Mohon tunggu...
Olive Bendon
Olive Bendon Mohon Tunggu... Administrasi - Travel Blogger

Travel blogger yang senang menceritakan perjalanannya (dan kawan berjalannya) yang berkaitan dengan sejarah, gastronomi, medical tourism, kesehatan mental lewat tulisan. Memiliki hobi fotografi, menonton teater, dan membaca buku. Ikuti juga jejaknya di OBENDON.COM

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menyusuri Jakarta lewat Sejarah Kereta Api

28 Oktober 2014   14:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:28 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bocah lelaki di depan saya sigap berdiri sesaat setelah bus yang kami tumpangi berhenti. Ia merapikan tali gantungan kamera yang dikalungkan di leher lalu bergegas turun mengikuti langkah - langkah panjang di depannya. Di bawah sengatan mentari, tubuh kecilnya menyusup di sela - sela badan yang menjulang di sekelilingnya.

Aga (8 thn) tak canggung berada di antara manusia yang usianya terpaut jauh di atasnya. Ia meleburkan diri, mencoba mengabadikan pemandangan sekitar dari sudut pandangnya dengan kamera saku yang siap di tangan. Di saat teman - teman sebayanya lebih menikmati bermain di taman bermain atau pusat perbelanjaan yang dingin dengan orang tua mereka, Aga mengisi libur akhir pekannya dengan mengajak bapaknya jalan-jalan bersama Komunitas SahaBATMUSeum (Batmus) menyusuri jejak Cornelis Senen. Dia terlihat sangat menikmati perjalanan yang diselang seling dengan menumpang bus, commuter line dan berjalan kaki.

[caption id="attachment_369884" align="aligncenter" width="486" caption="Aga mengabadikan lintasan kereta di Stasiun Jatinegara dengan kamera saku (dok. koleksi pribadi)"][/caption]

Brapa banjak orang jang tahoe djikalaoe Djatinegara doeloenja poenja 2 station spoor?

Pertanyaan menggelitik yang dilontarkan melalui lembaran kegiatan Plesiran Tempo Doeloe: Mesteer Cornelis - Passer Senen yang digelar oleh Batmus di atas, membawa rasa penasaran 30 (tiga puluh) peserta pe-te-de (sebutan untuk kegiatan jalan-jalan Batmus) menyusuri sepenggal perjalanan sejarah Jakarta lewat jalur kereta api di Minggu pagi (26/10) lalu, dimana Aga menjadi salah satu pesertanya.

Para pencinta dan penikmat sejarah diajak berkeliling wilayah Jatinegara dan Pasar Senen. Perjalanan diawali dengan menumpang bus dari GOR Bulungan menuju Stasiun Kereta Api Kalibata, Jakarta Selatan kemudian disambung dengan komuter menuju Stasiun Kereta Api Jakarta Kota, Jakarta Pusat atau yang juga dikenal dengan Stasiun Beos.

Di aula bangunan yang dirancang oleh Ghijsels ini, peserta diceritakan sejarah singkat bangunan dan sejarah perkeretaapian Indonesia oleh Aditya Dwi Laksana dari Indonesian Railway Preservation Sociaty (IRPS). Beos dari asal kata Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij dibangun pada 1870 merupakan stasiun kereta api terbesar di Indonesia. Bangunan yang ada sekarang dan masih difungsikan sebagaimana awalnya dibangun adalah hasil renovasi pada 1926 - 1929.

[caption id="attachment_369885" align="aligncenter" width="486" caption="Menyimak penuturan sejarah Beos dari Aditya D. Laksana di aula Stasiun Beos (dok. koleksi pribadi)"]

14144543771350035829
14144543771350035829
[/caption]

Dari Beos, kami kembali mengantri untuk masuk ke peron menanti komuter tujuan Bekasi dan menumpang hingga Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur. Di selasar stasiun yang berdiri pada 1910, stasiun yang sebelumnya dikenal dengan Stasiun Meester Cornelis, Aditya melanjutkan kembali sejarah kereta api.

