Mohon tunggu...
Olive Bendon
Olive Bendon Mohon Tunggu... Administrasi - Travel Blogger

Travel blogger yang senang menceritakan perjalanannya (dan kawan berjalannya) yang berkaitan dengan sejarah, gastronomi, medical tourism, kesehatan mental lewat tulisan. Memiliki hobi fotografi, menonton teater, dan membaca buku. Ikuti juga jejaknya di OBENDON.COM

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Dieng Culture Festival, Ajang Jual Diri Pariwisata Dieng

7 Juli 2012   14:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:12 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puncak Dieng Culture Festival (DCF) 2012, jatuh pada Minggu, 1 Juli 2012 diisi dengan acara Ritual Ruwatan Rambut Gembel. Rambut gembel atau gimbal adalah rambut yang tumbuh menggumpal yang ditemui pada beberapa anak di Dataran Tinggi Dieng. Dari Ibu Nur yang menyediakan dua kamar besar di lantai dua rumahnya untuk kami inapi karena tidak mendapatkan kamar di penginapan, saya mendapat pencerahan bahwa anak berambut gembel ini diyakini sebagai anak bajang titipan Ratu Kidul. Bila rambut gembal hendak dipotong maka sang anak perlu diruwat terlebih dahulu, agar rambut gembelnya bisa berganti menjadi rambut biasa. Gembel tidak muncul dengan tiba-tiba, biasanya diawali demam pada si anak. Dalam ruwatan tersebut, ada permintaan khusus dari sang anak yang harus dituruti oleh orang tuanya; jika tidak maka gembelnya akan tetap muncul biarpun sudah dicukur. Gembel yang telah dipotong kemudian dilarung di sungai menuju laut selatan tempat bersemayam Gusti Kanjeng Nyai Roro Kidul. Penuturan Ibu Nur, menambah semangat saya menyantap sarapan yang baru diangkat dari perapian berupa sajian kentang rebus, sayur kacang, orak-arik telur dan tahu pedes yang berpindah ke perut dalam sekejap sebelum beranjak dari Kapak Benteng ke Dieng.

[caption id="attachment_199353" align="aligncenter" width="450" caption="Alfarizi, primadona bocah berambut gembel dari Dieng dikerubuti pengunjung saat menyaksikan ruwatan rambut gembel di Dieng (dok. koleksi pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_199354" align="aligncenter" width="450" caption="Ribuan pengunjung memadati pelataran Candi Puntadewa pada puncak Dieng Culture Festival 2012 (dok. koleksi pribadi)"]

13416695651727905972
13416695651727905972
[/caption]

Tempat acara dibatasi dengan kain putih yang mengitari kawasan candi Arjuna hingga Puntadewa, pihak penyelenggara pun memberlakukan ketentuan yang tidak dipahami oleh pengunjung. Anehnya, ketentuan yang dituturkan oleh setiap panitia berbeda! Awalnya setelah mengambil tempat di depan Candi Puntadewa, para pengunjung yang telah memadati pelataran candi diusir keluar oleh beberapa panitia dengan alasan kawasan tersebut boleh dimasuki setelah arak-arakan tiba di lokasi. Setelah menunggu satu setengah jam akhirnya sesajian dan permintaan anak-anak yang akan diruwat dibawa masuk ke lokasi. Beberapa pengunjung yang memakai tanda pengenal yang dikeluarkan oleh panitia, diijinkan melintas di depan Arjuna ke depan Puntadewa, padahal dari seorang panitia lainnya saya mendengar yang boleh masuk saat itu hanya yang memakai tanda pengenal wartawan. Penjaga pintu mulai kewalahan didesak oleh pengunjung yang merasa berhak ikut melihat dari dekat acara potong rambut karena telah membeli tanda masuk seharga Rp 25,000 per orang. Meski tak memiliki tanda masuk karena baru mengetahui aturan tersebut dari celoteh orang-orang, saya pasang kuda-kuda untuk ikut melompati pagar pembatas bersama beberapa warga yang berdiri di dekat saya. Begitu petugas lengah, saya turunkan kain pembatas, melompat pagar dan berlari kencang mengambil posisi di depan candi yang dibatasi oleh tali rafia kuning dan digantungi tulisan fotografer.

[caption id="attachment_199355" align="aligncenter" width="300" caption="Menanti prosesi pemotongan rambut gimbal, posisi khusus fotografer dan jurnalis ;) (dok. koleksi pribadi)"]

1341669650679754949
1341669650679754949
[/caption] [caption id="attachment_199357" align="aligncenter" width="450" caption="Bupati Banjarnegara menunjukkan potongan rambut gembel dari seorang anak yang berhasil dicukur (dok. koleksi pribadi)"]
13416697821102904048
13416697821102904048
[/caption] Massa yang melintas pagar putih semakin banyak, teriakan petugas kemanan yang meminta pengunjung untuk menunjukkan kartu identitas wartawan sebagai persyaratan berada di dekat Puntadewa tak digubris sama sekali. Saya merasa aman berjongkok disamping jurnalis dari Global TV, tak jauh dari kameramen Metro TV dan beberapa jurnalis daerah yang serempak mengeluarkan catatan kecil ketika acara dimulai. Badan sudah tak bisa bergerak sama sekali, yang bisa dilakukan hanya menggeser pantat dan kaki setiap lima detik sambil tak lupa berucap kata maaf kepada cowok-cowok yang duduk di samping kiri kanan dan belakang menghindari kaki kram. Karena tak memiliki ruang gerak yang cukup nyaman untuk mengeluarkan blocknote andalan dari dalam tas untuk menulis, saya terpaksa mengandalkan memori untuk merekam rangkaian acara sambil sesekali mengambil gambar kegiatan yang berlangsung di depan mata.

Tawa dan sorak pengunjung terdengar riuh rendah setiap kali pembawa acara membacakan beragam permintaan 6 (enam) bocah yang diruwat hari itu. Ada yang meminta seekor kambing, sepeda dan sepuluh butir telur ayam, anting-anting emas, lima mangkok bakso plus seekor ayam jago, uang Rp 1,000 dan Rp 100 serta yang bikin geeeer pengunjung adalah permintaan Milkita dan Milkuat. Ruwatan rambut gembel, biasanya diadakan menjelang bulan puasa; dulunya dilangsungkan secara sederhana oleh keluarga tapi tiga tahun ini tradisi ruwatan dijadikan ajang untuk menarik pengunjung ke Kawasan Wisata Dieng oleh penggiat wisata dan Dinas Pariwisata Banjarnegara. Ya, semacam ajang jual diri pemerintah daerah setempat, dijadikan komoditi andalan pariwisata daerah dan sebagai  acara puncak DCF setiap tahunnya.

Tak tahan kaki kram, usai pemotongan gembel anak ketiga saya beranjak dari kerumunan menembus lautan manusia mencari udara segar. Ternyata di belakang ada objek lain yang bisa dilihat, Rizi bocah berambut gembel yang menjadi primadona Dieng sedang dikerubuti pengunjung. Bocah berambut gimbal pari yang asik memainkan HP ini, menjadi pusat perhatian pengunjung yang berlomba menjangkau rambutnya, mengabadikannya dengan beragam kamera hingga Rizi berlari menghilang dari kerumunan.

Selain DCF, ada banyak objek wisata yang bisa disambangi saat berkunjung ke Kawasan Wisata Dieng. Beberapa diantaranya Telaga Warna, Telaga Pengilon, Goa Semar, Goa Sumur, Goa Jaran dan Dieng Plateu Theater (DPT) yang berada dalam satu kawasan. Tiket untuk masuk ke lokasi Rp 6,000/pengunjung, seharga tiket masuk teater untuk menonton film dokumenter fenomena alam di DPT. Pengunjung dapat pula menikmati wisata candi dengan menyambagi candi Hindu dari Candi Bima, Gatot Kaca, Puntadewa, Semar hingga Arjuna. Bila tak ingin repot, silahkan membeli tiket terusan di pintu masuk kawasan wisata seharga Rp 15,000/pengunjung.

Berkunjung ke Dieng belumlah lengkap bila belum mencicipi kentang goreng, jamur krispi, manisan carica dan ramuan dewa purwaceng yang dipercaya dapat meningkatkan stamina lelaki serta menghalau dingin. Mungkin karena gak pas ceng-nya, malam sebelumnya setelah menenggak segelas purwaceng jahe saya tetap melangkah ke warung sebelah membeli sarung tangan dan celana wool untuk menghangatkan kaki dari dinginnya malam. Jajanan khas ini banyak ditemui di sekitar objek wisata.

[caption id="attachment_199358" align="aligncenter" width="450" caption="Purwaceng, ramuan para dewa minuman khas dari Dieng (dok. koleksi pribadi)"]

13416700031561933407
13416700031561933407
[/caption] [caption id="attachment_199359" align="aligncenter" width="450" caption="Jangan kotori kawasan wisata dengan coretan tangan dan sampah anda! (dok. koleksi pribadi)"]
1341670113101233992
1341670113101233992
[/caption] Tanpa DCF, Dataran Tinggi Dieng sudah menjadi target kunjungan para pejalan dari dalam maupuan luar negeri. Kultur dan keindahan alamnya memikat mata, hadirkan kerinduan untuk mendatangi dataran tertinggi kedua dunia setelah Nepal ini. Sebagai pejalan yang selalu tertarik menikmati kultur dan budaya setiap tempat yang dikunjungi, harapan terbesar saya DCF tidak sekedar menjadi ajang pamer budaya dan mengisi pundi-pundi pemda serta penggiat wisata dengan menaikkan harga kala berlangsungnya DCF. Jadikanlah DCF sebagai ajang untuk memperkenalkan keunikan budaya dan kultur Diengkepada para pengunjung dengan mengelola kegiatannya dengan baik. Ruwatan gembel adalah sebuah prosesi yang sakral bagi warga Dieng, jangan sampai kesakralannya terkontaminasi oleh pungutan dan peraturan tak jelas dari penyelenggara. Pesan buat para pengunjung, tolong jangan kotori Dieng dan sekitarnya dengan tangan jahil dan sampah anda! Dengan atau tanpa DCF, suatu hari nanti saya pasti kembali ke Dieng. [oli3ve]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun