Cinta Dua Dunia
Matahari pagi yang belum sepenuhnya menampakkan diri, Dina membuka mata, ia menatap Damar suaminya yang masih terlelap, dan suara nafas kecil dari kamar sebelah menandakan bahwa Bayu, anak semata wayangnya, masih tertidur pulas. Dina menatap langit-langit kamar sejenak, meresapi ketenangan sesaat yang sebentar lagi akan tergantikan oleh kesibukan hariannya sebagai ibu, istri, dan juga seorang guru. Sudah 9 tahun Dina menjalani hidup sebagai guru SMA di sebuah desa kecil ini. Setiap pagi, ia bangun lebih awal dari semua penghuni rumah, mempersiapkan sarapan untuk suami dan anaknya, lalu bergegas pergi ke sekolah. Menjadi guru adalah impian Dina sebab mendidik adalah panggilan hidupnya. Di ruang kelas, dia bukan sekadar mengajar dan mendidik, tapi juga menjadi sahabat bagi murid-muridnya. Banyak dari mereka datang dengan masalah pribadi, dan Dina merasa memiliki tanggung jawab untuk membantu mereka menemukan solusi atas masalah mereka atau mendengarkan keluh kesah mereka. Namun, semakin hari, tuntutan sebagai seorang guru semakin berat. Rapat yang tak ada habisnya, dokumen yang harus diselesaikan, nilai yang harus diinput, dan banyak sekali tuntutan administrasi lainnya yang wajib dikerjakan. Sering kali, Dina membawa pekerjaannya ke rumah. Di malam-malam yang seharusnya ia habiskan dengan Budi dan Bayu untuk bercengkerama, Dina malah tenggelam di depan laptop, mengoreksi tugas-tugas muridnya atau mengupload tugas-tugas lainnya.
"Mama, Bayu mau main," suara kecil Bayu tiba-tiba memecah kesunyian kamar. Dina tersentak, tersadar dari lamunannya. Dia tersenyum, meraih anaknya, lalu mencium pipinya yang lembut. Tapi di sudut hatinya, Dina merasa ada yang hilang. Selalu ada perasaan bersalah saat ia terpaksa mengatakan, "Nanti ya, Nak. Mama harus kerja dulu."
Di sekolah, Dina adalah sosok yang dihormati. Murid-murid menyayanginya karena kesabaran dan keikhlasannya mengajar. Namun di balik senyumnya, Dina sering merasa lelah. Ada masa di mana ia merasa seperti sedang meniti dua dunia yang berbeda, dunia sekolah dan dunia rumah, yang kadang sulit ia seimbangkan. Siang itu, usai mengajar, Dina duduk di ruang guru, menatap layar laptop yang dipenuhi dengan email dari kepala sekolah dan wali murid. Matanya terasa berat, kepalanya berdenyut, dan di pikirannya terbayang wajah Bayu yang pagi tadi memintanya untuk bermain bersama. Suara telepon berdering, mengejutkannya. Suaminya, menelepon. "Sayang, nanti pulang cepat ya. Bayu ingin main bersama kita sore ini. Dia kangen sama Mama," suara suaminya terdengar lembut tapi menohok perasaan Dina. Dina terdiam sejenak, merasa tersudut oleh kenyataan. Ia rindu saat-saat bersama keluarganya, tapi ia juga tahu pekerjaannya tak akan pernah selesai jika ia tak segera menanganinya. "Aku coba, ya. Tapi masih banyak tugas yang harus diselesaikan di sekolah. Kalau aku terlambat, kamu main dulu saja sama Bayu." Sejenak hening di ujung telepon. Dina tahu bahwa jawaban itu tak sepenuhnya memuaskan. Budi selalu memahami, tapi Dina tahu bahwa pengertiannya mungkin perlahan memudar. "Baik, Sayang. Jaga kesehatanmu, ya," jawab Budi dengan nada yang lebih pelan. Usai panggilan itu, Dina duduk lebih lama, berpikir. Pernahkah ia melupakan prioritasnya sebagai seorang istri dan ibu? Ia mencintai profesinya, itu tak bisa diragukan. Tetapi setiap kali Bayu dan Budi memintanya hadir untuk momen-momen sederhana, Dina sering kali merasa terjebak antara kewajiban profesionalnya dan cinta kepada keluarganya.
Malam itu, Dina pulang terlambat lagi. Di ruang tamu, Bayu sudah tertidur di pangkuan Budi yang masih menonton televisi. Dina berjalan perlahan, meraih selimut untuk menutupi tubuh kecil anaknya. Saat ia hendak bangkit, Budi menatapnya. "Sayang, aku tahu kamu mencintai pekerjaanmu. Tapi jangan sampai kita kehilangan momen-momen bersama Bayu. Dia tumbuh cepat, dan dia butuh kehadiranmu," ujar Budi lembut, tanpa nada menyalahkan, hanya ada keprihatinan. Kata-kata suaminya mengguncang hati Dina. Ada kebenaran yang selama ini ia abaikan. Dalam diam, air mata Dina menetes. "Aku tahu, pa. Aku tahu. Aku cuma... merasa terjebak. Aku tak ingin mengecewakan murid-muridku, sekolah, tapi di sisi lain, aku juga ingin jadi ibu yang baik untuk Bayu, dan istri yang bisa kamu andalkan." Budi mengulurkan tangan, menggenggam jemari Dina. "Kita bisa mencari cara bersama. Kamu tidak harus memilih salah satu. Tapi kamu juga tidak bisa terus membiarkan dirimu terbebani seperti ini."
Hari-hari setelah percakapan itu, Dina mulai belajar melepaskan sebagian bebannya. Ia berusaha lebih teratur dalam mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga. Kadang, ia masih membawa tugas sekolah ke rumah, tetapi kini ia tahu kapan harus berhenti. Ketika Bayu memintanya bermain, ia akan meletakkan laptopnya dan meluangkan waktu untuk anaknya. Ketika Budi mengajaknya berbicara di meja makan, ia mendengarkan tanpa pikiran melayang ke tugas-tugas yang belum selesai. Dina menyadari bahwa cinta tidak hanya soal pengorbanan, tapi juga soal keseimbangan. Cinta kepada profesinya membuatnya berjuang keras setiap hari, tetapi cinta kepada keluarga membuatnya tahu kapan harus berhenti berjuang dan mulai menikmati hidup yang telah ia bangun bersama mereka.
Suatu hari, ketika Dina menatap Bayu yang tertidur lelap dan suaminya yang duduk tenang di sampingnya, ia merasa tenang. Ia tahu, meski hidupnya penuh dengan tuntutan, ia telah menemukan cinta di dua dunia yang ia huni, sebagai ibu, istri, dan juga guru. Dan itu adalah kebahagiaan yang tak bisa diukur dengan apapun.
By. Oliva
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H