Tidak berat sebab dibaca secara pelan-pelan. Dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat. Kalau perlu diperagakan, diperagakan. Kalau perlu visualisasi, divisualisasikan. Maka di sana ada caping, alu, lesung, ikat kepala, kayu manis, yang juga ada di dalam novel Max Havelaar. Jadi pertemuan 1-1,5 jam hanya menyelesaikan pembacaan 3-4 halaman. Berat, jika membacanya ingin selesai semalam dan di dalam kamar. Ini membaca pelan-pelan. Tamat pertama 11 (sebelas) bulan. Tamat kedua 2,5 (dua setengah) tahun. Sampai sekarang sudah pertemuan ke-158 sejak 23 Maret 2010.
[caption caption="Reading Max Havelaar kadang dilakukan di luar ruang sembari bertamasya agar anak-anak tak bosan (dok. Ubaidilah Muchtar)"]
Dia anak muda yang tidak kenal lelah. Yang memiliki motivasi tinggi, yang tak pernah kenal kata menyerah, yang tak dikalahkan oleh keadaan, yang tetap mengayun langkah ke depan untuk anak-anak penerus jejak masa. Satu setengah abad berlalu; semangat Multatuli tak pernah mati. Ia hidup di dalam jiwa anak-anak kampung Ciseel yang bersetia membaca Max Havelaar di bawah bimbingan Ubaidilah Muchtar yang akrab disapa anak-anak didiknya, Pak Guru Ubai. Saya lebih senang menyapa anak muda yang lahir di Pamanukan 36 tahun lalu ini dengan panggilan, Kang Ubai. Dia yang tak pernah lelah menumbuhkan dan membangun semangat literasi di dalam jiwa anak-anak Ciseel. Meski jauh dari jangkauan modernitas dan tak banyak dikenal publik, tapi anak-anak di kampung tersembunyi itu sangat akrab dengan literasi dunia. Pada 2014, Kang Ubai menerima anugerah Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional sebagai apresiasi atas kontribusinya mengembangkan perpustakaan dan minat baca di daerah.
Ketika saya bertanya tentang mimpi yang ingin diraih bersama anak-anak Ciseel, mimpinya sangat sederhana. Dia hanya ingin lebih banyak anak Ciseel yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Dia pun masih ingin mewujudkan cita-cita pertamanya saat menjejak di Ciseel, membuat koperasi untuk warga. Sedang untuk Multatuli, dirinya berharap semua anak usia sekolah di Lebak membaca Max Havelaar. Menjadi bacaan wajib anak SMP dan SMA di Lebak. Dari Lebak menyebarkan virus Multatuli hingga se-Banten bahkan se-Indonesia, membaca Max Havelaar.
Usai kegiatan Sastra Multatuli, keseharian Ciseel kembali berjalan seperti biasa demikian pula kegiatan di TBM. Yang berbeda adalah, kesan, kenangan dan kebersamaan yang tertinggal dalam hati anak-anak Ciseel yang menjadi penyemangat mereka mengisi hari menyambut esok. Dalam catatannya Nurdiyanta menuliskan rasa kangen yang merambat di hati.
[caption caption="Mereka Akrab dengan Max Havelaar (dok. Ubaidilah Muchtar)"]
Hari mulai gelap, ternyata perjalanan menuju Cikadu sudah lewat maghrib. Kami sempat berjalan bersama pak Erlang dan bu Ade sampai Cilulumpang. Mereka naik motor. Kami berbarengen dengan teman-teman tapi pak Ubai dengan kawan-kawannya  masih di belakang. Setelah beberapa menit, kami sampai di Ciseel. Di sana sudah ramai orang berkumpul ingin menonton film Max Havelaar.
Aku pulang ke rumah untuk mandi sebelum kembali ke lapangan untuk menyaksikan acara. Sampai di rumah aku menangis. Ibu dan kakak perempuan aku heran kenapa aku menangis. Aku tidak malu mengakui bahwa aku kangen dengan kawan-kawan pak Ubai yang baru saja pulang. Aku ingin mengirim surat untuk mereka, untuk mbak Endah dan mbak Esther.
Matahari semakin meninggi. Saya menutup buku Rumah Multatuli yang dikirimkan oleh Kang Ubai pertengahan 2012 sekembali saya menyusuri jejak Multatuli ke Rangkas pada awal tahun yang sama. Teringat sebuah janji, sebuah harap yang selalu berkobar di dalam hati; satu hari nanti langkah ini akan menggapai Ciseel untuk bersua, berbincang, belajar menulis dan bermain bersama anak-anak Multatuli. Â Janji yang menuntut untuk diwujudkan, segera, saleum [oli3ve].
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H