelesaikan laporan. Ia berjuang agar bisa terus ada di ruang kelas, agar tetap bisa menyentuh hati dan pikiran murid-muridnya, bahkan di tengah keterbatasan waktu dan energi.

Pada akhirnya, bukan laptop atau tumpukan kertas yang memenangkan pertarungan ini. Ibu Ratna lah yang menang, dengan semangat yang tak pernah padam untuk mendidik dan menginspirasi. Baginya, ruang kelas bukan sekadar tempat fisik. Ruang kelas adalah setiap interaksi dengan murid-muridnya, setiap percikan inspirasi yang ia berikan di tengah kesibukan, dan setiap senyum yang ia lihat di wajah mereka.

Pagi berikutnya, Ibu Ratna kembali ke sekolah. Kali ini, dengan langkah lebih mantap. Laptop dan kertas mungkin selalu ada, tapi mereka bukan lagi musuhnya. Mereka hanyalah bagian dari perjalanan panjang seorang guru, sebuah pertempuran yang tak terlihat, tapi selalu ada dalam hati setiap pendidik. Ketika ia berdiri di depan murid-muridnya dan mulai mengajar, ia tahu satu hal pasti: meskipun administrasi menyita banyak waktunya, tak ada yang bisa menggantikan keajaiban yang ia ciptakan di ruang kelas.

Dan itu, adalah alasan ia akan terus berjuang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun