Mohon tunggu...
Olive Bendon
Olive Bendon Mohon Tunggu... Administrasi - Travel Blogger

Travel blogger yang senang menceritakan perjalanannya (dan kawan berjalannya) yang berkaitan dengan sejarah, gastronomi, medical tourism, kesehatan mental lewat tulisan. Memiliki hobi fotografi, menonton teater, dan membaca buku. Ikuti juga jejaknya di OBENDON.COM

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Benteng Somba Opu, Potensi Wisata Sejarah Yang Diabaikan

27 Desember 2011   09:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:42 1795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rintik hujan berlomba menapakkan jejaknya di permukaan tanah ketika kendaraan yang saya tumpangi memasuki kawasan benteng Somba Opu, Makassar. Beberapa pelajar berseragam pramuka meliuk dengan sepeda motornya berboncengan melaju ke arah yang sama. Sebelum rasa bangga saya membuncah melihat kesadaran mereka berkunjung ke tempat wisata sejarah selepas jam sekolah, pemandangan siswa mojok di sekitar pohon dan reruntuhan benteng meredam rasa itu. Sebelum melewati gerbang, tampak menara seluncur waterboom dan bangunan berbentuk kandang burung di dalam kawasan Gowa Discovery Park (GDP) yang pembangunannya sempat mengundang protes keras dari para mahasiswa di akhir 2010 dan awal 2011 lalu. Spanduk sisa demo pun masih terlihat menggantung dijadikan penutup warung di salah satu rumah adat. Konon pembangunan GDP bertujuan untuk pelestarian kawasan cagar budaya benteng Somba Opu. Dari beberapa informasi di media online yang sempat saya unduh disebutkan GDP akan mulai beroperasi di 2012, namun hari itu tak nampak aktifitas layaknya mengejar target di sana mungkin pekerjanya sedang libur. Kendaraan pun melewati gerbang dengan bebas karena tidak ada pos penjagaan hingga sampai di depan Baruga Somba Opu; lalu berputar arah kembali ke depan. Maksud hati hendak bertanya kepada beberapa pemuda yang sebelumnya berkumpul di dekat rumah adat Mamasa, namun begitu sampai di sana mereka sudah tidak ada. Tak adanya petugas yang bisa ditanyai tentang benteng dan sekitarnya, membuat saya menikmati sendiri kunjungan ini. Museum Pattingalloang yang konon menyimpan barang-barang peninggalan kesultanan Gowa pintunya tertutup rapat sehingga saya tidak punya kesempatan untuk melihat koleksinya. Apakah saya salah memilih jadwal berkunjung?

[caption id="attachment_159415" align="aligncenter" width="300" caption="sisa kejayaan benteng Somba Opu dengan latar pagar Gowa Discovery Park (gambar: koleksi pribadi)"][/caption] Benteng Somba Opu dibangun pada masa pemerintahan Sultan Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallona pada tahun 1525 untuk menjaga pertahanan dari serangan VOC dan Portugis. Benteng Somba Opu adalah benteng pertahanan terakhir Sultan Hasanuddin dalam perang Makassar (1666-1669) melawan Belanda. Benteng Somba Opu jatuh ke tangan Belanda pada 22 Juni 1669, tapi Hasanuddin tetap tidak mau menyerah hingga akhir hayatnya. Pada 1669 benteng dihancurkan oleh Cornelis Speelmen-Gubernur Jenderal Belanda yang berkuasa saat itu. Awal tahun 1990-an di kawasan ini dibangun miniatur rumah adat dari berbagai etnis yang ada di Sulawesi Selatan dengan tujuan manjadikan kawasan ini lebih hidup sebagai kawasan wisata budaya. Dari yang saya tangkap masa itu, nantinya kawasan tersebut akan menjadi pusat kebudayaan dimana tiap-tiap daerah akan bergantian menampilkan kesenian daerahnya.

