Mohon tunggu...
Aprilia Kholifatul Nisya
Aprilia Kholifatul Nisya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

OlifiaKholiq

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menilik Standar Ganda Masyarakat Lewat Pawang Hujan

2 April 2022   08:48 Diperbarui: 2 April 2022   08:57 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih dari seminggu yang lalu, Indonesia kembali menjadi tuan rumah perhelatan MotoGP untuk yang kedua kalinya setelah tahun 1996 di Sentul. Pada tahun ini, acara tersebut berhasil digelar di sirkuit Mandalika, Lombok Tengah.

Selain menuai pujian dari banyak pihak, perhelatan MotoGP Mandalika juga menuai berbagai kontroversi. Pasalnya, acara yang berskala internasional tersebut malah menggunakan jasa seorang pawang hujan untuk “mengusir” hujan deras yang mengguyur lintasan balap 15 menit sebelum acara dimulai. Praktis, perdebatan sengit antara kaum logis dan lokalis di internet kembali dimulai.

Banyak kaum logis yang menentang kehadiran pawang hujan di Mandalika. Berbagai hujatan pun dilontarkan. Mayoritas dari mereka berpendapat bahwa keberadaan pawang hujan malah mempermalukan Indonesia di mata dunia. Mereka beralasan bahwa pawang hujan adalah bukti kekolotan klenik yang masih banyak dipelihara di Indonesia. Sebagian yang lain beranggapan bahwa pawang hujan tersebut hanya dijadikan gimmick yang telah direncanakan sebelumnya.

Di lain pihak, kaum lokalis menganggap bahwa pawang hujan adalah sebuah bentuk kearifan lokal yang bisa dijadikan  sebagai ajang promosi budaya Indonesia di kancah internasional. Secara tidak langsung, cara ini juga mampu mengundang wisatawan asing untuk datang berlibur ataupun mempelajari kebudayaan asli Indonesia.

Sebagai bangsa Indonesia, tanpa dipungkiri, kita hidup dalam masyarakat yang kental akan tradisi ketimuran, termasuk mitos dan kepercayaan terhadap kuasa yang ghaib. Jadi, hal-hal semacam pawang hujan ataupun profesi lain yang berkaitan dengan hal-hal ghaib sudah lumrah dijumpai dan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia dalam kurun waktu yang lama.

Namun, derasnya kritikan dari kaum logis terhadap fenomena pawang hujan yang dianggap irasional seakan-akan membuka tabir fakta kalau masyarakat Indonesia memiliki standar ganda dalam menyikapi hal-hal yang berkaitan dengan metafisika. 

Banyak orang yang berteriak lantang mengkritisi pawang hujan yang tidak sesuai nalar, tetapi secara tidak sadar juga menjadi salah satu bagian masyarakat yang masih melakukan dan melanggengkan klenik. Misalnya, meminta bantuan pawang hujan untuk “mengusir” hujan saat acara pernikahan, masih mendatangi “orang pintar” untuk bertanya soal hari baik dan hari buruk dalam menyelenggarakan acara, melakukan pesugihan, takut membuka payung di dalam rumah, hingga memasang susuk untuk meningkatkan kharisma diri.

Agaknya perubahan zaman yang semakin mengadopsi unsur-unsur sekuler dari barat membuat sebagian besar orang secara tidak sadar hanyut dalam pemikiran positivisme. Positivisme sendiri merupakan suatu pemikiran yang beranggapan bahwa ilmu-ilmu alam adalah sumber ilmu yang yang bisa diyakini kebenarannya karena didasarkan pada data empiris dan menolak segala sesuatu yang berkaitan dengan kejadian metafisika.

Sayangnya, positivisme yang mendewakan kelogisan tidak selalu berdampak baik. Jika kelogisan berpikir ini hanyalah FOMO semata agar dianggap kebarat-baratan, budaya masyarakat yang sarat akan klenik bisa lenyap begitu saja.

Apabila dilihat dari sisi yang lain, pawang hujan yang sering dianggap tidak masuk akal masih ada dan terus berkembang karena adanya permintaan dari masyarakat itu sendiri. Sebanyak apapun kritikan yang dilontarkan kaum positivis pada budaya metafisik, jika masyarakat sendiri masih membutuhkan hal tersebut, pawang hujan ataupun hal-hal lain di luar nalar akan terus ada dan bekembang.

Sebenarnya, budaya yang mengandung hal-hal diluar nalar, jika ditilik lebih dalam lagi terkandung pesan yang besar. Budaya tidak lahir tanpa manfaat. Lewat budaya, masyarakat belajar menanamkan karakter baik pada anak, merawat dan menghargai alam, hingga mempererat tali persaudaraan.

Sejatinya, setiap individu bebas berpikir. Namun, seringkali kebebasan berpikir tersebut hanya didominasi oleh egoisme semata.

Oleh:

  1. Farikha Fitria Shabrilia

  2. Cici Cahyani

  3. Aliefia Nabila Putri Pratasya

  4. Aprilia Kholifatul Nisya

Referensi

Iswidayanti, S. (2007). Fungsi Mitos dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Pendukungnya. Harmonia: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, 8(2), 180-184.

Somantri, E. D. (2013). Kritik Terhadap Paradigma Positivisme. Jurnal Wawasan Hukum, 28(1), 622-633.

Yusanti, E. (2019). Fungsi Mitos dalam kehidupan Masyarakat Pulautemiang, Jambi. Jurnal Totobuang, 7(1), 171-181.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun