Rintik hujan masih nyaring terdengar saat pagi mulai menyapa Kutaraja (=Banda Aceh). Sempat ragu beranjak dari peraduan andai tak mengingat pagi ini hendak menyusuri kawasan pantai barat Aceh. Meski niat awal pulang ke Aceh kali ini adalah (kembali) menyusuri jejak sejarah yang tertinggal di sekitar Kutaraja hingga pantai timur Aceh; godaan keindahan alam wilayah barat ternyata tak dapat ditepis.
Usai mengganjal perut dengan sarapan yang tersedia di meja makan, kami bergegas meninggalkan penginapan. Karena Kak Linda yang sejak hari pertama setia menemani perjalanan mendadak meriang, hari ini kami berkeliling dengan Avanza veloz andalan pak Adi. Geurutee adalah target utama yang hendak dituju. Kepada pak Adi saya pun membeberkan detail agenda perjalanan sehari penuh yang telah dipersiapkan. Setelah berunding dan memperhitungkan waktu yang akan terpakai di perjalanan, kami sepakat untuk mengawali langkah dari Lampisang.
[caption id="attachment_6099" align="aligncenter" width="486" caption="Pemandanganan di Lhoknga (dok. koleksi pribadi)"] [/caption]
Hujan yang sempat reda kembali menderas saat kendaraan memasuki pelataran rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang. Duuuh, kalau seharian cuaca tak bersahabat mau melihat apa di Geurutee? Pak Adi dengan yakin mengatakan cuaca di Geurutee menjelang tengah hari pasti lebih bersahabat meski tak bisa dipastikan cerah melihat langit Aceh yang sedang diliputi kabut.
Puas bermain di rumah Lampisang, perjalanan dilanjutkan ke barat menyusuri jalan raya Banda Aceh – Calang, menyusuri wilayah yang dulu rusak parah ketika dilanda tsunami Desember 2004. Melintasi jalan yang lebar dengan pemandangan kiri kanan yang menakjubkan serasa tak sedang di Nangroe. Melihat ke kiri deretan perbukitan dan sawah, lalu memandang ke kanan jalur pantai memanjang nan elok yang sayang untuk dilewatkan.
[caption id="attachment_6109" align="aligncenter" width="486" caption="Pemandangan lain di kawasan hutan lindung sepanjang jalan raya Banda Aceh - Calang (dok. koleksi pribadi)"]
Menjelang Calang, pak Adi menawarkan untuk mampir ke Air Terjun Seuhom. Meski tak ada di dalam itinerary, tawarannya kami terima dengan senang hati; toh destinasinya tak melenceng jauh dari jalur yang kami lalui.
[caption id="attachment_6112" align="aligncenter" width="486" caption="Adeeeeeeem, membelah bukit ... melihat jalan yang mulus dan pemandangan yang begini berasa nonton film western ya ;) (dok. koleksi pribadi)"]
Dari Seuhom perjalanan berlanjut hingga sampai di Geurute disambut langit yang diselimuti awan tebal. Tak lama hujan rintik-rintik turun disertai kabut. Kami memilih duduk menikmati pemandangan berkabut ditemani segelas khupi itam panas di salah satu kedai di bibir jalan. Hidup itu indah ketika kita bisa mensyukuri setiap nikmatnya.
[caption id="attachment_6106" align="aligncenter" width="486" caption="Nikmatnya khupi di puncak Geurutee (dok. koleksi pribadi)"]
Sebenarnya masih ada destinasi yang menggiurkan yaitu ke Lamno serta beberapa tempat bersejarah di sepangjang jalur barat, namun waktu membatasi gerak. Dalam hati pun berjanji bila berkesempatan mudik lagi pasti dijadwalkan susur pantai barat hingga ke Lamno. Kala rintik hujan mulai senyap, kami bergegas turun dari Geurute kembali menyusuri jalan raya Calang - Banda Aceh.
[caption id="attachment_6110" align="aligncenter" width="486" caption="Jembatan di atas Krueng Peudeng sumbangan dari USAID, berasa dimanaaaa gitu ya"]
Di tengah jalan perut yang seharian hanya diganjal dengan aneka cemilan dan sepiring mie instan rebus di Seuhom mulai kriyuk-kriyuk, sayang tak terlihat tempat yang menjanjikan untuk dihampiri. Tak tahan dengan aksi protes dari kampung tengah, kami berhenti sejenak di salah satu jambo (=gubuk di pinggir jalan) membeli jagung bakar lalu bergegas masuk kendaraan karena si kaki panjang mendadak membasahi Nangroe dengan derasnya.
Bersyukut perjalanan kali ini ditemani pak Adi yang sudah katam dengan tempat-tempat yang asik untuk memanjakan mata. Pak Adi membawa Avanza veloz-nya dengan sangat smooth sehingga jalan berkelok-kelok yang dilewati tak membuat kepala berputar. Meski melintas di jalan yang mulus nan sepi, tak sedikit pun beliau tergoda untuk memacu kendaraan melebihi batas maksimal. Dan karena menguasai medan, beberapa kali kami diajak menepi untuk menikmati pemandangan. Padamu hei Nangroe, satu hari nanti saya pasti kembali! Salam pejalan [oli3ve].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H