Hari ini 228 tahun yang lalu di salah satu sudut ruang kaum perempuan dalam Keraton Yogyakarta; seorang perempuan menggeliat menahan sakit melahirkan. Hari jelang fajar ketika suara tangis itu memecah senyap … Jumat Wage, 11 Nopember 1785 seorang calon pemimpin besar lahir ke dunia. Bayi lelaki, putera sang fajar, sulung dari Hamengkubuwono III diberi nama Raden Mas Antawirya (Jawa : Ontowiryo).
Cucu kesayangan Sultan Mangkubumi yang telah diramalkan oleh sang kakek, satu hari nanti akan memusingkan pemerintah Hindia Belanda ini; di kemudian hari lebih dikenal dengan Pangeran Diponegoro.
[caption id="attachment_300774" align="aligncenter" width="486" caption="Pentas Tetar Mini Pelana Kuda Pangeran Diponegoro di Museum Nasional Jakarta (dok. koleksi pribadi)"][/caption]
Sehari sebelum ulang tahun Pangeran Diponegoro, bertepatan dengan hari Pahlawan, Minggu (10/11/2013); Komunitas Akhir Pekan di Museum bekerjasama dengan Teater Koma mempersembahkan sebuah pentas teater mini di Museum Nasional, Pelana Kuda Pangeran Diponegoro. Kegiatan yang digelar setiap akhir pekan dengan tujuan untuk memperkenalkan perjalanan sejarah bangsa lewat koleksi-koleksi Museum Nasional melalui program edukasi publik ini telah dimulai sejak 8 September 2013 lalu.
Satu hal yang menarik dari pementasan teater mini kali ini adalah personifikasi kuda kesayangan Pangeran Diponegoro, Kyai Gentayu menuturkan perjalanannya selama mendampingi sang Pangeran hingga perpisahan mereka karena pangeran ditangkap dan diasingkan ke Makassar.
[caption id="attachment_300775" align="aligncenter" width="486" caption="Kyai Gentayo dan pelana kuda Pangeran Diponegoro (dok. koleksi pribadi)"]
Kedekatan si kuda hitam dengan majikannya sangat terasa membawa penonton hanyut dalam setiap tutur kisah yang disampaikan oleh Kyai Gentayu. Bagaimana sayang dan cintanya sang Pangeran kepada si Hitam usai berperang di Delanggu pada 28 Agustus 1826. Pangeran mengusap-usap lembut kepala Gentayu disertai pujian,”terima kasih Gentayu, tak salah aku memberimu nama Gentayu si burung jatayu, kuda hitamku!”
Pada pementasan ini dua buah artefak koleksi Museum Nasional yang sudah bertahun-tahun tidak ditunjukkan ke publik, dikeluarkan dan dipajang di sisi panggung kecil: Pelana Kuda dan Tombak Pangeran Diponegoro.
Perpisahan dengan sang Pangeran membawa kesedihan yang sangat dalam bagi Gentayu. Dia tak tahu dimana majikannya kini berada, masihkah ada kesempatan mereka bertemu saat usianya sudah di ujung senja? Sebuah kisah mengharukan. Kita sudah sering mendengar kisah keluarga yang terpisah karena perang namun sangat jarang ada penuturan tentang binatang peliharaan, pendamping dan kawan perjuangan manusia yang sangat kehilangan ketika majikannya tertangkap.
[caption id="attachment_300776" align="aligncenter" width="486" caption="Dua wisatawan mancanegara berbaur dengan pengunjung lainnya menikmati pementasan (dok. koleksi pribadi)"]
[caption id="attachment_300777" align="aligncenter" width="486" caption="Museum Nasinal HEBAAAAT! Teranyata belajar sejarah itu seru dan mengasikkan yaaa (dok. koleksi pribadi)"]
Pangeran Diponegoro ditangkap pada 28 Maret 1830 ketika memenuhi undangan perundingan dari Jendral De Kock di Karasidenan Magelang tanpa melakukan perlawanan. Beliau diasingkan ke Batavia lalu dipindahkan ke Manado sebelum dipindahkan dan menghabiskan hidupnya dalam pengasingan di Benteng Rotterdam, Makassar.
Sebuah terobosan pengenalan sejarah yang menarik, bisa dinikmati tidak hanya oleh generasi muda tapi juga para orang tua yang diharapkan dapat membantu anak-anak mereka mengenal sejarah bangsanya. Belajar sejarah itu mengasikkan kaaaaaan? Salam sejarah [oli3ve].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H