Hi kawula muda :)Â _Dodit Mulyanto mode on_
Apa kabar ? semoga sehat selalu dan berbahagia.
Saya mau bercerita, tentang kisah seorang gadis yang kita sebut saja Mawar, yang saat ini sedang mengalami dilema kehidupan rantau Jakarta. Semua bermula dari kejenuhan Mawar akan padatnya jalanan Jakarta, kumuhnya tempat ia tinggal (entah kos-kosan atau kontrakan) dan sudah terlalu lamanya ia menjombla (baca:Jomblo Lama) sehingga boleh dibilang dialah juru kunci kos-kosan Bu (sebut saja) Ida.Â
Semua kawan seangkatannya sudah lulus 1 per 1 dari kos-kosan tercinta karena pindah kerja atau menikah. Sehingga tinggallah Mawar yang seorang diri sebagai mahasiswa abadi di Universitas Karbela.
Singkat cerita, akhirnya mendadak Mawar berpikir bahwa, alangkah baiknya jika ia sudah mulai untuk memikirkan mencicil rumah. Pertanyaannya, rumah seperti apa. Kalau harus diujung planet Bekasi misalnya, atau di Depok City, terlalu jauh, dan umur bisa habis dijalan.Â
Tapi jika memberanikan diri untuk mengambil rumah di daerah Selatan Jakarta, Wow.... Berani betul dia. Akhirnya opsi pertama jatuh ke Apartement yang bisa dibilang kelas berat. Harga 1,4 M untuk ukuran 1 kamar tidur. Simulasi nya berat sekali :) kasihan Mawar, dia masih anak bawang. Beranjak ke apartement ke dua, kelas buluh.Â
Harga 700jt, simulasi cicilan agak ringan hanya pertanyaan berikutnya jatuh di DP. Mau DP pakai apa (pikir Mawar). Seisi barang dikamarnya jika dijual seluruhnya pun belum mampu mencapai nominal DP tersebut.
Pun demikian, yang paling disesali Mawar adalah, mengenai KPR ringan yang ditawarkan oleh salah satu bank milik negara. Tentunya bunga dan DP sangat rendah jika merupakan property (rumah) pertama. Masalahnya adalah fasilitas tsb sudah diambil olehnya, untuk membantu saudaranya.Â
Sebut saja Om Surya, suami istri yang punya usaha kecil-kecilan, serta 5 orang anak yang harus ditanggung. Mereka butuh tempat tinggal. Sedangkan jika mau mengajukan KPR, umur si Om sudah tidak mencukupi. Oleh karena itu si Om meminjam nama Mawar untuk pengajuan KPR rumahnya.Â
Alhasil KPR itu setujui oleh pihak bank, dengan subsidi rumah pertama dari pemerintah melalui salah satu bank BUMN. Singkat cerita Om Surya dan keluarga sudah bisa tinggal disana dengan nyaman.Â
Sebaliknya, saat ini Mawar seakan-akan menyesali bantuan tersebut karena harusnya subsidi rumah pertama dari pemerintah bisa dia gunakan untuk pengajuan KPR / KPA apartementnya saat ini.
Huff... kasihan Mawar
Termakan budi baik Om Surya semasa Alm. Papa Mawar masih hidup. Bahkan bujukan pamungkasnya pada Mawar adalah : Toh kamu belum akan beli rumah dalam waktu dekat khan ? kamu khan masih muda, masih pegawai kecil, masih jauh khan untuk beli rumah.
Wow... makjleb khan ya ? ya sudah akhirnya Mawar pun berpikir demikian, aku masih pegawai kecil, masih muda, belum akan beli rumah, sehingga apa salahnya membantu keluarga sendiri.
Padahal sekarang semua itu salah. Siapa yang tahu rejeki orang. Siapa berani mendahului nasib. Siapa bilang yang kecil akan selalu kecil, yang besar juga tak mungkin jadi kecil. Akh, sudahlah pikir mawar. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Mawar hanya bisa merenung dikamar kost 3x3 tercinta, Universitas Karbela Lantai Dua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H