George Town, salah satu destinasi impian yang telah lama diidam-idamkan untuk dikunjungi. Bersyukur di penghujung 2013 lalu, kaki akhirnya dijejakkan di kota yang didirikan oleh Opa Francis Light pada 11 Agustus 1786 ini. Tak salah bila George Town yang dipaketkan dengan Malaka mendapat pengakuan UNESCO pada 7 Juli 2008 sebagai World Heritage City. Bagi pecinta sejarah, arsitektur, kuliner, seni dan budaya; George Town adalah surga.
[caption id="attachment_313394" align="aligncenter" width="486" caption="Welcome to Penang, melintasi Penang Bridge menuju George Town (dok. koleksi pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_313396" align="aligncenter" width="486" caption="Tugu untuk mengenang para korban semasa perang termasuk pada masa konfrontasi Indonesia - Malaysia (1963-1966) (dok. koleksi pribadi)"]
Hasrat awal bila menjejak di George Town adalah sesegera mungkin menjumpai Opa Francis. Sayangnya di hari kedatangan, kaki ini baru menjejak di Kota Padang Lama 30 menit jelang gerbang Fort Cornwallis ditutup.Jadilah senja itu hanya bisa menikmati dinding benteng dari kejauhan sembari berpusing-pusing sejenak di kawasan German Heritage Trail yang dipenuhi warga.
Hari kedua di Penang hasrat diperteguh untuk menemukan Jalan Aceh. Sejak melangkah dari Eastin tak henti berharap punya kesempatan untuk melongok kawasan yang menyimpan banyak jejak Aceh itu. Hati pun girang tak terkatakan ketika siang itu kami kembali ke George Town untuk makan siang. Begitu turun dari bis, pandangan terbentur pada penanda jalan yang terpancang di depan pintu Armenian Street Heritage Hotel, LEBUH ACHEH. Oooohhhh maaaaaak! Apalah maksud semua ini?
[caption id="attachment_313400" align="aligncenter" width="486" caption="Lebuh Acheh, salah satu jalan yang telah ada semenjak kota ini dibuka (dok. koleksi pribadi)"]
Kami menyeberang ke arah Jl Armenian menuju Jawi Cafe untuk makan siang. Di persimpangan Jl Armenian dan Jl Aceh, kembali mata ini terpikat pada sebuah bangunan di pojok kiri jalan. Ketika ditengok secara seksama pada penanda yang terpampang di gerbang, terbaca tulisan bahwa rumah tersebut adalah rumah seorang bangsawan Islam pada awal abad 19, Syed Mohd Alatas seorang warga Aceh keturunan Arab; Ketua Masyarakat Masjid Aceh semasa meletusnya kekacauan di Penang pada 1876. Rumah ini sekarang difungsikan sebagai Muzium Islam Pulau Pinang.
[caption id="attachment_313402" align="aligncenter" width="486" caption="Jelang senja, para pedagang loakan seperti ini akan ramai menggelar dagangannya di sekitar Lebuh Armenian (dok. koleksi pribadi)"]
Hari terakhir di Penang, hanya punya waktu 30 menit untuk menemui Opa Francis. Saat yang lain pergi menikmati es cendol di Kota Padang Lama, kaki ini melangkah ke dalam gerbang Fort Cornwallis ditemani Edgar dan Gael, duo blogger kondang dari Filipina. Dari gerbang kami berpencar, langkah ini terus mengikuti hasratnya menyusuri Cornwallis.
Di puncak Fort Cornwallis sekejap pejamkan mata, kuhirup aroma garam yang dihembuskan angin dari Selat Malaka. Ooooh maaaaaak, aroma yang sama yang penuhi rongga dada ketika berdiri di utara benteng IBU baru saja melesak ke dalam paru-paru kala teriakan dan lambaian dari luar benteng menghentak alam sadar, “Olyviaaaaaaaaa!”
[caption id="attachment_313405" align="aligncenter" width="486" caption="Sri Rambai, saksi bisu sejarah Aceh masih setia memandang ke Selat Malaka (dok. koleksi pribadi)"]
Aaaarrgggghhhh, 30 menit berlari bagai 30 detik! Belumlah puas langkah ini menyusuri ujung-ujung benteng dan menghitung jejak-jejak yang tertinggal di sana. Belumlah tuntas rindu ini tersampaikan. Masih ada sisa waktu 1 menit sebelum berlari ke bis. Kuhampiri Sri Rambai, lembut kuusap tulisan Arab Melayu yang terpatri di punggungnya sembari membisikkan rindu dari Nanggroe,”hei Rambai, takkah kau rindu pada bumi Keumala?”