Seminggu ini linimasa media sosial diramaikan oleh kasak-kusuk undangan makan siang yang terjadi di hiruk pikuk kegiatan akbar Kompasianival 2015 yang baru saja berlalu. Keluh kesah mengemuka lewat surat cinta yang bertebaran dalam bentuk puisi, curahan hati lewat status dan komentar, catatan lepas hingga ulasan ala jurnalis yang melahirkan polemik, sanggahan, puji dan caci. Runtunan drama dimana pengguna media sosial khususnya yang beraktifitas di Kompasiana menjadi bagian dari permainan karakter dalam beberapa babak lakon dengan menempatkan diri sesuai peran yang ingin dimainkan.
Sebagai bagian dari keluarga Kompasiana meski aktifitas menulis tak segencar dua atau tiga tahun lalu, hubungan dengan ranah ini masih tetap terjalin. Bersyukur nama saya masih terekam di sana dan menjadi salah seorang Kompasianer yang dihubungi untuk menghadiri undangan makan siang di istana pada Sabtu (12/12/2015) lalu itu. Undangan spesial yang harus saya tepikan. Mungkin ada yang bertanya, diundang makan siang presiden kok ditampik? Banyak lho yang ingin tapi tak menerima ajakan!
Begini, akhir pekan sebelumnya saya pulang ke Nanggroe. Kala lepas rindu belumlah tuntas, di tengah minggu saya harus memaksa diri kembali ke Jakarta karena sudah ada agenda lain yang menanti; mengisi kegiatan natal di Istora Senayan. Undangan ternyata bisa membuat seseorang mengambil langkah yang semakin mendramatisir suasana. Dari status seseorang di facebook, saya membaca gara-gara undangan makan siang itu; ada yang mengundurkan diri dan menonaktifkan akun di Kompasiana. Sedalam itukah pengaruh sepucuk undangan dalam kehidupan seseorang?
[caption caption="Sesi Berbagi (dok. twitter, pinjam dari peserta ABG 2015 ;) )"][/caption]Di Minggu pagi ini, saat hujan meredakan gempurannya atas kota Angin Mammiri, Makassar; saya mencoba merenungkan arti sebuah undangan.
Sebelum undangan makan siang itu mengemuka, kepulangan saya di akhir pekan sebelumnya ke Nanggroe adalah karena mendapatkan undangan. Tak sekadar makan siang, tapi juga dijamu makan pagi dan malam. Bahkan saat hendak pulang, dikasih sangu untuk beli oleh-oleh.
Undangan dari Nanggroe, mempertemukan saya dengan teman-teman blogger Aceh di Aceh Blogger Gathering (ABG) 2015 yang diselenggarakan pada 5 - 6 Desember 2015 di Jantho, Aceh Besar. ABG 2015 adalah kegiatan yang digelar dalam rangka Hari Blogger Aceh yang jatuh pada 1 November. Kegiatan pertama yang digagas dan digelar oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh bekerja sama dengan Aceh Blogger Community untuk mengajak para blogger mempromosikan pariwisata Aceh lewat internet. Saya diundang menjadi salah seorang narasumber pada kegiatan tersebut dengan kapasitas sebagai pejalan yang menulis di Kompasiana dan yang banyak mengulas tentang Aceh.
Dihubungi seminggu sebelum kegiatan digelar membuat rasa senang, bangga, haru, dag dig dug dan penasaran menjadi irama yang memacu jantung lebih giat berlari sesaat setelah dihubungi panitia penyelenggara. Kenapa saya, dari mana mereka mendapatkan data untuk menghubungi saya, kapan berangkat, adakah narasumber lain, siapa saja yang akan hadir, dimana kegiatan akan berlangsung dan ragam tanya lain bermain di pikiran.
Empat hari menjelang keberangkatan, panitia menghubungi saya meminta rekomendasi travel blogger yang bisa berbagi fotografi perjalanan karena kandidat mereka ternyata sudah memiliki jadwal lain. Saya sarankan untuk mengecek komunitas blogger di Aceh yang pastinya memiliki rekomendasi blogger Aceh yang paham soal perfotoan, di samping nama yang saya berikan untuk direview. Pilihan tetap di tangan panitia, siapa yang menurut mereka mewakili profil narasumber seperti apa yang diminta untuk diundang bukan?
Senang karena akhirnya kak Taufan "Badai" Gio yang berangkat bersama saya. Kak Badai, teman di Travel Bloggers Indonesia yang bersamanya pernah berjalan ke Batam hingga mengikuti kegiatan Tourism Malaysia. Berjalan dengan yang sudah dikenal akan lebih mudah daripada berjalan dengan orang yang sama sekali asing.
[caption caption="Foto bersama Bp Reza Fahlevi dan peserta Aceh Blogger Gathering 2015 (dok. IG_Disbudpar Aceh)"]
Pada malam hari, di sela kegiatan diskusi kami berkesempatan untuk berbincang dengan Drs. Reza Fahlevi, M.Si, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh. Pesan beliau, "tolong bagikan ilmu dan ajarkan teman-teman di sini untuk memiliki semangat berbagi tentang Aceh yang menarik bagi penggiat daring." Saya dan kak Badai sepakat bahwa semua yang hadir di Jantho adalah mereka yang punya semangat untuk berbagi, sebagian sebelumnya sudah saya kenal lewat media sosial. Berada di tengah mereka membuat kami pun mendapatkan banyak pengetahuan, menambah jaringan pertemanan dan berterima kasih diberi kesempatan menjadi bagian kegiatan Disbudpar Aceh, ABG 2015; momen untuk belajar bersama.
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian - [Pramoedya Ananta Toer]
Jadi, kenapa saya mendapatkan udangan khusus ke Aceh?
Jejak itu abadi, semua yang tertulis itu membekas. Karenanya, bijaklah untuk menggunakan kata, menyampaikan keluh dan pesan. Kita tak pernah tahu siapa yang akan mendapatkan pesan yang tersampaikan dan membuka pintu untukmu melangkah lebih jauh. Mari berbagi energi positif, manfaatkan media yang tersedia dengan bijaksana dan teruslah menginspirasi, saleum [oli3ve].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H