Setelah menyusuri sisa-sisa kejayaan kesultanan Gowa, saya kembali ke kompleks rumah adat Toraja yang di dalamnya terdapat 3 (tiga) bangunan rumah adat yang disebut tongkonan dan 3 (tiga) buah lumbung atau alang.Sebuah bangunan permanen berbentuk panggung berada di sisi kanan sebagai tempat pertunjukan kesenian dibiarkan terbengkalai, di atasnya terdapat poster berukuran besar Zaenal Tayeb investor yang membangun GDP berpose dengan Yassin Limpo ditemani burung-burung. Pada spanduk itu tertulis,"Selamat Datang, Mohon Doa Restu" disisinya master plan GDP ikut dipajang. Saya berdiri cukup lama memandangi rumah adat Toraja yang nasibnya tak jauh berbeda dengan rumah adat lainnya: tak terurus. Di depannya rumah adat Bugis telah menjadi warung indomie dan di sisi kanannya rumah adat Mamasa diselimuti rerumputan yang cukup tinggi. Sayang, jika investornya ingin memelihara kawasan Somba Opu dana yang ada bisa dimanfaatkan untuk membenahi kawasan miniatur Sulawesi Selatan yang sebelumnya telah ada.

[caption id="attachment_159417" align="aligncenter" width="300" caption="rumah adat Mamasa, salah satu rumah adat di kawasan benteng Somba Opu yang terbengkalai (gambar: koleksi pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_159418" align="aligncenter" width="300" caption="bastion yang tersisa di benteng Somba Opu (gambar: koleksi pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_159420" align="aligncenter" width="300" caption="kokoh, susunan bata benteng Somba Opu (gambar: koleksi pribadi)"][/caption] Bebeberapa catatan yang perlu menjadi perhatian pemprov jika ingin mengembangkan kawasan benteng Somba Opu menjadi kawasan wisata yang potensial adalah:

  • Denah lokasi, hal kecil tapi cukup penting menurut saya. Ditempatkan di kiri gerbang masuk dengan posisi terbalik membingungkan pengunjung untuk mengurutkan lokasi yang tergambar di denah. Jika melihat denah di papan petunjuk berikut, seharusnya papan diletakkan di sisi kanan gerbang.

[caption id="attachment_159414" align="aligncenter" width="300" caption="denah kawasan wisata benteng Somba Opu, Makassar (gambar : koleksi pribadi)"][/caption]

  • Tujuan pembangunan Taman Mini Sulawesi Selatan pada masa Ahmad Amiruddin tentulah untuk mendayagunakan kawasan benteng Somba Opu, sayangnya tidak berjalan sesuai rencana. Bahkan saat ini di kawasan tersebut juga dibangun GDP dengan tujuan untuk menjaga kelestarian kawasan benteng. Dimana korelasinya?
  • Menetapkan dengan jelas biaya perawatan rumah adat menjadi beban pemprov apakah masing-masing daerah? Sejauh mana kewajiban dari pemegang mandat untuk melakukan tugas perawatan dan pemeliharaan sarana yang ada?
  • Menghidupkan kembali kawasan yang lama mati suri dan menggelar kegiatan yang bermutu dan berkelas seperti : pameran, konser musik, sendratari dan lain sebagainya sehingga menarik pengunjung untuk datang.
  • Jika Zaenal Tayeb ingin membangun satu kawasan wisata bermain yang bermanfaat bagi masyarakat Sulawesi Selatan (menandingi Trans Studio?) mungkin bisa melihat apa yang dilakukan oleh Sastro Sendjojo dengan Jatim Park-nya di Batu, Malang. Di lahan seluas 15ha Jatim Park 2 tidak hanya sebagai kawasan wisata edukasi tapi pengelola juga menyediakan pelayanan kesehatan berupa poli gigi gratis untuk masyarakat sekitar dan taman bacaan.

Mengingat GDP akan menggunakan lahan di sekitar kawasan cagar budaya Somba Opu selama 30 tahun, semoga nasibnya tidak seperti benteng Vastenburg di Solo yang rata dengan tanah untuk pembangunan hotel namun sampai hari ini tidak ada kejelasannya. [oli3ve]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun