Pagi ini saya iseng bertanya pada Om Gugel, informasi apa yang bisa diberikan bila saya mengetikkan tiga kata "di timur matahari" ? Dalam waktu 0,08 detik ada sekitar 2,250,000 pilihan informasi ditampilkan di layar monitor dan 10 informasi teratas tentang film Di Timur Matahari yang sedang tayang di bioskop. Saya iseng lagi, dengan menambahkan dua kata di depan pencarian pertama menjadi "wr soepratman di timur matahari", hasilnya? 100% informasi yang ditampilkan berbeda! Adakah orang seiseng saya yang terpikir untuk menambahkan dua kata terakhir di depan pencarian awal?
Dengan cara iseng ini terjawab sudah kegelisahan Jay Wijayanto di Goethe-Haus Concert Hall, Jakarta Selasa malam (26/6) lalu. Bersama The Indonesia Choir (TIC) dan The Indonesia Children Choir (TICC), Jay Wijayanto sang konduktor mempersembahkan sebuah lagu wajib nasional yang mungkin asing di kuping beberapa penonton berjudul Di Timur Matahari karya WR Soepratman. Lagu yang mengaduk-aduk perasaan jika kita bisa menikmati dan meresapi pesan yang disampaikan lewat syairnya yang sederhana:
di timur matahari mulai bercahya
bangun dan berdiri kawan semua
marilah mengatur barisan kita
pemuda pemudi Indonesia
Maka sangatlah wajar bila sehabis melantukan lagu di atas, Jay Wijayanto berbalik dan bertanya kepada penonton yang menyesaki ruang konser malam itu,"kenangan apa yang pertama kali terbersit di pikiran anda saat mendengar lagu ini?" Seorang ibu di deretan penonton dekat panggung menjawab, Di Timur Matahari mengingatkannya pada kenangan masa kecil d Ambarawa, pergi pulang sekolah dengan berjalan kaki terkadang tanpa alas kaki.
Bagi saya pribadi, lagu tersebut membawa pada kenangan masa kecil menanti dengan sabar jadwal tayang acara Kamera Ria, Parade Senja atau Upacara 17 Agustus di TVRI pada era 80-an. Di Timur Matahari menjadi salah satu lagu wajib nasional yang sering diperdengarkan pada parade lagu-lagu perjuangan seusai Upacara 17 Agustus di Istana Negara. Melalui acara tersebut saya banyak belajar, mengenal dan menghapal lagu-lagu perjuangan. Mengingatkan saya pada mata pelajaran kesenian sewaktu duduk di bangku SD hingga SMP, bernyanyi di depan kelas. Ketika teman-teman sekelas lebih banyak memilih lagu pop, saya berulang-ulang tampil membawakan Rayuan Pulau Kelapa yang dihapalin dengan terkantuk-kantuk menunggu berakhirnya siaran TVRI, Teguh Kukuh Berlapis Baja atau Nyiur Hijau. Lagu yang sering membuat teman sekelas bertanya darimana saya belajar lagu-lagu tersebut, kan bu guru belum mengajarkan lagu itu?
Kembali pada konser TIC yang bertajuk Manik-manik Khatulistiwa, seperti pada konser-konser sebelumnya selain lagu perjuangan TIC dan TICC juga tampil membawakan lagu daerah maupun pop. Menurut Jay Wijayanto apresiasi kekayaan dan karya anak negeri harus dimulai dari bangsanya sendiri, banyak orang yang ribut-ribut ketika terjadi klaim budaya tapi bagaimana apresiasi mereka terhadap budaya daerahnya sendiri? Hal inilah yang ingin diperkenalkan dan dibangkitkan melalui konser interaktif yang digelar TIC untuk keempat kalinya. Jay yang cukup kocak menimpali setiap penampilan TIC ataupun TICC menjadikan acara konser bergulir tanpa terasa. Di sela-sela berakhirnya sebuah lagu, Jay acap kali memberikan pertanyaan yang mungkin tak terpikirkan oleh penonton maupun anggota TICC. Pertanyaan seperti Rasuna Said itu perempuan atau laki-laki, apa kepanjangan dari kata AT di depan nama AT Mahmud? Untuk meyakinkan jawaban pada pertanyaan pertama, Jay meminta yang penasaran untuk datang ke Pasar Festival dan memperhatikan patung Rasuna Said yang ada di sana.
[caption id="attachment_197679" align="aligncenter" width="450" caption="Di Timur Matahari karya WR Soepratman dibawakan oleh TIC dan TICC di Goethe-Haus Jakarta Selasa (26/6)"][/caption] Sesuatu yang unik dari konser TIC ketika mereka tampil membawakan Ave Maria di Nusantara. Mereka memadukan Ave Maria - J.S. Bach yang dibawakan oleh solis Alice C. Putri ditemani seorang Qori yang tampil membacakan Surat Al Maidah ayat 116-118 dan diiringi kelompok paduan suara yang sayup-sayup mendendangkan Kalimat Syahadat dan Salam Maria. Ada medley Ambilkan Bulan, Pamanku Datang dan O Amelia karya AT Mahmud yang dibawakan oleh TICC. Untuk mengenang Bapak Paduan Suara Indonesia Nottier Simanungkalit yang berpulang pada 9 Maret 2012 lalu, TIC pun membawakan beberapa lagu gubahan almarhum seperti ApiKemerdekaan dan Peralihan.
Yang membedakan TIC dengan konser paduan suara kebanyakan adalah ada satu sesi dimana konduktor selalu mengajak serta penonton untuk ikut bernyanyi. Maka penonton pun hanyut dalam syahdu turut melantunkan Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki.
[caption id="attachment_197678" align="aligncenter" width="450" caption="TIC mengajak penonton ikut menyanyikan Indonesia Pusaka (dok. koleksi pribadi)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H