Meester Cornelis aka Bapak Cornelis, panggilan masyarakat Betawi di sekitar Jatinegara kepada Cornelis Senen. Cornelis adalah anak pengusaha pala dari pulau Lonthoir (Lontar), Banda yang dibuang oleh JP Coen ke Batavia (sekarang Jakarta) pada 1621 semasa Coen menjejak di Banda. Di Batavia, Cornelis membuka sekola agama dan dipercaya sebagai kepala kampung (istilah masa itu wijkmeester).

Keluar dari stasiun, kami diajak bermain ke salah satu rumah tua di seberang stasiun Jatinegara yang dipercaya seabagai bekas rumah Meester Cornelis. Di tempat ini Scott Merriless, penulis buku Greetings from Jakarta, Postcards of a Capital, 1900 - 1950 menambahkan jika melihat dari tahunkedatangan Cornelis ke Jakarta dan tahun berdirinya bangunan sekitar tahun 1800an atau 200btahun setelah, bisa dipastikan rumah ini bukanlah rumah tuan Cornelis.

[caption id="attachment_369886" align="aligncenter" width="486" caption="Scott Merrilees berbagi cerita Casino Theatre dengan bantuan kartu pos di halte Gang Kelor (dok. koleksi pribadi)"]

1414454513851661841
1414454513851661841
[/caption]

Usai menikmati makan siang di sebuah kedai di sekitar stasiun Jatinegara, perjalanan berlanjut dengan menyusuri landmark Jatinegara dengan menumpang bus. Di beberapa titik kami berhenti untuk mendengarkan tuturan sejarah tempat - tempat yang sebagian besar sudah berganti dengan ruko. Puas berkeliling, kami kembali ke Stasiun Jatinegara dan melanjutkan bertualang dengan komuter hingga ke Stasiun Pasar Senen. Di stasiun yang selalu dipenuhi pemudik di jelang lebaran ini, di peron 5 bangunan stasiun yang dibangun pada 1916 ini; 5 (lima) buah buku karya Pak Scott dibagikan sebagai door prize.

Berapa banyak anak seusia Aga yang menaruh minat pada sejarah? Ada banyak landmark peninggalan bersejarah sebagai penanda perjalanan berdirinya Jakarta, namun pertanyaan berikutnya adalah ada berapa banyak kaum urban Jakarta yang senang dan dapat menikmati wisata sejarah di kotanya?

[caption id="attachment_369887" align="aligncenter" width="486" caption="Berbagi cerita sejarah di tunnel Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat (dok. koleksi pribadi)"]

1414454699698737603
1414454699698737603
[/caption]

Yanni salah seorang peserta pe-te-de menuturkan ini kali kedua dirinya bergabung dengan Batmus setelah beberapa minggu sebelumnya dia tertarik saat mengikuti kegiatan di kota tua. Dirinya ikut kegiatan ini lagi karena mendapat banyak manfaat. Jika sebelumnya Yanni berkunjung ke musium tanpa mendapatkan penjelasan mengenai apa yang dilihatnya, lewat pe-te-de dia merasa puas dengan ragam informasi yang dipaparkan oleh narasumber serta diajak ke tempat dimana sejarah itu bermula.

Beberapa poin penting yang bisa dijadikan pedoman agar bisa menikmati wisata sejarah:


  • Menggunakan gambar: kartu pos/foto/poster/film sebagai media untuk membantu berimaji, membayangkan satu keadaan pada masa bertahun lampau di masa sekarang
  • Melalui tari/teater : personifikasi tokoh melalui gerak dan dialog sangat membantu penonton untuk "terlibat" dalam penuturan cerita sejarah
  • Berkunjung ke tempat yang diceritakan, meskipun tempatnya sudah tidak ada karena digusur atau berganti dengan bangunan baru dengan bantuan poin 1 maka tuturan kisah itu akan bisa dinikmati
  • Membaca literatur yang berhubungan dengan sejarah

Belajar sejarah tak melulu lewat komunikasi satu arah dari guru di depan kelas. Memahaminya perlu didukung dengan membaca buku, mengunjungi musium dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh komunitas pecinta sejarah. Benarkah sejarah adalah dongeng pengantar tidur di kelas? Saleum [oli3ve].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun