Selintas tak ada yang menarik dari deretan gambar tanda pengenal yang dipajang untuk menunjukkan pergeseran waktu di pameran Demi Masa yang berlangsung di Muzium Negeri Terengganu, Kuala Terengganu, Malaysia malam itu. Namun wajah sang pemilik salah satu tanda pengenal itu memindai memori di kepala pada perjalanan yang membawa langkah menjejak di tangga sebuah rumah panggung beratap nipah, berlantai papan di Pulau Pinang akhir tahun lalu. Rumah yang menyimpan banyak kenangan akan seseorang yang pernah berjaya pada masanya.
[caption id="attachment_334594" align="aligncenter" width="486" caption="Kad Pengenalan P Ramlee di pameran Demi Masa, Kuala Terengganu. (dok. koleksi pribadi)"][/caption]
Rumah kelahiran P. Ramlee, penanda di depan gerbang itu menyambut langkah saat menjejak di pelataran sebuah gedung pertemuan yang berdiri di sisi kanan Lintang P. Ramlee, Pulau Pinang. Matahari mulai sedikit bergeser dari puncak ubun-ubun saat kaki melangkah menyusuri pekarangan rumah itu.
Satu petikan menarik kisah perjalanan karir sang pemilik rumah terpatri di sebuah papan yang menggantung di sisi pintu …
Pada tahun 1948, seorang jejaka yang tinggi lampai lagi berjerawat telah mengikat janji dengan takdir – suatu ikatan cinta dengan dunia perfileman yang akhirnya menjadi mekar segar dalam masa tiga dekad di dalam hayatnya. Semuanya bermula apabila dia menerima tawaran menyanyi dan berlakon di Shaw Brothers Malay Film Productions di Singapura. P. Ramlee telah mengorak langkah yang pertama dan seterusnya menjadi seniman agung.
Siapa jejaka tinggi besar yang jerawatnya pun dikenang?
[caption id="attachment_334595" align="aligncenter" width="486" caption="Pengunjung menyusuri perjalanan Ramlee di ruang tamu rumah masa kecil Ramlee di Pulau Pinang (dok. koleksi pribadi)"]
![1399139943771143873](https://assets.kompasiana.com/statics/files/2014/05/1399139943771143873.jpg?t=o&v=770)
[caption id="attachment_334596" align="aligncenter" width="486" caption="Nama bapaknya Ramlee .. satu bukti, Ramlee itu anak Aceh (dok. koleksi pribadi)"]
![13991400061788564272](https://assets.kompasiana.com/statics/files/2014/05/13991400061788564272.jpg?t=o&v=770)
Di ruang tamu, sebuah petunjuk lain mengemuka… Teuku Nyak Puteh bin Teuku Karim nama ayahnya. Seorang pelaut ulung dari Lhokseumawe, Aceh yang datang ke Pulau Pinang untuk merantau mencari penghidupan yang lebih baik. Sang pelaut dipertemukan dengan jantung hatinya seorang gadis dari Kubang Buaya Butterworth pada 1925 bernama Che Mah bt. Hussein. Pada 22 Maret 1929 dari perkawinan mereka lahir seorang anak yang diberi nama Teuku Zakaria bin Teuku Nyak Puteh.
Sejak memasuki bangku sekolah, Teuku Zakaria tak begitu menaruh minat pada mata pelajaran sekolah namun sangat menonjol bakat seni terutama seni musiknya. Bakat seninya ini dilihat oleh guru musik di Penang Free School yang kemudian membimbingnya di grup musik sekolah.
[caption id="attachment_334597" align="aligncenter" width="486" caption="Ruang tidur P Ramlee (dok. koleksi pribadi)"]
![1399140135405225406](https://assets.kompasiana.com/statics/files/2014/05/1399140135405225406.jpg?t=o&v=770)
Pada masa pendudukan Jepang, dirinya mengenyam pendidikan di sekolah tentara laut Jepang (Kaigun) dimana dia banyak belajar menyanyikan lagu-lagu Jepang dan terkenal sebagai penyanyi yang baik. Semasa di Kaigun pula, Teuku Zakaria belajar memainkan biola, piano, gitar dan ukulele dibawah bimbingan Hirake San.
Bersama “Terona Sekampung” grup orkestra tempat dirinya bergabung sebagai pemain biola, mereka sering mengisi beragam acara di Pulau Pinang. Pada 1947, Teuku Zakaria memenangkan lomba lagu keroncong yang diadakan se-Pulau Pinang dan mulai menggunakan nama beken Puteh Ramlee yang disingkat menjadi P. Ramlee.
Pada 8 Ogos 1948, P. Ramlee bersama Sukardi menaiki kereta api di Prai untuk berhijrah ke Singapura, maka bermulalah satu era baru dalam dunia muzik dan perfileman Melayu – satu dunia fantasi yang dicipta oleh seorang pemimpin seni telah menggembirakan jutaan manusia. Semua ini berlaku kerana seorang jejaka yang tinggi lampai lagi berjerawat berani mengikat janji dan takdir.
[caption id="attachment_334598" align="aligncenter" width="486" caption="Potret kenangan di sudut kamar (dok. koleksi pribadi)"]
![13991401891429656179](https://assets.kompasiana.com/statics/files/2014/05/13991401891429656179.jpg?t=o&v=770)
Potret lelaki yang terpampang di rumah beratap nipah itu adalah wajah yang sama yang menghiasi kartu tanda pengenal yang kini terpajang di ruang kaca di depan mata dengan keterangan di bawahnya, Tan Sri Datuk Amar Dr. P. Ramlee. Pegusaha film, aktor, musisi ternama Malaysia di era 60′an, berdarah Aceh dan menjadi ikon seniman Malaysia ini, meninggal pada 29 Mei 1973 karena serangan jantung di Kuala Lumpur.
Membaca berita di salah satu harian ibukota minggu lalu, Idris Sardi, maestro biola Indonesia jelang akhir hayatnya sedang mempersiapkan konsep untuk mengisi konser mengenang P. Ramlee di negeri jiran, Malaysia. Sayang sebelum semua itu terlaksana, Tuhan memanggilnya pulang untuk bergabung dengan Ramlee menyemarakkan panggung hiburan di nirwana. Salam sejarah [oli3ve].
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI