Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya – [Yohanes 20:29b]
Bagi sebagian besar umat Nasrani, libur panjang akhir pekan lalu dimanfaatkan untuk mendatangi Blitz Megaplex bersama keluarga, teman gereja atau komunitas pecinta film untuk menikmati Son of God. Tak mau ketinggalan, bersama beberapa rekan Minggu sore (29/03/14) usai pelayanan, kami pun menggelar acara nonton bareng (nobar) di Blitz Megaplex Grand Indonesia, Jakarta.
Son of God, kisah epik tentang Yesus yang dipaparkan dari sudut pandang Yohanes, salah seorang muridNya sesuai yang ditulis dalam Injil Yohanes 1 – 21. Yohanes dipanggil Yesus untuk menjadi muridNya ketika ia dan Yakobus kakaknya sedang membantu Zebedeus, ayah mereka membenahi jala di pinggir danau Galilea (Markus 1:19-20). Berasal dari keluarga nelayan yang secara ekonomi cukup mapan, seperti yang dituliskan oleh Yohanes Markus dalam Injil Markus 1:20 berikut ketika Yesus menghampiri perahu mereka, Zebedeus sedang bekerja di perahu miliknya dibantu oleh anak-anak dan orang upahannya. Artinya Yohanes bukan anak nelayan kebanyakan karena ayahnya mampu mengupah orang untuk membantu mereka.
Yohanes adalah murid kesayangan Yesus, satu-satunya murid yang mendampingi Maria, Ibu Yesus; bersama Maria Magdalena menyaksikan sengsara Yesus hingga di golgota. Karena kesetiaannya pada Yesus dia pernah ditangkap, digoreng hidup-hidup di Roma namun Tuhan menyertai dan menyelamatkannya untuk menjadi saksi dan melayani umatNya memberitakan kabar keselamatan hingga masa tuanya (Yohanes 21:22).
[caption id="attachment_330596" align="aligncenter" width="538" caption="Yohanes (dok. http://sonofgodresources.com)"][/caption]
Entah karena sudah tahu kisah kelahiran hingga kebangkitan Yesus sejak kecil ditambah alur Son of God yang lambat, tepat setelah Yesus melekatkan kembali daun telinga Malkhus yang terkena sabetan pedang Petrus di Taman Getsemani; mata perlahan berkejap-kejap dan blezzzzz … sukses meringkel sempurna di gelap dan dinginnya ruang studio hingga suara cambuk berkumandang menyadarkan dari alam mimpi. Lalu bagian mana dari Son of God yang ingin diresensi jika film ini berhasil meninabobokkan?
Baiklah, dengan membaca, melihat cara Yesus mengajar dan mengabarkan berita keselamatan dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kota ke kota lainnya; maka Yesus adalah seorang pejalan! Cerita perjalananNya yang ditulis oleh Yohanes inilah yang kemudian diangkat ke layar lebar. Andai masa itu sudah ada blog, mungkin Yohanes akan membuat blog khusus catatan perjalanan Yesus. Terlepas dari mata lelah menikmati filmnya serta beragam perspektif para pengamat film yang lebih menyoroti keseksian Diogo Morgado pemeran Yesus, saya lebih tertarik meresensi film ini dari sudut pandang seorang pejalan dan penjelajah kubur.
Dalam perjalananNya mengajar dan menyebarkan kabar keselamatan, kehadiran Yesus di setiap tempat/kota selalu mengundang orang banyak untuk berkumpul dan berkerumun. Hal ini tak lepas dari pengamatan orang-orang Farisi, orang Saduki, para pemuka agama Yahudi yang tidak suka karena merasa dirinya saleh, sangat memahami isi taurat, hidup berdasarkan taurat Tuhan dan telah menerapkan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Mereka selalu berusaha untuk mencari celah demi menyalahkan dan menjatuhkan Yesus yang menyebut dirinya Anak Allah.
Saya terpesona dengan cara Yesus menghadapi orang Farisi terlebih ketika berhadapan dengan seorang perempuan berzinah (Yohanes 8:1-11) sejak mendengar kisah itu di sekolah minggu. Pada jaman nabi Musa, perempuan yang ketahuan berzinah akan dirajam dengan batu (bandingkan dengan sekarang malah bisa pamer selingkuhan lewat media sosial dan muncul di berita gosip). Orang Farisi ingin menguji Yesus dan mengajukan pertanyaan bagaimana pendapat Yesus mengenai hal ini dan tindakan apa yang akan diambilNya. Dengan tenang Yesus bertanya kepada orang-orang yang berkerumun dengan batu di tangan mengelilingi perempuan pesakitan itu: Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batukepada perempuan itu – [Yohanes 8:7].
Apa yang terjadi kemudian? Tak seorang pun yang berani melempari perempuan itu, mereka pergi hingga Yesus mendekati dan menasehati perempuan itu untuk tidak berbuat dosa lagi.
Mari kita melihat ke dalam kehidupan sehari-hari, siapa orang Farisi ini? Kita, manusia yang mengaku percaya, rajin ke gereja kalau bisa ikut ibadah seharian, merasa lebih tahu dari orang lain tapi sebenarnya tak paham apa yang dilakukannya. Mengaku memahami ajaran Yesus, mempelajari dan hapal ayat-ayat alkitab, aktif di berbagai kegiatan gereja, melayani ke sana kemari tapi tetap tak bisa menjadi teladan bagi sesama. Karena apa yang kita lakukan, tujuannya untuk dilihat orang dan dipamerin lewat media sosial supaya jempol-jempol teracung.