Mohon tunggu...
Oliva Luaq
Oliva Luaq Mohon Tunggu... Guru - Guru / SMA Negeri 1 Long Apari

Hoby saya adalah berpetualang menikmati alam dan bercengkerama dengan gemercik air meskipun saya tidak pandai berenang tapi air adalah tempat terindah bagi saya untuk berendam dan bermain. Saya adalah seoarang yang keras karena sulitnya hidup mengajarkan saya untuk berdiri di atas kaki sendiri dan terus berjuang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langkah Terakhir di Atas Jembatan

6 Oktober 2024   08:28 Diperbarui: 6 Oktober 2024   09:45 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu, hujan turun dengan deras, membasahi setiap sudut desa. Lampu jalanan berkedip-kedip di bawah tirai hujan, menciptakan bayangan kelam di sepanjang jalan yang basah. Di atas sebuah jembatan tua, berdiri seorang pria muda bernama Arga. Ia menatap sungai di bawahnya, aliran deras airnya seolah menggambarkan kekacauan batin yang sedang ia rasakan. Hidup Arga tak pernah mudah. Sejak kecil, ia harus berjuang di tengah kemiskinan. Ayahnya meninggal saat Arga masih sangat kecil, meninggalkan ibunya untuk membesarkan Arga seorang diri. Ibunya bekerja keras, mencuci pakaian orang lain demi menghidupi mereka. Tapi, kesulitan seolah tak pernah berhenti datang. Saat Arga beranjak dewasa, ibunya jatuh sakit dan tak mampu lagi bekerja. Arga pun harus mengambil alih beban keluarga, bekerja siang dan malam sebagai buruh kasar.

Namun, sebanyak apa pun Arga bekerja, ia selalu merasa tak cukup. Setiap hari, ia pulang dengan tubuh lelah dan pikiran penuh beban. Hutang-hutang menumpuk, rumah semakin tua dan rusak, dan pengobatan ibunya tak pernah berhenti menguras kantongnya yang sudah kering. Hingga suatu hari, ibunya mengembuskan napas terakhirnya. Kehilangan itu menghancurkan Arga. Ia merasa gagal sebagai anak, gagal sebagai kepala keluarga, dan kini, ia merasa hidupnya tak lagi punya arah.

Di atas jembatan itu, Arga merasakan kehampaan yang begitu dalam. Ia memandang ke bawah, ke sungai yang menderu deras, dan dalam pikirannya, ia merasa mungkin inilah jalan keluar dari semua kesedihan yang ia rasakan. Sebuah langkah ke depan, dan semua beban akan hilang.

Namun, saat Arga sedang mempertimbangkan langkah terakhinya, terdengar suara kecil di belakangnya.

"Mas, kenapa Mas di sini sendirian malam-malam begini?" Suara itu milik seorang anak kecil, mungkin sekitar sepuluh tahun, dengan pakaian yang basah kuyup karena hujan. Ia memegang seikat koran yang lusuh di tangannya. Arga terdiam sejenak, lalu menoleh ke arah anak itu. "Kamu sendiri kenapa di sini? Bukannya harusnya kamu di rumah?" Anak itu tersenyum kecil, meskipun wajahnya terlihat lelah. "Aku jualan koran, Mas. Ibu bilang aku harus kerja keras biar bisa bantu-bantu beli makanan di rumah."

Arga terkejut mendengar jawaban anak itu. "Kenapa kamu harus kerja? Apa nggak ada orang lain yang bisa bantu?" Anak itu menggeleng. "Ayahku sudah meninggal, Mas. Ibu juga sakit, jadi aku yang harus kerja. Tapi nggak apa-apa. Aku senang bisa bantu ibu. Meski berat, aku yakin suatu hari nanti pasti ada yang berubah, Mas."

Kata-kata itu menusuk hati Arga. Ia melihat cermin dari kehidupannya sendiri dalam diri anak itu. Namun, ada satu perbedaan besar anak kecil ini, meski hidupnya penuh kesulitan, masih punya harapan dan semangat. Arga melihat bahwa anak kecil itu tak menyerah pada keadaan, meskipun hidupnya jauh lebih sulit daripada yang bisa ia bayangkan. Anak itu tersenyum lagi, meski wajahnya penuh kelelahan. "Aku percaya, Mas. Selama kita terus berusaha, pasti ada jalan. Ibu selalu bilang, Tuhan nggak akan pernah ngasih cobaan di luar kemampuan kita." 

Arga merasakan ada sesuatu yang bergerak di dalam hatinya. Sebuah api kecil yang sempat padam mulai menyala lagi. Kata-kata anak itu menyadarkannya bahwa selama ini ia terlalu larut dalam kesedihan dan merasa dirinya gagal, hingga ia lupa bahwa setiap orang, bahkan seorang anak kecil, punya kekuatan untuk terus berjuang. Tanpa sadar, air mata Arga mulai mengalir di pipinya, bercampur dengan tetesan hujan. Ia menatap anak kecil itu dengan perasaan yang campur aduk antara haru dan rasa malu pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia, seorang pria dewasa, hampir menyerah, sementara seorang anak kecil masih bisa berdiri teguh di tengah badai kehidupan? 

Arga menghela napas panjang, lalu mengusap air matanya. "Terima kasih, Dek. Kamu sudah mengingatkan aku sesuatu yang penting." Anak itu mengerutkan kening, tidak mengerti maksud Arga. Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, Arga merogoh sakunya dan memberikan sisa uang yang ia punya kepada anak itu.

"Ini buat kamu. Beli makanan untuk ibumu. Teruslah semangat, ya." Anak itu terkejut, namun menerima uang itu dengan senyum lebar. "Makasih, Mas! Semoga Mas juga selalu diberi kekuatan." 

Arga tersenyum untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Ia tahu, malam itu adalah malam yang mengubah hidupnya. Di atas jembatan yang ia pikir akan menjadi akhir, ia justru menemukan awal baru. Arga memutuskan untuk tidak menyerah, tidak pada dirinya, tidak pada hidupnya, dan tidak pada harapan yang masih ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun