Lalu lintas Jakarta tak terlalu padat pagi itu. Pemandangan ke ruang penumpang dalam bus, moda transportasi umum yang lalu lalang di jalan pun tampak longgar. Tak seperti di hari biasa dijejali penumpang, yang berbagi ruang gerak di antara punggung yang berdesakan, saling menempel satu dengan yang lain.
“Jakarta kalau begini asik ya, Bu,” Agus (sebut saja begitu), pengendara ojek yang motornya saya tumpangi membuka percakapan saat kami mengantri di lampu merah Kuningan. Minggu pagi itu, saya memang sengaja memilih memanggil jasa ojek untuk mengantarkan ke Stasiun Beos. Obrolan kami terus berlanjut sepanjang perjalanan 10 km menuju pusat kota. Agus menjelaskan, dirinya bergabung dengan PT GoJek Indonesia sejak Desember 2014.
“Bulan pertama bergabung manfaatnya belum kerasa Bu, tapi setelah berjalan 3 (tiga) bulan hasil ‘narik (ojek) sangat terasa,” kata Agus di sela-sela desah cempreng knalpot kopaja yang melintas di sisi kanan kami. “Maaf ya Bu, motor saya nggak bisa diajak ‘ngebut, ”lanjutnya. Efisiensi waktu juga dirasakan oleh Agus karena dirinya bisa dengan leluasa mengatur sendiri kapan mau mengambil orderan dan mengisi waktu dengan keluarga serta melakukan kegiatan lainnya.
Dalam kurun waktu 4 (empat) bulan setelah meluncurkan program aplikasi mobile pada awal 2015, GoJek yang sudah berdiri sejak 2011 mulai dirasakan sebagai pesaing yang dituding akan mematikan rejeki pengojek pangkalan. Bahkan, dalam sepekan ini banyak isu seputar gonjang-ganjing GoJek yang berkembang dan disebar melalui media sosial, disambut dengan ragam tanggapan dari berbagai sudut oleh warga Jakarta. Maka, salahkan Nadiem Makariem si penggagas GoJek karena aplikasi mobile GoJek-nya marak diunduh dan jasa GoJek lebih banyak dilirik oleh warga Jakarta yang memiliki ketergantungan pada teknologi, tidak mau ribet dan mengharapkan hasil yang instan sesuai kebutuhan. Bukankah itu sejalan dengan tuntutan jaman? Coba perhatikan hasil survey dari MarkPlus di bawah.
Ketika ditanya persyaratan menjadi pengendara GoJek yang konon ribet dan memberatkan pengojek pangkalan untuk bergabung di GoJek, Agus berpendapat itu karena ketidakpahaman rekan-rekan pengendara ojek. Setiap calon pengendara GoJek diwajibkan oleh perusahaan untuk menyerahkan dokumen penting sebagai jaminan berupa kartu keluarga, akta kelahiran dan surat nikah ketika lolos seleksi menjadi pengendara GoJek. Hal yang lumrah pada proses penerimaan karyawan suatu perusahaan.
“Untuk kebaikan kita juga koq Bu, kalau terjadi sesuatu pihak kantor gampang menghubungi keluarga.” Agus juga menjelaskan, ketika diterima menjadi pengojek di GoJek dia dan rekan-rekannya mendapatkan pelatihan singkat pengenalan dan panduan menggunakan aplikasi GoJek serta peraturan yang mesti ditaati. Ditambahkannya pula, setiap Kamis para pengendara GoJek dibagi kelompok dan dijadwalkan untuk mengikuti pelatihan tertib lalu lintas yang diberikan oleh Polda Metro Jaya.
Selain Jakarta, saat ini GoJek sudah beroperasi di Bali, Bandung dan Surabaya dengan 10.000 pengendara ojek; 50 diantaranya adalah perempuan. Setiap pengendara GoJek akan mendapatkan masing-masing 2 (dua) buah jaket dan helm serta perlengkapan masker dan tutup kepala untuk penumpang. Jika ada di antara pengendara yang tidak mematuhi prosedur yang disepakati bersama perusahaan, pengguna jasa GoJek dapat segera melaporkan yang bersangkutan ke layanan pelanggan GoJek.
Tak lebih 30 menit perjalanan, kami sampai di depan Stasiun Beos, Jakarta. Karena penasaran selama dua hari berturut-turut hanya membayar Rp 10,000 setiap menggunakan jasa GoJek, saya pun bertanya kepada Agus, “Mas, tadi di aplikasi saya Mampang ke sini tarifnya hanya Rp 10,000. Mas tidak rugi?”
“Oh, nggak Bu, tarif promosi ramadhannya memang segitu, sisanya ditransfer sama kantor ke dompet GoJek saya. Kalau mau, cobain jarak jauh sekalian Bu, asal nggak lewat 25 km bayarnya sama sepuluh rebu.”
Para pengojek pangkalan punya peraturan tak tertulis mengenai pembagian jadwal menarik pelanggan. Pengojek yang mangkal di komplek perumahan biasanya lebih tertib namun sebagian besar yang berada di sekitar jalur perhentian bus akan berebutan calon penumpang tanpa peduli pada kenyamanan calon pengguna jasanya. Bagaimana tidak, disaat bus baru memberi tanda menepi untuk menurunkan penumpang, mereka sudah meraung-raung di sisi bus, menghalangi di depan pintu. Belum lagi kalau mereka mengeluarkan kata-kata kasar dan tak sopan karena dorongan kompetisi untuk mendapatkan penumpang. Pengojek pangkalan juga memiliki ikatan yang kuat satu sama lain termasuk dengan pelanggan setianya. Contoh, ketika bermain ke Bendungan Hilir misalnya, dari jauh ketika melihat saya turun dari bus para tukang ojek yang mangkal di bawah JPO (=jembatan penyeberangan orang) sudah hapal siapa yang akan saya dekati. "Langganan De!" teriak mereka ke bang Ade, tukang ojek langganan saya. Mereka tidak protes dan hanya tersenyum ketika saya memilih untuk berjalan kaki.
Kegiatan di pasar akan berjalan ketika ada 3 (tiga) faktor penentu ini produsen, produk serta konsumen. Jika ingin berhasil menjual produknya, produsen tentu akan menawarkannya lewat promosi dengan strategi yang jitu agar dipilih oleh pembeli. Sedang, di sisi konsumen, mereka tentu akan membandingkan keunggulan satu produk yang ditawarkan di pasar sebelum menentukan produk mana yang sesuai dengan kebutuhannya. Kepuasan terhadap satu produk atau jasa dari brand tertentu, tidak menutup kemungkinan untuk terus membeli atau menggunakan jasa tersebut bukan? Hal yang sama berlaku pada jasa angkutan umum, saya memilih menumpang moda transportasi yang dapat dipercaya dan aman. Bagaimana dengan Anda? Salam pelanggan ojek [oli3ve].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H