Masih ingat keriaan yang terjadi ketika negara tetangga mengklaim batik sebagai warisan budayanya? Media sosial ramai dengan beragam komentar sampai sumpah serapah saling menuding karena semua merasa paling berhak dan benar. Yang tadinya diam tak mau tahu (boro-boro peduli) batik, turut keriaan. Lupa selama ini memilih cuek. Ya, hati biasanya baru tersulut ketika harta berharga yang kita miliki, yang tadinya tak kita hiraukan (atau tak disadari ada di sekitar kita) mulai diusik orang lain.
Berangkat dari keterusikan inilah, Sabtu (14/11/2014) siang bertempat di Alun-alun Indonesia, Grand Indonesia, Jakarta; Toraja Melo menggelar diskusi buku Untannun Kameloan: Textile of Toraja, Mamasa, Mamuju, Rongkong, Sulawesi. Tampil sebagai panelis Lynda Ibrahim, jurnalis The Jakarta Post, Barbara Johnson, pemerhati wastra Indonesia, Nina Jusuf, in-house designer, Olive Bendon, travel blogger berdarah Toraja dan Jihan FL.Dillon sebagai pemandu jalannya perbincangan.
[caption id="attachment_376657" align="aligncenter" width="486" caption="Untannun Kameloan, Textiles of Toraja, Mamasa, Mamuju, Rongkong, Sulawesi, Indonesia (dok. koleksi pribadi)"][/caption]
Untannun Kameloan secara harafiah berarti menenun kebaikan. Sebuah ungkapan dari bahasa Toraja yang memiliki makna sangat dalam. Berasal dari dua suku kata untannun (tannun = tenun, untannun = menenun) dan kameloan (melo = baik, indah, tulus, kameloan = kebaikan, keindahan, ketulusan, kasih). Jadi, untannun kameloan berarti melakukan sesuatu dengan kesungguhan hati yang didasari oleh kasih untuk kebaikan bersama.
Dalam perjalanan ke Toraja akhir 1997 lalu, berempat kawan kami menghadiri upacara Rambu Tuka’ (=upacara syukuran tongkonan/rumah adat Toraja) yang digelar oleh keluarga bangsawan di satu kampung. Memasuki tempat upacara, mata terpukau melihat aneka wastra yang terlihat menghiasi sekeliling tempat itu. Ada yang digantung di atas lettoan (=sejenis lumbung mini yang dihias untuk membawa hasil pertanian dan babi pada upacara syukuran). Aneka corak wastra panjang pendek yang sebelumnya tak pernah terlihat bahkan sebagian besar sudah sobek di sana sini; mendadak hadir di depan mata.
[caption id="attachment_376658" align="aligncenter" width="486" caption="Wastra Toraja sebagai pelengkap upacara adat Rambu Solo dipakai untuk menghias lakkean, tempat mengistirahatkan jenazah selama upacara berlangsung (dok. Chandra Christrianti)"]
[caption id="attachment_376659" align="aligncenter" width="486" caption="Dahulu tau-tau (patung si mati) terbuat dari kayu dan diberi baju terbaik dari yang meninggal untuk ditempatkan di kuburannya. Sekarang, bisa pesan patung batunya dari perajin di Bali (dok. Chandra Christrianti)"]
Dari seorang tetua adat di tempat upacara, saya mendapat informasi bahwa wastra yang ada hari itu bukan sembarang wastra. Hanya orang-orang tertentu dengan strata sosial tinggi dalam masyarakat yang memilikinya dan dikeluarkan hanya saat upacara adat; entah itu Rambu Tuka‘ atau pun Rambu Solo’ (=upacara kedukaan). Sekembali ke Jakarta, saya melupakan semua pemandangan tersebut hingga pada 2010 ketika berbincang dengan 3 (tiga) orang penenun sepuh di To’ Barana, desa wisata di Toraja Utara; ucapan mereka sungguh bikin miris,”jika kami mati, tidak ada mi yang kasih terus.” Artinya .. ketiadaan regenerasi membuat tenun Toraja di ambang kepunahan!
September 2012, memenuhi amanat dari seorang kawan di Toraja Cyber News, saya berangkat ke Museum Tekstil untuk meliput kegiatan Pameran Tenun Toraja, Untannun Kameloan. Di sana saya bertemu dan berkenalan dengan Diana Iriana Jusuf, CEO dan founder Toraja Melo. Mantan Sekertaris Jenderal (Sekjen) Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang akrab disapa Dinny Jusuf ini, juga pernah berkecimpung di dunia perbankan; mengabdikan diri untuk berbagi semangat dan memulai usahanya karena mimpi dan kecintaannya pada tenun Toraja.
[caption id="attachment_376660" align="aligncenter" width="486" caption="Berpacu dengan waktu, Nenek Butung salah seorang penenun sepuh di To"]
[caption id="attachment_376665" align="aligncenter" width="312" caption="Tenun Toraja dikenakan pada upacara rambu solo"]
Tak mudah untuk masuk ke dalam satu lingkungan yang dipagari dengan seksama hingga terasa asing bagi warga di lingkungan itu sendiri terlebih disentuh oleh pihak luar. Ragam wastra Toraja yang sangat langka dan jarang dipublikasikan, direlakan oleh para kolektor untuk dipamerkan ke hadapan publik di Musium Tekstil pada hari itu. Untuk membantu memahami koleksi tak biasa yang dipajang di sana, sebuah buku panduan pun diluncurkan dengan judul yang sama dengan tajuk pameran. Buku full colour yang oleh Barbara Johnson disebut sebagai sebuah buku yang sangat bagus, buku langka di Indonesia karena baru kali ini ada sebuah buku yang mendokumentasikan wastra Indonesia khususnya Toraja secara detail dan dilengkapi dengan ulasan singkat tentang sejarah dan kegunaannya dalam masyarakat adat Toraja hingga teknik pewarnaan wastra yang dipaparkan dalam buku tersebut oleh seorang antropolog Jepang, Keiko Kuzakabe.
[caption id="attachment_376661" align="aligncenter" width="486" caption="Diskusi Untannun Kameloan ki-ka: Barbara Johnson, Olive Bendon, Jihan Dillon, Lynda Ibrahim (dok. koleksi pribadi)"]
[caption id="attachment_376662" align="aligncenter" width="486" caption="Nina Jusuf membantu seorang pelanggan dalam memadupadankan busana tenun Toraja kreasi Toraja Melo (dok. koleksi pribadi)"]
Dinny Jusuf mendirikan Toraja Melo pada 2008 untuk mendukung usahanya meremajakan dan melestarikan tradisi tenun Toraja. Pula membantu para perempuan Toraja dalam meningkatkan kualitas hidup mereka (dan keluarganya) atau yang dikenal dengan women empowering. Menegaskan hal ini, Lynda Ibrahim melihat dari sisi marketing upaya positif yang telah dilakukan oleh Toraja Melo dalam memasarkan produk serta membantu para penenun di Toraja lewat program pendampingan penenun. Dari sisi pendidikan, Toraja Melo telah mengawalinya dengan membuka sekolah Taman Kanak-kanak sebagai tempat pembekalan pendidikan dasar bagi anak-anak penenun.
Kesulitan bahan baku benang, kurangnya penenun serta keberanian untuk menabrak aturan baku dalam padu padan warna mengikuti permintaan pasar, menjadi bumbu penyedap perjalanan Toraja Melo dalam menjalankan usahanya. Diperlukan satu langkah berani yang digerakkan oleh panggilan jiwa untuk mengangkat tenun Toraja hingga diterima di pasar dunia.