Kalau kamu disodori data berikut, kira-kira hal apa yang akan muncul pertama kali di dalam pikiran kamu? Bagian mana yang akan menarik perhatian untuk ditanggapi? Lalu, kalau data yang sama ditunjukkan ke anak usia 11 tahun; kira-kira bagaimana reaksinya? Disimak, dilihat-lihat saja, bingung ataukah dikritisasi?
Data di atas mengemuka dari penayangan film kampanye antikorupsi di aula Yayasan Taman Imani Iqra, Cipayung sembari menanti saat berbuka puasa pada pekan terakhir ramadan lalu. Data yang menunjukkan tahun dikeluarkannya larangan pemakaian TEL oleh sejumlah negara di ASIA.
TEL? Apa dan siapakah si TEL ini?
TEL (Tetraethyllead), paduan/ikatan kimia antara karbon (C) dan timbal (Pb). Para produsen BBM yang nakal mencampurkan TEL ke dalam bensin untuk meningkatkan kadar oktan dan menghasilkan bensin yang murah serta aman untuk mesin kendaraan. Murah dan aman untuk mesin, tak berarti aman juga untuk lingkungan dan penghuni semesta. Pada 2005 pemerintah Indonesia mulai gencar memberangus produk BBM bertimbal yang tak ramah lingkungan dan berdampak pada kesehatan terlebih tumbuh kembang balita. Di saat bersamaan, terbongkar pula proyek pengadaan TEL yang dilakukan oleh Innospec Ltd., dengan menyuap sejumlah petinggi di Pertamina. Pada 2006 pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan pelarangan pemakaian TEL sebagai campuran bensin.
Pernahkah terbayang, bagaimana pemikiran murid SD melihat data perusahaan Inggris sebagai kontributor terjadinya korupsi dan penyebab pencemaran udara di Indonesia, hingga membawanya menemui Laode Muhammad Syarif, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menggali informasi yang lebih detail?
Ini Thailand sudah [melarang timbal pada] 1996, Indonesia koq baru 2006 ya?
Menurutku negara seperti Inggris dan Amerika tidak bakal melakukan (korupsi) itu karena orang-orangnya (kehidupannya) sudah bagus
Hari sudah beranjak petang. Film singkat berdurasi 3 (tiga) menit itu telah usai. Saya masih duduk bersila bersama sekelompok anak di aula Taman Imani Iqra, mengikuti kegiatan #RamadanKeliling yang diadakan oleh Rumah Ilmu (Rumil) sebelum beduk maghrib bergema. Di depan kami kini berdiri 2 (dua) anak perempuan yang tadi muncul di film yang diproduksi oleh Transparency International UK dan ditayangkan perdana pada pertemuan pemimpin dunia di Anti-Corruption Summit 2016, London, 12 Mei 2016 lalu; Anabel dan Nurra Datau. Bergantian, mereka mengajak anak-anak yang ada di ruang itu mengulas apa yang baru saja ditonton serta memberikan contoh tindakan korupsi dalam kehidupan sehari-hari dan pentingnya menggalakkan gerakan antikorupsi.
Tak jauh berbeda dengan teman sebayanya, Nurra juga sering mengisi waktu senggangnya dengan bermain. Kalau lagi asik dengan dunianya, dirinya pun terkadang menggerutu bila diingatkan untuk belajar. Bukankah bermain itu menyenangkan di segala usia? Untuk menutrisi dan melatih daya pikir, nalar, toleransi, serta emosi; satu jam sehari, Nurra dan adik-adiknya wajib membaca buku. Jadi, jangan heran bila bertemu dan mendapati dirinya sedang tenggelam dengan Musashi di tangannya. Itu adalah bacaan yang harus diselesaikannya sebelum masuk SMP. Satu hari ketika saya bertanya sudah sejauh mana Musashinya? dengan merengut dirinya bersungut bosan membaca buku yang tebal, tapi saat itu dia sendiri sudah melampaui halaman 300
. Dirinya tipe pembaca yang senang menerapkan teknik skimming. Di usianya, bukannya tak sanggup melahap Musashi setebal 1200an halaman itu; hanya saja rasa jenuh acap melintas di pikirannya ketika yang dilihat penampakan buku setebal bantal. Jadi, ketika dirinya bertanya berapa lama waktu yang disediakan untuk Musashi, saya mengajaknya menghitung banyaknya lembaran Musashi yang disantapnya di waktu membaca. Bagilah angka itu dengan jumlah lembar yang ada di dalamnya, jika jadwal membacanya tertib, waktu dari hasil pembagian itu akan tercapai.