Siapa yang tidak kenal kota kembang Bandung ? Kota surga belanja dan kuliner yang ramai diserbu oleh warga Jakarta dan sekitarnya di kala week end, terlebih setelah dibukanya tol Cipularang 26 April 2005 lalu. Dulu keluar rumah sampai pusat kota paling butuh waktu 30 menit, eeeh sekarang keluar kompleks saja butuh waktu lebih 30 menit karena jalanan kompleks mulai terkontaminasi penyakit macet semenjak diakses umum sebagai jalan pintas menuju pusat kota.
Terkadang saya heran yang namanya FO/distro serta tempat jajanan di Jakarta maupun Bogor juga banyak, kenapa orang-orang masih rela tumplek plek memadati Bandung untuk belanja (baca : borong)? Dari segi harga gak jauh beda, tapi kalau ditambah ongkos ke Bandung, penginapan plus biaya jajannya dihitung-hitung jatuhnya malah lebih mahal. Pada akhirnya di akhir pekan jika tidak perlu banget sebagian warga Bandung mengalah dan memilih tinggal di rumah daripada kejebak macet diantara kendaraan berplat nomor B atau F yang kebanyakan berputar-putar “lost in the city” mencari suatu tempat. Maklum jalan-jalan di Bandung memang kebanyakan satu arah jadi kalau kelewatan atau sudah nyasar silahkan mencari putaran untuk kembali ke jalan lurus hehehe.
Sebagai warga “siluman”(KTP Bandung tapi sehari-hari menumpang hidup di Jakarta) tiap “mudik” selalu menyempatkan untuk menikmati Bandung ala saya dengan berjalan kaki. Gak pegel tuh kaki? Kayaknya lebih pegel duduk di mobil karena terjebak macet deh ! Hal ini pun dilakukan waktu mudik kemarin, tujuan awalnya sih mencari carrier tapi jadinya ngukur jalan hehe.
gedung jaarbeurs
Perjalanan kali dimulai saat turun dari angkot jurusan Antapani – Ciroyom di depan SMA Neg 3 & 5 Bandung. Gedung rancangan C.P. Wolff Schoemaker tahun 1916 ini pada masa pemerintahan Hindia Belanda merupakan sekolah menengah khusus untuk orang Eropa atau elit pribumi HBS (Hoogere Burgerschool) masih berdiri dengan gagah di Jl Belitung. Di seberangnya kompleks bangunan tua berpagar yang digunakan oleh Divisi Keuangan Kodam Siliwangi; biasanya tempat ini ramai saat dibuka pendaftaran dan perekrutan taruna. Menyeberang ke Jl Kalimantan saya mengitari gedung terus belok kanan ke Jl Aceh sampai ujung sebelum lampu merah perempatan Jl Banda – Jl Aceh ada Kantor Diklat Kodam Siliwangi. Di depan gedung dijaga patung ganesha yang besar dan 3 (tiga) pria seksi bertelanjang bulat tertunduk di fasad bagian atas lalu bagian bawahnya ada tulisan besar Jaarbeurs. Gedung Jaarbeurs ini juga hasil karya dari Schoemaker bersaudara (Wolff Schoemaker & R.L.A Schoemaker). Dulu setahun sekali di tempat ini diadakan pekan raya tahunan semacam pasar Gambir-nya Jakarta (yang sekarang kita kenal dengan Jakarta Fair); sayang ketika Jepang masuk Indonesia pada 1942 kegiatan tersebut terhenti. Tepat di seberang Jaarbeurs ada GOR Saparua lapangan olahraga tertua di Bandung, tempat yang sampai awal tahun 2000an sering dijadikan tempat pertunjukan musik underground. Setelah puas memandangi kang Atlas bersaudara, saya menyeberang dan berbalik arah menyusuri pedestrian di pinggir GOR yang teduh masuk ke Jl Saparua mencari pintu gerbang Taman Maluku yang ternyata sudah berpagar tinggi. Heran, taman koq dipagar bagaimana kita bisa menikmati keindahannya ? Dari hasil obrolan dengan Mang Asep penjual gorengan yang kebetulan mangkal di pojokan Saparua dapat info sudah setahun lebih taman itu ditutup karena sering dijadikan tempat maksiat. Sedari dulu ini taman terkenal sebagai tempat mangkalnya para banci untuk jualan, dan karena kerindangan pohonnya siang-siang pun suka ada yang mangkal. Ya, kalau di Jakarta terkenal dengan Taman Lawang-nya maka di Bandung ada Taman Maluku. Taman yang dulu dikenal dengan Molukkenpark dibangun pada 1919 hanya bisa dinikmati dari balik pagar karena pintu masuknya digembok. Sayang banget, belum lagi aroma menyengat dari tempat pembuangan sampah yang berada persis di samping tempat berdirinya patung Pastur H.O. Verbraak S.J. Pastur yang dikenang karena kebaikan hatinya dan disegani karena cinta kasihnya adalah imam pasukan Hindia Belanda semasa perang Aceh. Pastur Verbraak adalah pastur pertama Gereja Hati Kudus Aceh salah satu bangunan tua yang tidak ikut tersapu ketika tsunami menerjang Aceh (aaah, jadi pengen ke Aceh).
SMAN 3 & 5 Bandung Patung Pastur H.O. Verbraak S.J di Taman Maluku
Karena hasrat untuk berleha-leha di Taman Maluku tidak kesampaian, sempat bingung mau melanjutkan perjalanan ke Dago ataukah turun ke Braga ? Gak mau berlama-lama di kawasan militer, belok kiri menyusuri Jl Sulawesilalu belok kanan kembali ke Jl Aceh berjalan hingga Jl Merdeka. Jaman kuliah dulu jika hendak ke pameran di Braga biasanya mengambil jalan pintas masuk ke halaman Balaikota tapi berhubung pintunya ditutup terpaksa menyeberang menyusuri Jl Aceh lalu belok kiri masuk Jl Wastukencana. Tepat di perempatan Wastukencana dan Perintis Kemerdekaan jika kita menengok ke kanan terdapat bangunan hasil rancangan Wolff Schoemaker lainnya yaitu Gereja Bethel yang dibangun 1925.
Menyeberangi lampu merah masuk ke Jl Braga, di sisi kiri terdapat Gedung Bank BI yang dirancang oleh Hulswit, Fermont dan Edward Cuypers dan dibangun pada 1915. Kaki terus melangkah melintasi rel kereta lalu berhenti di seberang Landmark yang lagi-lagi dirancang oleh Wolff Schoemaker. Landmark Building dibangun 1922 dulunya adalah toko buku terkenal van Dorp, kalau sekarang biasa digunakan sebagai tempat pameran toko buku ataupun komputer dalam skala besar. Dulu semasa di Bandung sempat ibadah beberapa kali di sini saat gedung disewa oleh Bethany Bandung untuk tempat ibadah minggu sebelum pindah ke Manggala Siliwangi. Setelah 1997 belum pernah masuk lagi kecuali menikmati bangunan ini dari luar setiap kali melintas di Braga.
