Foyer lantai 2 Lotte Avenue, tak terlalu sibuk. Saya sedang duduk-duduk saja di salah satu bangku yang tersedia memperhatikan pengunjung lain yang bergegas lalu mendadak memutar badan 180 derajat, setengah berlari kembali melangkah ke arah darimana mereka tadi datang. Hmm, sepertinya ada yang terlupa. Tak tahu mau kemana lagi, saya pun hanya mengedarkan pandangan ke segala arah hingga hinggap pada tulisan Art Museum di pilar gedung. Penasaran, saya mengikuti petunjuk dan melangkah ke tangga berjalan sampai di lantai 11 yang dipadati manusia berpakaian resmi. Lelaki dengan setelan jas, dan beberapa perempuan yang menyambut tetamu dengan busana Betawi. Di sekeliling lantai itu bertebaran tulisan New World Cities Summit 2015.
Entah karena disangka peserta pertemuan (meski nggak mengenakan tanda pengenal dan berpakaian santai), oleh petugas keamanan yang berjaga di depan pintu museum, saya diperbolehkan masuk dan diijinkan memotret, padahal, di sisi kiri pintu terdapat tanda larangan memotret ;)
“Maaf, mbak dari mana? Museum ditutup untuk umum 2 (dua) hari ini karena ada kegiatan summit,” sapa mas-mas yang masih muda, yang senyumnya manis melihat kesibukan saya mengutak-atik kamera. Namanya George, asisten kurator museum yang baru selesai mendampingi seorang peserta summit berkeliling di dalam museum. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, saya mengajukan diri untuk mereview museum dengan menyodorkan kartu nama.
George meminta ijin untuk menelpon atasannya dan membiarkan saya tetap berada di dalam museum, sedang dirinya beranjak keluar. Saat kembali, ada sedikit harapan yang menyejukkan hati, pimpinannya akan turun bertemu dengan saya.
“Hallooo, mbak Olive sepertinya saya pernah baca tulisannya deh,” sapa Sally Texanie, Head of Art Museum yang muncul dengan senyum cerahnya. Satu pertanda yang menyegarkan, hati pun semakin melebarkan harap, dan … ijin itu pun diberikan. Sally mempersilakan saya untuk menikmati koleksi museum, mengambil gambar yang diperlukan ditemani George.
Menempati lantai paling atas Lotte Avenue, di dalam kawasan Ciputra World 1, di segitiga emas Jakarta, dan terintegrasi dengan hotel, mal dan sarana publik lainnya. Art Museum adalah bagian dari Ciputra Artpreneur, satu destinasi untuk menemukan, mengeksplorasi, mendalami dan memaknai Indonesia dan seni kelas dunia. Selain museum, di tempat yang didedikasikan untuk seni ini, terdapat pula galeri, ruang teater berskala internasional serta ruang serba guna.
Ruang museum, dibagi atas 2 (dua) ruang besar: ruang merah dan ruang biru. Pada ruang merah yang dindingnya di cat berwarna merah, dipajang karya para seniman kontemporer Indonesia. Di sana terdapat pula lukisan Ali Sadikin mantan gubernur DKI serta luksan diri Ciputra. Sedang ruang biru, adalah tempat yang didedikasikan oleh Ciputra untuk sahabatnya, Hendra Gunawan. Sebuah ruang yang diberi tajuk Hendra Gunawan dan Saya: Melihat Indonesia.
Kekaguman saya terhadap Hendra Gunawan terus berkembang. Satu hari, saya putuskan untuk menerjemahkan karya Hendra Gunawan ke dalam bentuk tiga dimensional, mengingat sejak tahun 1990an saya mulai mematung di waktu senggang saya sebagai arsitek. Dibantu pematung Moenir Pamuntjak, 1993 saya kembangkan proyek transformasi lukisan Hendra Gunawan kepada bentuk patung. Patung-patung ini kemudian menjadi bagian dari Ciputra World, Perumahan Citra Raya di Jakarta, Jonggol Jawa Barat, juga Hotel Ciputra Jakarta, Semarang serta proyek Ciputra yang lain. – [ Ir Ciputra].
Hendra Gunawan lahir di Bandung pada 11 Juni 1918, seorang pelukis dan pematung. Bersama Affandi, Hendra mendirikan sanggar Pelukis Rakyat pada 1947 yang banyak melahirkan pelukis kaliber seperti G. Sidharta dan Fajar Sidik. Hendra adalah salah seorang penggagas berdirinya Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Saat meletusnya G30S, Hendra yang masa itu adalah salah satu aktivis dan tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), ditangkap dan mendekam Kebon Waru, Bandung selama 12 tahun. Meski kebebasannya dipasung, Hendra tak pernah berhenti berkarya dan menuangkan apa yang dia rasakan lewat lukisan. Perjalanan hidup Hendra, divisualisasikan melalui sebuah karya yang diproyeksikan di dalam sebuah ruang berbentuk bilik penjara. Hendra meninggal di Bali pada 17 Juli 1983.
Kekaguman, persahabatan dengan seseorang yang kita banggakan, tak dapat dinilai dengan sejumlah uang atau materi. Ia, nilainya tak terhingga. Kedekatan Ciputra dan Hendra, sangat terasa pada pesan-pesan yang tersampaikan lewat sejumlah surat yang mereka kirimkan dan menjadi bagian dari koleksi museum.
“… Mudah-mudahan saya bisa kelak menjadi salah satu kolektor yang cukup banyak dari lukisan Bapak, sehingga suatu waktu dapat saya pamerkan atau dapat saya jadikan musium pribadi.”
Sangat menginspirasi. Kurang lebih 130 karya Hendra Gunawan, yang menjadi koleksi pribadi Ciputra; termasuk lukisan Diponegoro Terluka yang tak sempat dipamerkan di Aku Diponegoro, dapat dinikmati oleh publik di Ciputra Art Museum.
Ciputra Artpreneur, Ciputra World
Jl Prof Dr Satrio Kav 3-5 Lt 11
Jakarta Selata 12940
Waktu Operasional: pk 12.00 – 18.00
HTM:
Wisman Rp 50,000
Umum Rp 30,000
Anak-anak dan Pelajar Rp 15,000
Pusat perbelanjaan bagi sebagian besar kaum urban adalah tempat yang menyenangkan untuk berbelanja, bersantai, bersosialisasi dengan teman/kerabat atau sekadar mencuci mata. Namun, akan berbeda bagi seorang pejalan yang tidak suka berlama-lama tersendat di hiruk-pikuk dan lalu-lalang pengunjung mal yang terkadang terlihat arogan. Rasa bosan akan menghinggapi ketika tujuan utama sudah terselesaikan. Hal berbeda saya temukan ketika melangkah ke Lotte Avenue, dan menemukan kesenangan di sana, mengeksplorasi Ciputra Artprenuer. Salute dengan visi pak Ci, membangun Ciputra Artprenuer untuk mendekatkan seniman dengan masyarakat pecinta seni Indonesia dan mendedikasikan tempat ini untuk masyarakat Indonesia. Saleum [oli3ve].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H