Langit cukup cerah sore itu namun cerianya tak dapat menyembunyikan duka yang masih terpancar dari mata Fandy. Kisah pilu 8 tahun lalu yang menimpa keluarga orang tua angkatnya masih menyisakan sendu. Ada nada pilu di ujung matanya saat salam terucap dari bibirnya yang bergetar menyambut uluran tangan kanan saya di depan Rumah Tsunami.
[caption id="attachment_231479" align="aligncenter" width="468" caption="Monumen Tsunami, Gelombang Waktu dan Puing di Gampong Punge Blang Cut, Banda Aceh (dok. koleksi pribadi)"][/caption]
Pada Minggu pagi (26/12/04) Iptu Pol. (Amt) Dewa M. Adrian beserta tujuh anggota keluarganya sedang menikmati sarapan di halaman samping rumah mereka ketika air bandang secara tiba-tiba datang dari belakang rumah memeluk dan menghanyutkan tubuh mereka. Kini bangunan dua lantai di jalan raya Ulee Lheue itu hanya bersisa lantai dasar, penghuninya tak pernah kembali lagi. Tsunami meninggalkan jejaknya lewat lima undakan tangga menuju lantai dua, lima pilar di depan dan samping rumah yang masih berdiri kokoh berikut dinding yang masih kekar menempel di lantai.
[caption id="attachment_231482" align="aligncenter" width="486" caption="Rumah Tsunami di jalan raya Ulee Lheue, Banda Aceh (dok. koleksi pribadi)"]
Daerah Ulee Lheue adalah kawasan yang mengalami kerusakan paling parah setelah diterjang gelombang tsunami. Menyusuri jalan ini sekarang tak terbayangkan bagaimana kondisinya delapan tahun lalu. Di Rumah Tsunami, demikian tulisan pada papan penanda yang terpancang di depan rumah yang kami singgahi dalam perjalanan ke Banda Aceh bersama rombongan Sahabat Museum (Batmus) sekembali dari Sabang, Sabtu (13/10/12) lalu.
Di sebuah warung di samping Mesjid Baiturrahim kakak Tjut berbagi kisah saat air bandang menerjang rumah mereka. Dia bertahan berpegang pada sebatang balok sembari terus melafalkan asma Allah, pasrah. "Rumah kami ya di sini,tempat kami kembali bangun rumah yang sudah hilang tersapu air bandang. Semua rata, kecuali mesjid tu!" Kakak Tjut satu diantara yang selamat dari terjangan air bandang dan bisa berkumpul kembali dengan keluarga yang terpisah karena terjangan tsunami.
[caption id="attachment_231483" align="aligncenter" width="468" caption="Mesjid Baiturahhim, Ulee Lheue, Meuraxa salah satu yang bertahan saat diterjang gelombang tsunami pada 2004 lalu (dok. koleksi pribadi)"]
Hampir serupa dengan Kakak Tjut, Helmy seorang kawan yang saya kenal dalam kunjungan ke Sabang bertutur sampai sekarang jika kupingnya menangkap bunyi seperti perputaran air, kenangan pahit akan pertiwa delapan tahun lalu kadang mengusiknya. Saat diterjang air bandang, dirinya tertolong oleh sebuah balok, bagai dalam mimpi tersapu secara tiba-tiba hingga tak sadarkan diri. Setahun dirinya didampingi dokter terapi dari Jepang membantu pemulihan trauma pasca tsunami. Roda kehidupan terus berjalan, langkah tetap harus diayunkan.
Indonesia Menangis, goresan yang terbaca di salah satu dinding Rumah Sakit Meuraxa, Ulee Lheue membuat mata basah. Di halaman rumah sakit yang kini menjadi salah satu tempat pemakaman massal bagi korban tsunami, kami memanjatkan doa untuk mereka yang pergi mendahului dan kekuatan untuk keluarga yang ditinggalkan.
[caption id="attachment_231484" align="aligncenter" width="468" caption="Kuburan Massal/Taman Makam Syuhada korban tsunami 26 Desember 2004, Banda Aceh dengan latar belakang bangunan bekas Rumah Sakit Meuraxa (dok. koleksi pribadi)"]
Setelah berkunjung ke beberapa tempat di Nusantara, Aceh meninggalkan kesan spesial hingga ke dalam sukma. Aceh menghadirkan getaran di hati, membuat pelupuk mata sembab, mengajak bibir tak berhenti berdecak kagum akan indahnya, pada kekuatan mereka yang berjuang untuk bangkit, pada keramahan yang kami terima ketika jejak dipijakkan, pada damai yang tercipta di sana dan pada perubahan melangkah ke masa yang akan datang.
Sebuah jembatan yang menjadi simbol pasca tsunami Aceh berdamai dengan konflik, membuka diri pada perubahan, terbentang di dalam Museum Tsunami Aceh, Banda Aceh. Sebuah harapan baru pun mekar membaca beragam kata damai tergantung di atasnya: assalamualaikum, bang, beket, damai, fred, friede, frieden, pace, palx, paz, pokoij, peace, vrede. Satu kata yang terpancar dari negara-negara yang peduli pada Aceh, pada Indonesia berjejer rapi dalam warna-warni ragam bendera kebangsaan. Hanya satu kata yang mengandung makna yang dalam, sebuah doa dan asa mengajak bergandengan tangan dengan sesama membangun Tanah Rencong.
[caption id="attachment_231485" align="aligncenter" width="312" caption="Jembatan Perdamaian dengan bendera-bendera bertuliskan kata damai dalam beragam bahasa di Museum Tsunami Aceh, Banda Aceh. (dok. koleksi pribadi)"]
Tsunami memang masih menyisakan jejak, namun melihat Aceh sekarang memberi kebanggaan tersendiri. Melalui jejaknya yang tertinggal; kita berkaca pada pelajaran dan pengetahuan tentang tsunami, perdamaian, perjuangan, kerja keras dan kebangkitan. Tuhan memberkatimu Aceh!
Rantepao, Toraja Utara, 26 Desember 2012
Sebuah catatan untuk Aceh, negeri perempuan perkasa Laksamana Keumalahayati; rindu ini tak pernah surut tuk bawa cita mengayun langkah (kembali) ke Tanah Rencong. [oli3ve]