Dari depan Landmark saya melanjutkan berjalan melintasi bangunan-bangunan tua sepanjang Braga hingga tiba di depan Sumber Hidangan. Ternyata kalau hari Minggu toko roti djadoel ini tutup, batal lagi deh menikmati roti idaman. Di Braga juga terdapat toko buku djadoel yang masih buka hingga sekarang. Pertama kali tahu tempat ini waktu diajak menemani kakak sepupu mencari literatur untuk bahan kuliah terus beli cemilannya di Sumber Hidangan. Kalau tidak salah nama toko bukunya Toko Djawa satu lagi saya lupa. Pernah dengar Braga Stone ? Itu nama beken musisi tunanetra yang dulu sering mangkal di Jl Braga memainkan kecapi membawakan lagu-lagu pop Barat maupun Indonesia. Kenangan akan Kang Supeno aka Braga Stone membawa langkah saya terus terayun melewati gedung Sarinah yang sudah terbengkalai padahal dulunya department store yang cukup besar hingga sampai di depan Museum Konferensi Asia Afrika. Baju mulai basah oleh keringat sementara 2 impian leha-leha terlewatkan membawa saya melangkah ke dalam museum untuk ngadem sekaligus berkunjung melihat koleksi museum. Pada 18 -24 April 1955 tempat ini menjadi saksi bisu pertemuan para petinggi 29 negara melangsungkan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang melahirkan Dasa Sila Bandung. Dokumentasi serta koleksi KAA 1955 bisa kita lihat di sini.
museum konferensi asia afrika
Museum berada di Gedung Merdeka yang dulunya adalah gedung Societeit Concordia tempat para preanger planters (sebutan untuk orang Belanda pemilik perkebunan teh di Priangan) biasa berkumpul dan bersosialisasi menikmati pertunjukan kesenian, dansa maupun jamuan makan. Gedung ini terbagi dua : sisi barat gedung yang menghadap ke Jl Asia Afrika merupakan rancangan Wolff Schoemaker pada 1920 sedangkan bangunan sebelah timur dirancang A.F Albers pada 1940. Keluar dari museum, berbelok ke kiri Jl Asia Afrika melewati Savoy Homann hotel pertama di Bandung yang mulanya adalah sebuah hotel berbilik di tahun 1880 lalu dibangun berdasarkan rancangan A.F. Albers pada 1930. Jadi ingat pengalaman pertama makan di hotel ya di Savoy pada 1993 dijamu makan siang sama Om & Tante dengan pesanan khusus sop buntut yang terkenal. Hotel ini memegang peranan penting menjadi tempat tinggal para tamu kenegeraan bahkan bintang film bisu Charlie Chaplin tercatat 2x menginap di Savoy. Ketika berlangsungnya KAA, para tamu negara tinggalnya di Savoy dan Preanger Hotel tidak jauh dari Gedung Merdeka. Di sebelah kiri Savoy ada satu bangunan tua yang tampaknya tak terpakai lagi konon bekas shopping mall pertama di Bandung de Vries milik J.R. De Vries.
Tak jauh dari Savoy Homann terdapat satu monumen stoomwals tepatnya di dalam pagar Kantor Dinas Pekerjaan Umum dan di depannya di atas trotoar terpancang monumen KM 0 kota Bandung di atas tanah tempat Deandels menancapkan tongkatnya pada 1810. Berjalan ke arah timur ada Hotel Preanger (=Priangan Planters) yang didesain oleh Wolff Schoemaker dibantu oleh muridnya mantan presiden RI pertama Ir Soekarno pada 1929. Tenggorokan mulai kering saat berbelok ke Jl Tamblong membuat saya bergegas memilih sebuah meja pojok di Rasa Ice Cream & Bakery menikmati pesanan Coconut Royale yang dihidangkan dalam batok kelapa muda dengan segelas air kelapa plus Jus Stroberry. Lama gak bertandang ke toko ice cream djadoel yang sudah berdiri sejak 1930 ini, ternyata bangunannya sudah diperluas tapi menu andalannya masih ada. Rasa haus terpuaskan digantikan dengan impian baru untuk segera menjejakkan kaki menyusuri Bandung di kesempatan berikutnya.
Sedikit tips sebelum berjalan :
Jika takut terpapar cahaya matahari, perlengkapi diri dengan topi serta pilihlah berjalan di pagi hari saat udara masih segar dan matahari belum terlalu tinggi atau di sore hari kala matahari mulai tenggelam. Bawalah selalu kamera saku di tas untuk mengabadikan jejak langkah anda. Dengan meminjam tagline Rase FM sadayana let’s keep Bandung beautiful euy! [oli3ve]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H